Semasa aktif bermain dahulu, nama Roberto Mancini atau yang akrab disapa Mancio begitu identik sebagai pemain dengan kreativitas dan inteligensia tinggi, sehingga aksi-aksi di atas lapangan kerap kali menyihir mata para pencinta sepak bola. Tak hanya itu, Mancini juga sosok yang cukup ahli dalam urusan mencetak gol.
Karier sepak bolanya dimulai di Bologna pada musim 1981/1982 sebelum akhirnya hijrah ke Sampdoria pada musim 1982/1983 sekaligus mengunci status legenda. Bareng tim yang berkandang di Stadion Luigi Ferraris tersebut, Mancini sukses menjalani kisah dongeng yang amat luar biasa.
Di tengah jepitan raksasa sepak bola Italia macam AC Milan, Internazionale Milano, Juventus, dan Napoli yang begitu dominan saat itu, Sampdoria justru sanggup menggondol beberapa titel bergengsi. Mulai dari gelar Scudetto, Piala Italia, Piala Super Italia hingga Piala Winners.
Lima belas musim berkostum I Blucerchiati, sosok kelahiran Jesi ini memutuskan untuk hijrah dari Sampdoria di pengujung musim 1996/1997. Kesebelasan ibu kota, Lazio, menjadi pelabuhan baru yang dipilihnya buat meneruskan karier.
Manisnya, selama memperkuat Lazio yang pada saat itu dibesut oleh Sven-Goran Eriksson, Mancini kembali mampu menorehkan sejumlah prestasi gemilang. Dirinya jadi salah satu bagian integral I Biancoceleste tatkala mencaplok gelar Scudetto, Piala Italia, Piala Super Italia, Piala Winners dan Piala Super Eropa di akhir era 1990-an.
Baca juga: Sven-Göran Eriksson dan Puisi yang Mengantar Kepergiannya dari Shenzen FC
Uniknya, Mancini justru tak memilih tanah kelahirannya sebagai tempat menyudahi kariernya sebagai pemain. Figur dengan 36 caps dan 4 gol bagi tim nasional Italia ini malah memilih klub papan tengah Inggris, Leicester City, sebagai pemberhentian terakhirnya.
Selepas pensiun, Mancini yang diakui oleh Eriksson telah berhasrat menjadi pelatih sedari masih aktif bermain, berhasil membuktikan diri jika ia adalah sosok yang kompeten dalam urusan taktik dan manajerial.
Memulai karier sebagai allenatore di Fiorentina, Mancini yang saat itu baru berumur 37 tahun langsung menghadiahkan Piala Italia. Trofi ini sendiri jadi penghilang dahaga gelar La Viola yang sudah berlangsung selama lima musim.
Berbekal pencapaian apik tersebut, Lazio kepincut dan memutuskan untuk meminangnya sebagai pelatih anyar di musim 2002/2003. Pilihan manajemen I Biancoceleste rupanya tidak salah karena Mancini sanggup menyumbang Piala Italia bagi klub kesayangan Laziale itu pada musim keduanya melatih di Stadion Olimpico.
Catatan positif yang ditorehkannya bareng Fiorentina dan Lazio itu juga yang kemudian menarik atensi kesebelasan-kesebelasan papan atas Eropa buat menggunakan jasanya. Tercatat, Internazionale Milano (dua periode), Manchester City, dan Galatasaray jadi klub-klub yang ditukangi Mancini setelah itu.
Ada banyak cerita suka dan duka yang diukir Mancini bersama tiga kesebelasan tersebut. Pasang-surut performa tim yang melahirkan puji ataupun caci maki, perselisihan dengan pemain dan pihak manajemen klub sampai raihan titel juara adalah beberapa di antaranya.
Sedikit unik, setelah meninggalkan Inter (di periode keduanya melatih I Nerazzurri) via kesepakatan bersama bulan Agustus 2016 yang lalu, Mancini justru menerima tantangan di bagian timur Eropa yang tepatnya berasal dari klub Rusia, Zenit Saint Petersburg.
Per Juni 2017, Mancini secara resmi jadi pelatih anyar bagi klub dengan julukan Sine-Belo-Golubye tersebut. Dirinya pun sah menjadi figur asal Italia kedua setelah Luciano Spalletti yang sempat menangani Zenit medio 2009 sampai 2014 silam.
Bercermin pada keglamoran kompetisi Liga Primer Rusia yang tak secemerlang Bundesliga Jerman, La Liga Spanyol, Liga Primer Inggris, Serie A Italia, atau bahkan Ligue 1 Prancis, keputusan yang diambil Mancini tergolong sangat mengejutkan. Sebab dengan begitu, kiprahnya takkan mendapat sorot lampu berlebih.
Namun Mancini adalah Mancini, tantangan yang sedang berdiri di hadapannya bersama Zenit merupakan hal yang wajib untuk ditaklukkan. Ia bahkan tidak kesulitan buat membangun Zenit menjadi skuat yang kokoh dan pilih tanding.
Sehabis mendatangkan sejumlah penggawa baru seperti Sebastian Druissi, Matias Kranevitter, Leandro Paredes, dan Aleksandr Yerokhin pada bursa transfer kemarin, Mancini dengan mantap mengangkat performa Zenit untuk terus bersaing di papan atas dan mengikuti perlombaan memperebutkan gelar juara.
Sampai Liga Primer Rusia menyelesaikan pekan ke-17, Aleksandr Kokorin dan rekan-rekannya masih duduk manis di peringkat dua klasemen dengan koleksi 33 poin alias hanya berjarak satu kemenangan dari Lokomotiv Moskow yang bertahta di puncak.
Walau lahir pula nada sumbang akibat rontoknya Zenit di babak 32 besar Piala Rusia, namun Mancini mengompensasi hal itu dengan membuat tim asuhannya kompetitif saat bertarung di Liga Europa. Hingga tulisan ini dibuat, Zenit telah memastikan diri lolos ke fase knock-out usai mencatat rekor tak terkalahkan di lima pertandingan serta duduk di peringkat pertama Grup L.
Dengan curriculum vitae, khususnya terkait dengan trofi juara, yang sangat luar biasa selama melatih, lelaki yang hari ini berulang tahun ke-53 itu pasti ingin mempertajam pencapaiannya itu di Rusia. Karena seperti yang sama-sama kita ketahui, saat melatih di Italia, Inggris ataupun Turki, Mancini selalu bisa menggondol trofi juara, utamanya di kompetisi domestik.
Buon compleanno, Mancio. Semoga sukses di Rusia!
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional