Cerita

Sebastian Giovinco: Si Semut Atom Bergaji Raksasa

Pada pertengahan era 2000-an yang lalu, ada satu nama pemain muda di belantara Serie A yang melejit ke permukaan. Dengan bangun tubuh mungil, hanya setinggi 163 sentimeter tapi punya kualitas teknik mumpuni, Sebastian Giovinco memikat atensi penggemar Serie A walau cuma membela klub papan bawah, Empoli, di musim 2007/2008.

Momen itu sendiri adalah saat di mana Giovinco dipinjamkan oleh pemiliknya yang sah, Juventus, guna menimba ilmu sekaligus pengalaman mengingat usianya baru menyentuh angka 20 tahun. Performa menawan yang Giovinco sukses perlihatkan bareng tim yang bermarkas di Stadion Carlo Castellani tersebut bikin khalayak menyebutnya sebagai calon bintang masa depan tim nasional Italia.

Juventus sendiri lantas memanggilnya pulang pada musim berikutnya lantaran ingin memaksimalkan kemampuan apik Giovinco. Namun nahas bagi sang pemain, dirinya tak mendapat kepercayaan penuh dari pelatih I Bianconeri, Claudio Ranieri dan Ciro Ferrara.

Menit bermainnya merosot drastis sehingga ia gagal memberi dampak positif yang signifikan untuk tim. Sialnya, hal serupa kembali terulang di musim 2009/2010 saat Juventus diasuh oleh Ferrara serta Alberto Zaccheroni.

Tak ingin kariernya berjalan sia-sia, Giovinco pun memilih dipinjamkan lagi ke klub lain, tepatnya Parma, sejak musim 2010/2011. Keputusan yang diambil sosok kelahiran Turin itu tidak salah sebab bareng I Gialloblu, sinarnya kembali mengangkasa. Dua musim merumput di Stadion Ennio Tardini, Giovinco bermain di lebih dari 60 pertandingan dan mampu mengemas 20 biji gol. Mengacu pada statistic brilian itu, untuk sekali lagi Juventus memanggilnya pulang.

Akan tetapi, kisah sendu Giovinco kembali terulang bareng klub dengan kostum kebesaran berwarna hitam-putih itu. Tiga musim membela I Bianconeri, ia tidak memperoleh kesempatan banyak untuk menunjukkan keahliannya. Kariernya yang sia-sia di kampung halamannya sendiri memacu Giovinco untuk mencari tantangan baru. Kebetulan, ia beroleh tawaran dari klub Major League Soccer (MLS) dari Kanada, FC Toronto, di musim dingin 2015. Tanpa ragu, ia pun menerima ajakan untuk pindah ke Amerika Utara.

Bareng tim yang berjuluk The Reds itu, Giovinco yang berjuluk Semut Atom (merujuk pada tokoh kartun bikinan Hanna-Barbera) malah sukses menunjukkan kualitas sejatinya. Ia jadi pemain penting di tubuh Toronto FC sehingga kesebelasan yang bermukim di Stadon BMO Field tersebut menggamit sejumlah trofi juara. Mulai dari dua titel Kejuaraan Sepak Bola Kanada dan satu gelar MLS Cup (gelar bagi kampiun MLS). Bersama Giovinco pula, The Reds sanggup melaju ke final Liga Champions CONCACAF 2018 kendati tumbang dari Guadalajara (Meksiko).

Esensi pemain yang sekarang berusia 31 tahun itu sendiri membuat manajemen Toronto FC tidak ragu buat memberinya upah dengan nominal paling tinggi di skuat, menembus angka 7,1 juta dolar Amerika Serikat (AS). Luar biasanya lagi, berdasarkan rilis resmi asosiasi pemain di liga sepak bola nomor satu AS tersebut, nominal itu juga yang paling masif di kancah MLS!

Rekan setimnya di Toronto FC, Michael Bradley, muncul sebagai pemain dengan upah terbesar kedua lewat pendapatan sebesar 6,5 juta dola AS. Penggawa Los Angeles FC asal Meksiko, Carlos Vela, melengkapi tiga besar pemain dengan gaji paling tinggi di MLS sebab memperoleh penghasilan senilai 6,3 juta dolar AS.

Sedikit trivia, sebelum Giovinco naik sebagai pemain dengan bayaran tertinggi, gelandang asal Brasil yang membela Orlando City SC dan baru saja memutuskan pensiun, Kaka, adalah sosok pemain bergaji paling masif di MLS.