Dunia Asia

Sven-Göran Eriksson dan Puisi yang Mengantar Kepergiannya dari Shenzen FC

Nama Sven-Göran Eriksson terasa akrab. Pria yang pernah mempersembahkan gelar untuk dua klub kota Roma ini telah malang melintang di dunia kepelatihan selama 40 tahun. Pria Swedia ini telah menjadi arsitek berbagai klub dan timnas di sembilan negara.

Berbeda dengan Alex Ferguson atau Arsène Wenger, Eriksson ditakdirkan tidak bisa berlama-lama dengan suatu klub. Meski menghadiahi mereka beberapa gelar, pria yang kerap terjebak masalah keuangan ini bersedia menjalani petualangan-petualangan baru.

Selepas dipecat timnas Inggris, ia dipercaya Manchester City untuk menjadi pelatih mereka. Tetapi hubungannya tak berlangsung lama dan dipecat secara sepihak oleh pemilik City waktu itu, Thaksin Shinawatra. Pintu selanjutnya terbuka, yaitu tawaran melatih timnas Meksiko, yang hanya berjalan selama setahun.

Sentuhan magis Eriksson pun dirasa sudah pudar. Walau begitu, banyak klub yang tertarik untuk memanfaatkan jasanya sebagai direksi. Beberapa klub tersebut adalah Notts County, BEC Tero Sasana (Thailand) dan klub Uni Emirat Arab, Al Nasr SC.

Ia mengejutkan dunia ketika pada 2013 memutuskan untuk kembali menjadi pelatih. Kali ini ia melangkah ke Cina, negara yang sedang menggenjot pembangunan sepak bolanya. Ia menjadi salah satu nama besar Eropa yang hijrah, mengikuti jejak pelatih legendaris, Marcelo Lippi.

Guangzhou R&F menjadi pelabuhan pertama di Negeri Tirai Bambu. Klub tersebut ia bawa ke peringkat tiga di Liga Super Cina 2013/2014, sehingga membuat mereka berhak tampil di ajang Liga Champions Asia untuk kali pertama.

Stabilitas menjadi kata yang jauh dari diri Eriksson. Entah karena kehendak orang lain atau keputusan-keputusan yang ia ambil sendiri. Tahun berikutnya ia langsung angkat kaki, memilih menerima tawaran dari klub Liga Super Cina lain, Shanghai SIPG. Meski belum menganugerahi gelar, ia sanggup membawa klub tersebut menjadi runner-up.

Lagi-lagi, sebelum meninggalkan jejak yang berkilau, ia langsung minggat. Kali ini bahkan ia rela terjun kasta, karena klub barunya, Shenzhen FC, berada di Liga Satu Cina, yang berada di bawah Liga Super Cina.

Dengan begitu, ia menegaskan reputasinya sebagai pelatih yang gampang berganti tuan. Dari 16 klub yang pernah ia tangani, Eriksson hanya betah menangani klub-klub tersebut selama lima tahun. Hal itu terjadi kala dirinya menakhodai Sampdoria (1992-1997) dan timnas Inggris (2001-2006). Hanya kepada Sampdoria ia menganugerahi gelar juara, yakni Coppa Italia 1994. Bersama Three Lions ia tak mampu mengantar mereka ke posisi terhormat, padahal diberkahi skuat mentereng.

Eriksson selalu tergiur dengan tawaran baru. Sebelum mengambil jabatan sebagai pelatih Inggris, kontraknya di Lazio masih menyisakan beberapa bulan saja. Awalnya ia akan pindah setelah kontraknya di I Biancocelesti habis, yang jatuh pada Juni 2001. Tetapi janji tinggal janji, ia meninggalkan klub yang dibawanya meraih Scudetto itu lima bulan lebih awal.

***

Kemarin, 15 Juni 2017, klub yang sedang ia latih menerbitkan sebuah puisi di situsweb resmi klub. Namun bukan kepada Eriksson puisi itu ditujukan. Mereka mempersembahkannya untuk Wang Baoshan, yang sebelas tahun lalu pernah melatih mereka.

Inilah puisi tersebut, yang saya kutip dari The Guardian (14/6):

Eleven years ago, you led Shenzhen football and never let us down.

Nine years ago, you took over responsibilities and saved Shenzhen football.

Memories of fighting together have never gone away and now we recall the legend.

For Shenzhen, we are reunited, starting a new trip together.

Coach Wang, welcome home.

Baoshan dulunya bekas pemain dan menjadi salah satu pemain Cina yang berkarier di Jepang. Ia membela Otsaka Pharmaceutical selama dua musim (1991-1993). Klub ini telah berganti nama menjadi Tokushima Vortis dan berlaga di J2 League.

Eriksson tak mampu membawa klub tersebut ke penampilan terbaik. Pihak klub menargetkannya untuk membawa mereka promosi ke Liga Super Cina. Di 9 pertandingan terakhir, klub tersebut tak sekali pun meraih kemenangan. Mereka mengalami 7 kekalahan dan 2 hasil seri.

Di umur yang hampir mencapai kepala tujuh, stabilitas adalah kata sifat yang sepertinya masih enggan ia akrabi. Jika saja ia tak terburu-buru pindah dari Shanghai SIPG, tidak menutup kemungkinan ia bisa membangun klub tersebut dan membawa mereka ke posisi terhormat. Tempat baru selalu menuntut kita untuk beradaptasi.

Sejauh ini belum ada kabar mengenai langkah apa yang selanjutnya akan Eriksson ambil. Semoga selalu bahagia di hari tua, Eriksson.

Author: Fajar Martha (@fjrmrt)
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com