Cerita

Relasi Theo Walcott dan Arsene Wenger, Sumbu dan Penyulut yang Gagal Bersama

Sejak namanya diorbitkan oleh Arsene Wenger pada 2006 lalu,  Theo James Walcott digadang-gadang menjadi salah satu pemain muda potensial di Eropa, dan status potential players itu terus disandang Walcott bahkan hingga menjelang kepindahannya ke Everton pada bursa transfer musim panas awal musim ini.

Theo Walcott didatangkan Arsenal dari Southampton saat masih berumur 16 tahun. Kemampuannya dalam berlarian dan menyisir sisi kiri pertahanan lawan membuat manajemen Arsenal rela membayar 12 juta paun, harga yang terlampau mahal untuk anak seusianya. Namun, hingga proses kepindahannya ke Everton selesai, banyak yang menilai bahwa karier Theo Walcott di Arsenal tak berjalan sempurna.

Jika melihat kontribusi berupa gol sebagai barometer keberhasilan seorang pemain dalam sebuah klub, sebetulnya 12 tahun karier Theo Walcott dalam balutan seragam Arsenal tidaklah gagal. 108 gol dari 397 laga yang sudah dimainkan, bukanlah suatu hal buruk. Namun menyadari potensi yang ia perlihatkan semenjak di akademi Southampton, apa yang ia pertunjukkan selama kariernya di Arsenal membuat pendukung Arsenal tak sepenuhya merasa puas.

Sejak awal, ekspektasi Gooners padanya sudah terlanjur besar, sementara bakat yang ia miliki tak pernah benar-benar ia tunjukkan secara optimal. Dalam dua atau tiga pertandingan ia berhasil menampilkan permainan yang menawan, namun pada pekan-pekan selanjutnya, ia akan berada di bangku cadangan entah karena performa yang menurun atau cedera kambuhan yang memang kerapkali menggangu performa pemain sayap kanan tersebut

Arsene Wenger bukannya tidak menyadari riwayat cedera dan performa angin-anginan Walcott. Tapi kepercayaan dan keyakinan Arsene Wenger akan Theo Walcott sudah terlanjur besar. Hal itulah yang membuat Theo Walcott bertahan lebih lama di Arsenal.

Wenger mungkin selama ini mengimani bahwa Walcott adalah wonderkid yang akan memberikan kejayaan pada klub asal London Utara tersebut. Theo Walcott diyakini sebagai representasi Arsenal setelah era Tony Adams dan Thierry Henry usai. Ia adalah simbol Arsenal berikutnya setelah satu per satu pemain dari skuad Invincibles gantung sepatu dan pemain seangkatannya beranjak pergi. Persis seperti dalam tulisan Amy Lawrence di The Guardian, “Walcott has in some ways been a perfect symbol of the later Wenger years.”

Di samping itu, Theo Walcott diyakini menjadi pemegang tongkat estafet Thierry Henry. Diberikannya nomor 14 yang notabene adalah nomor keramat peninggalan Henry adalah sebentuk kepercayaan manajemen Arsenal terhadap potensi yang dimilikinya. Namun saat Henry mampu bertransformasi dari pemain sayap menjadi penyerang tengah mematikan, kesempatan yang sama tak sepenuhnya diberikan pada pemain yang saat ini sudah berusia 29 tahun tersebut. Wenger lebih memercayakan posisi penyerang tengah pada Lord Bendtner,  Marouane Chamakh,  Olivier Giroud,  dan Robin van Persie.

Theo Walcott sebetulnya tidak begitu nyaman bermain sebagai penyerang sayap. Theo Walcott dalam beberapa musim memang kerap diplot oleh Arsene Wenger sebagai penyerang sayap, bahkan tak jarang pula ia ditarik sedikit ke belakang menempati pos gelandang sayap dalam formasi 4-4-2.

Hal itu justru diakuinya sedikit banyak membuatnya frustrasi. Menurutnya, bermain melebar sejatinya tidak membuat dirinya nyaman. Yang diinginkan Walcott sesungguhnya kembali bermain di posisi asalnya, yaitu sebagai penyerang tengah.

“Itulah yang saya inginkan,” ujarnya suatu ketika saat disinggung soal posisinya sebagai penyerang tengah.

“Karena dengan begitu saya dapat mencetak banyak gol di musim ini,” lanjut Walcott yang mengaku sangat berharap diposisikan oleh Wenger sebagai penyerang murni.

Selain itu, Walcott terjebak pada era di mana Arsenal berusaha melewati masa kegelapan selepas era kejayaan mereka di pertengahan 2000-an. 9 tahun puasa gelar sejak menjadi menjadi juara Piala FA 2005 adalah buktinya. Belum lagi ia menjadi korban dari ketidakbecusan manajemen The Gunners dalam menjaga kebugaran dan kondisi pemain Arsenal, hingga membuat Theo Walcott lebih sering berada di ruang perawatan.

Faktor-faktor itu yang kemudian membuat potensi dalam diri Theo Walcott tidak keluar sepenuhnya.

Chris Waddle, eks pemain timnas Inggris pernah memberi penilaian terhadap performa Theo Walcott. “Saya tidak melihatnya banyak berkembang, menurutku ia tidak paham caranya bermain, kapan harus berlari menghadapi fullback, kapan memainkan umpan satu-dua. Saya rasa pemahaman sepak bolanya tidak baik dan ia akan menghadapi masalah. Kita jujur sajalah, pemain belakang bagus akan selalu menjebaknya offside.”

Dan pada akhirnya musim kemarin merupakan ujung dari rasa sabar Arsene Wenger. Dalam sebuah pertandingan kontra Bournemouth semusim sebelumnya, ketika pemain kunci seperti Alexis Sánchez, Mesut Özil, dan Olivier Giroud absen, Arsene Wenger justru memilih memainkan Danny Welbeck dan Alex Iwobi untuk mendukung Alexandre Lacazette alih-alih memainkan Theo Walcott.

Akhirnya setelah 12 tahun hidup dengan status wonderkid dan digadang-gadang menjadi simbol klub, Arsene Wenger siap melepas anak emasnya ke kota Liverpool dan ia bergabung dengan Everton dengan biaya transfer 20 juta euro. Sejauh ini, ia sudah mengemas dua gol dan satu asis dari 13 laga yang sudah dimainkannya bersama The Toffees.

Walcott boleh dibilang sebagai produk gagal, tapi di klub barunya saat ini, ada potensi bahwa sumbu ledak Walcott yang tertahan selama belasan tahun di London siap meledak di kota pelabuhan itu.

Author: Fahmin