Cerita

Harapan Italia yang Kini Tersandar pada Roberto Mancini

Setelah hampir 6 bulan lamanya tanpa pelatih tetap, FIGC selaku federasi sepakbola Italia secara resmi telah menunjuk Roberto Mancini untuk menukangi timnas Italia. Legenda Sampdoria dan Lazio ini akan mulai bertugas memimpin Gli Azzurri bangkit dari kehancuran setelah menuntaskan pekerjaannya sebagai manajer Zenit St. Petersburg di akhir musim 2017/2018 ini.

Harus diakui, penunjukkan Mancini tak akan dirayakan dengan meriah seperti yang akan terjadi jika seandainya yang terpilih adalah Carlo Ancelotti. Mancini, meskipun mempunyai catatan prestasi yang cukup baik, namun bukanlah pilihan populer masyarakat Italia. Apalagi mengingat karier manajerialnya selepas meninggalkan Manchester City sedikit menurun.

Namun, Don Carlo sudah terang-terangan menyatakan lebih suka melatih klub, dan melihat kondisi yang ada, Mancini adalah pilihan terbaik yang kini tersedia, dan diatas kertas tentu jauh lebih baik dibandingkan Gian Piero Ventura, manajer Italia sebelumnya.

Gaya bermain yang cocok untuk Gli Azzurri

Mancini merupakan pelatih yang mengutamakan pertahanan. Menurutnya, tim yang sedikit kebobolan lebih berpeluang untuk juara. Saat menjuarai Liga Inggris bersama Manchester City di tahun 2012, rasio kebobolan timnya hanya 0,76 gol per laga, unggul dibandingkan Claudio Ranieri di tahun 2016, Antonio Conte di tahun 2017, dan hanya kalah tipis dibandingkan Pep Guardiola saat ini.

Meski pertahanan Italia saat ini tidak buruk-buruk amat, namun jika melihat kekalahan 3-0 atas Spanyol di kualifikasi Piala Dunia pada September silam maupun saat gagal menang melawan Inggris dan Argentina di laga persahabatan pada Maret lalu, jelas ada celah-celah kecil yang akan menjadi berbahaya jika tak cepat-cepat ditambal.

Cara Italia kebobolan dari tiga tim tersebut tidak menunjukkan kualitas Italia sebagai tim yang dikenal dengan aliran catenaccio-nya. Hal ini yang tentu diharapkan bisa diperbaiki Mancini. Apalagi sebenarnya ia mewarisi banyak bek hebat dalam skuat, mulai dari Leonardo Bonucci, Alessio Romagnoli, hingga Daniele Rugani.

Sedangkan untuk sektor penyerangan, Mancini merupakan pelatih yang menyukai permainan build-up dari lini belakang. Dengan memiliki pemain sekaliber Bonucci, Marco Verratti, hingga Jorginho untuk merancang permainan, hal ini tentu semakin memudahkannya. Ia juga diwarisi penyerang-penyerang berkualitas seperti Ciro Immobile hingga Patrick Cutrone. Mereka semua hanya perlu dilatih oleh tangan yang tepat, yang mampu memaksimalkan potensi mereka agar tak terbuang sia-sia.

Teruji saat menangani tim ‘medioker’

Skuat Italia dalam beberapa tahun terakhir dianggap tidak memiliki kehebatan yang sama seperti era Francesco Totti dan kawan-kawan, di mana mereka-lah generasi terakhir yang memenangkan gelar bersama Gli Azzurri. Mereka bahkan dicap sebagai tim medioker dan hanya bermain baik karena tertolong oleh kualitas pelatih sekaliber Antonio Conte.

Mancini mempunyai kualitas yang baik seperti Conte. Dalam rekam jejaknya, ia tak pernah melatih tim-tim divisi bawah seperti Conte ataupun Ventura, namun Fiorentina dan Lazio yang ia latih di awal karier manajerialnya bukan lagi tim hebat yang menjadi kandidat juara Liga Italia di awal musim, melainkan telah menjadi tim yang ketat secara finansial. Pemain bintang masih ada, namun tak lagi sebanyak dulu.

Dengan keterbatasan itu, Mancini masih bisa memberikan gelar Coppa Italia bagi Fiorentina pada tahun 2001 dan berhasil membawa Lazio hingga semifinal Piala UEFA di tahun 2003 serta meraih Coppa Italia di tahun 2004. Kondisi ini cukup mirip dengan Italia saat ini. Tak lagi dipenuhi pemain bintang, namun masih banyak pemain-pemain yang potensial. Sekali lagi, jika diasah dengan tepat.

Pengalaman bersama timnas Italia

Seperti halnya Conte, Mancini pernah berseragam timnas Italia dan turun di turnamen internasional. Meski tidak mutlak berguna, hal ini merupakan nilai lebih yang bisa diberikan seorang pelatih kepada para pemain asuhannya, terutama mereka yang baru merasakan debut di laga internasional.

Mancini juga cukup berprestasi di timnas, dengan menembus semifinal Piala Eropa 1988 dan meraih medali perunggu di Piala Dunia 1990 (meski ia tak diturunkan sama sekali). Sebagai pelatih yang harus menangani banyak pemain muda minim gelar dan pengalaman internasional, kapasitasnya sebagai mantan pemain nasional amat berguna sebagai contoh, untuk memberikan motivasi, dan tentunya untuk mendapatkan rasa hormat sebagai pelatih.

Mancini bukanlah pelatih yang sudah melegenda seperti Marcello Lippi atau Giovanni Trappatoni sewaktu ditunjuk melatih Italia. Kariernya pun belakangan ini tak begitu baik. Mengharapkannya langsung membawa Italia juara di kejuaraan internasional terdekat (Piala Eropa 2020) pun rasanya cukup berat, mengingat Italia sedang berbenah. Namun dengan sederet poin-poin positif itu, bolehlah jika para tifosi timnas Italia berharap banyak kepada Mancini. Minimal, peristiwa gagal lolos ke turnamen besar seperti Piala Dunia 2018 tak perlu terulang lagi.