Cerita

Sepak Bola dan Asimilasi Budaya Penamaan

Suara di seberang telepon nampak keheranan ketika saya menyebut nama yang bakalan disandang seorang sepupu yang baru lahir. Nama itu adalah: Muhammad Ozil. Ya, lima tahun lalu saya ditelepon Emak mengabarkan ihwal kelahiran anggota baru dalam keluarga kami. Selain itu, beliau juga meminta saya mencarikan naa buat sang bayi.

Hah? Siapa?”

“Muhammad Ozil, mak, dari Mesut Özil.”

“Itu siapa? Artinya apa?”

“Pemain bola, mak. Orang Jerman. Tapi dia Muslim, kok“, saya merasa perlu menambahkan embel-embel keyakinan demi menenangkan sang ibu.

“Ah kau ada-ada saja. Orang lain ngasih nama dari Al-Quran, ini malah dari pemain bola”, tutup emak.

Siapa suruh nyuruh saya yang ngasih nama”, ucap saya yang tentu saja dalam hati.

Singkat cerita. Nama tersebut disetujui.

Rasanya bukan hanya saya yang mengalami kejadian seperti di atas. Ada banyak orang di dunia ini yang mencomot nama seorang yang digemari untuk disematkan kepada sang anak, keponakan, atau adiknya.

William Shakespeare boleh saja sesumbar tentang arti sebuah nama. Tapi kalau hal tersebut ia katakan di Bali, boleh jadi ia akan dicerca. Di Bali, nama bukanlah perkara sepele sebab ia menyangkut keyakinan serta kedudukan dalam masyarakat. Nama di Bali menandakan posisi kasta yang dianut dalam keyakinan Hindu. Nama-nama seperti Ida Ayu atau Ida Bagus menandakan bahwa ia adalah seorang Brahmana, sedang nama seperti Gusti berarti ia dari kasta Ksatria.

Di Jawa lain lagi, pemberian nama mesti melewati beberapa tahapan. Mulai dari mempertimbangkan weton (hari lahir), urutan dalam keluarga, hingga penghitungan neptu yang nantinya menjadi patokan dua huruf di depan nama.

Nama merupakan lambang dari harapan orang-orang di sekitar terhadap sang jabang bayi. Ia berupa doa yang menempel sepanjang hidup manusia. Selain itu nama juga membawa rasa; ketika kita menyebut garam maka yang terlintas di kepala adalah rasa asin, begitupun ketika menyebut “gula” maka yang terlintas adalah rasa manis.

Sebagai olahraga paling terkenal di dunia, sepak bola boleh dibilang bidang olahraga yang nama atletnya paling sering dicomot. Momentum seperti Piala Dunia menjadi waktu paling sering menyaksikan nama-nama beraroma sepak bola yang tertera di ranjang-ranjang ruang bersalin.

Pada Piala Dunia 2014 di Brasil lalu, fitprenancy mempublikasi data dari Social Security Administration yang menyebut nama-nama pesepak bola semakin populer. Nama-nama seperti Cristiano, Lionel, dan Neymar menjadi kian banyak digunakan. Di Amerika Serikat, pada tahun 2009, The Guardian merilis nama yang paling populer, dan nama mantan pemain Manchester United, David Beckham, berada di urutan pertama sebagai nama yang paling banyak dicomot pada tahun itu.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa memberi nama kepada bayi bukan perkara mudah, apalagi jika nama yang ditawarkan terdengar asing di telinga keluarga dekat, terlebih lagi sang istri. Situasi ini dialami oleh Ashley Marriot, seorang pendukung Leicester City garis keras.

Ia berkeinginan memberikan nama ‘Vardy’ sebagai nama tengah putrinya, namun niat tersebut tak berjalan mudah, sebab sang istri memberikan syarat: Ashley mesti mengumpulkan 5000 tanda tangan di internet, jika berhasil maka nama tersebut bisa dipakai sang anak.

Ashley hanya perlu satu minggu untuk mengumpulkan jumlah tanda tangan tersebut.

Memandang orang-orang yang menggilai sepak bola memang kadang membuat geleng-geleng kepala. Segala hal bisa diberikan untuk olahraga satu ini. Bukan tiba-tiba lahir dari ruang hampa ketika dua pentolan suporter klub Indonesia, PSM Makassar dan Persib Bandung, yakni Daeng Uki dan almarhum Ayi Beutik ketika menamakan anak mereka “Jayalah PSM” juga “Jayalah Persibku”.

Semua orang tahu kedua nama tersebut bukanlah sebuah nama yang normal. Tapi semua orang juga akan paham tanpa mempertanyakan maksud dari nama tersebut. Sebab, siapa yang bisa membendung sebuah kecintaan?

Nama adalah produk budaya

Tak bisa dipungkiri nama adalah produk dari kebudayaan. Ia menjadi identitas dari mana seseorang berasal. Nama Asep tentu menandakan ia berasal dari Jawa Barat. Oleh sebab itu, nama tak bisa lepas dari proses akulturasi. Akulturasi itulah yang kemudian menciptakan asimilasi dalam pemberian nama. Kedatangan Islam ke Nusantara menciptakan nama-nama yang beraroma islami menjadi lumrah.

Lantas seiring berkembangnya zaman, globalisasi kian menihilkan jarak, dan informasi menjadi begitu mudah diperoleh, menjadikan budaya kian tercampur sedemikian rupa. Maka kemudian yang terjadi adalah nama khas Aljazair seperti Zidane bisa dipakai seorang anak di pelosok Halmahera, atau nama beraroma latin seperti Sebastian Veron bisa dicomot untuk anak di pesisir Pulau Ternate, yang belakangan ini bahkan merintis karier sebagai pesepak bola, ia membawa Persiter U-19 melaju ke final Piala Soeratin tahun lalu.

Sedikit berlebihan memang namun rasanya tetap bisa diterima jika kita kemudian menyebut sepak bola sebagai salah-satu medium akulturasi.

Lantas pertanyaan yang kemudian muncul ihwal fenomena ini adalah: apa yang diharapkan dengan penamaan nama pesepak bola untuk anggota keluarga kita? Tentu akan ada cap hipokrit jika tidak menyebut tentang harapan kelak sang anak bisa menjadi pemain bola sebagaimana nama yang disandangnya. Namun kalau pun itu tak terwujud juga tak menjadi persoalan.

Nah, Anda sendiri punya niat memberikan nama pesepak bola untuk anak Anda kelak?

Author: Rizal Syam