Cerita

Dua Wajah Futsal: Terkikisnya Ruang Publik dan Kebutuhan akan Sepak Bola

Modernitas kadangkali menuntut penyederhanaan. Segala sesuatu yang ringkas menjadi primadona di era sekarang. Tentu kita mafhum akan keberadaan gawai pintar. Dulu ketika melakukan vakansi, setidaknya ada dua alat yang mesti dibawa: kamera untuk mengabadikan momen, serta peta guna penunjuk arah.  Sekarang kita hanya memerlukan satu benda untuk kedua hal tersebut.

Dalam hal itu, keringkasan juga bersinonim dengan keberadaan ruang. Gawai secara langsung mengirit tempat untuk telepon, peta, dan kamera.

Dalam ranah yang lebih luas, eksploitasi ruang di wilayah kota merepresentasikan pembangunan yang menuntut keringkasan itu. Betonisasi, penyempitan ruang publik, serta minimnya ruang terbuka hijau ruang hijau bisa dihadapkan sebagai bukti nyata.

Ada beragam jenis ataupun kriteria dalam khazanah ruang publik. Salah-satunya adalah ruang publik aktif, di mana berbagai kegiatan termaktub di dalamnya, semisal sepak bola.

Lapangan sepak bola boleh jadi adalah ruang publik yang paling umum. Nyaris di setiap petak tanah yang terbuka di sebuah kampung, selalu tertancap dua tiang di masing-masing sisi. Barangkali bukan sesuatu yang berlebihan jika saya menyebut lapangan sepak bola sebagai episentrum sebuah kampung.

Salah-satu tulisan Darmanto Simaepa berjudul “Sepatu Bot, Sihir tanpa Celana, dan Cawat”, dalam buku Tamasya Bola sedikit banyak menggambarkan hal itu. Di Pulau Siberut, tempatnya di lembah-lembah terpencil gugusan Pulau Mentawai itu, lapangan bola menjadi situs kerohanian kedua yang dikunjungi masyarakat. Yang pertama adalah gereja.

Sehabis kebaktian, tulis Darmanto, lapangan bola adalah tujuan bagi anak di Dusun Ugai. Bahkan boleh dibilang lapangan bola lebih banyak didatangi ketimbang rumah Tuhan, sebab nyaris setiap hari di waktu sore, lapangan tersebut selalu dipenuhi remaja-remaja mengadu ketangkasan.

Itu di Siberut, dengan lahan yang masih terjaga, modernitas belum begitu mencengkerang sebagaimana di ibu kota, dan dengan begitu pembangunan belum lagi memaksa lapangan bersalin rupa menjadi beton.

Beberapa waktu lalu Kementerian Olahraga membuat program 1000 lapangan desa. Belakangan program tersebut dihentikan dengan alasan tumpang-tindih kebijakan. Sepintas kita terheran, yang membutuhkan lapangan bukanlah desa. Di desa, sepak bola bisa dimainkan di mana saja, pada faktanya justru warga kotalah yang fakir atas ketersediaan lapangan bola.

Namun kendati terus-terusan digerus ekspansi kapital, bagi masyarakat perkotaan, selalu ada alternatif dalam menyalurkan hobi olahraga serupa sepak bola. Futsal hadir sebagai pilihan yang paling masuk akal. Memiliki ruang yang tak sebesar sepak bola konvensional, berada di dalam ruangan sehingga tak perlu khawatir hujan ataupun terik, membuat futsal sebagai olahraga yang paling digemari kaum urban.

Futsal berkembang dengan modal keringkasan, ia digemari karena kemudahan dan kesederhanaan daripada sepak bola normal. Lagipula, di kota seperti Jakarta, berapa banyak lapangan sepak bola yang masih tersisa? Pertanyaan itu tentu saja berangkat dari kekhawatiran atas ruang publik sedemikian tergerus laju pembangunan.

Dan sepak bola punya lahan yang terlampau besar untuk dijadikan prioritas. Menyediakan lahan seluas 120 meter x 45 meter tentu bukan sesuatu yang sederhana. Jika dibikin pusat ekonomi serupa mal, tentu lebih menguntungkan ketimbang memberikan kesenangan kepada 22 anak manusia. Apalagi jika situasi itu terjadi di kota-kota besar yang notabene memiliki harga tanah selangit.

Dari sini kemudian kita mengenal futsal dalam dua wajah. Jika menengok dari segi kebutuhan olahraga, lapangan futsal boleh dibilang penyelamat bagi kaum urban. Namun jika menoleh dari arah lain, lapangan futsal (swasta) adalah tanda tentang ketiadaan lahan. Ia menjadi lampu kuning bahwa lapangan bola di suatu wilayah tengah mengalami proses surut. Bertumbuhnya lapangan futsal sewaan berarti juga mengindikasikan ruang publik yang kian minim.

Di Ternate misalnya, di kota yang tak lebih luas dari Jakarta Selatan ini, ketersediaan lapangan bola kian hari kian berkurang. Beberapa lapangan sudah bersalin rupa menjadi rumah ataupun ruko. Dan seperti yang dijelaskan sebelumnya, lapangan futsal tumbuh mengisi persoalan itu.

Fenomena ini mirip dengan apa yang terjadi pada aspek transportasi. Ketika sarana transportasi di sebuah kota tak terurus dengan baik, maka jangan heran kemudian transportasi kontemporer berbasis daring yang menggaet hati masyarakat. Fenomena ojek online adalah tanda bahwa ada yang salah dalam transportasi publik di Indonesia.

Saya sendiri punya kisah yang menyimpan ironi tentang minimnya fasilitas olahraga. Dua tahun lalu, saya diminta kawan-kawan untuk mengunjungi rumah salah-satu warga guna meminta izin agar lahan di belakang rumahnya dipakai sebagai lapangan bola.

Permintaan tersebut memang berdasar pada kegelisahan atau mungkin kekesalan karena tak mempunyai lapangan bola. Kami mendengar lahan tersebut tengah dalam sengketa, oleh karena itu tak kunjung dibangun. Peduli setan dengan status hukumnya, bagi kami lahan itu adalah oase.

Singkat cerita kami memperoleh izin untuk memakai lahan tersebut. Tak perlu lama, sore itu juga kerja bakti diumumkan. Alhasil, bekas kebun singkong itu berubah menjadi lapangan gawang sedang yang sederhana, dengan tanah yang miring di sisi kiri. Lalu tak sampai sebulan kami menggunakan lapangan tersebut, datang kabar buruk, salah satu pihak yang berseteru memenangkan sengketa.

Dua hari setelahnya mondar-mandir truk-truk melego batu serta pasir tepat di tengah lapangan kami. Mau bagaimana lagi, kami hanya menumpang, dan lirik lagu Silampukau berjudul Bola Raya menggelayut di kepala.

Memang kami tak paham soal akta
Sertifikat tanah dan omong kosong lainnya
Kami hanya main bola
Sonder digugah, sonder didakwa

Kami sebenarnya tak perlu susah-susah mencari lapangan bola, kami bisa saja menyewa lapangan futsal. Tapi kami menginginkan sebuah lapangan yang menjadi ‘milik’ kami, yang secara otomatis menarik setiap pemuda mengunjunginya saban sore. Kami merindukan saat-saat di mana tanpa komando satu-persatu remaja berjalan kaki ke lapangan dengan mengait sepasang sepatu bola di jarinya.

Di lapangan futsal kami mesti berebut jadwal dengan tim lain, belum lagi ihwal mencocokkan waktu dengan kawan-kawan. Dan Anda tentu paham bagaiman kesalnya kekurangan pemain yang merembet pada kekurangan uang patungan, ‘kan?

Namun, sekali lagi, mau bagaimana lagi, toh kami tetap kembali ke lapangan futsal seiring dengan dibetonnya lahan yang sempat membawa kesenangan walau hanya sepintas lalu itu.

Anda boleh saja menganggap saya berlebihan dan mendramatisir kehadiran lapangan futsal sewaan. Tapi, cobalah tengok kembali bagaimana olahraga yang dipopulerkan Juan Carlos Ceriani itu lahir. Kata orang, proses kelahiran mencitrakan bagaimana sesuatu terbentuk. Revolusi industri melahirkan sikap orang Inggris dalam memandang sepak bola; keras dan cenderung pragmatis.

Futsal lahir tahun 1930, penyebabnya adalah euforia yang bersumber dari kemenangan timnas Uruguay dalam gelaran Piala Dunia pertama. Kemenangan itu membuat seluruh masyarakat Uruguay tergila-gila kepada sepak bola, alhasil olahraga ini dimainkan di segala penjuru. Di Montevideo, sepak bola dimainkan di berbagai tempat, tak hanya di lapangan, melainkan juga di lorong-lorong permukiman yang padat penduduk. Futbol de Sala seringkali diartikan sebagai sepak bola di lorong.

Dimainkan di lorong-lorong serta di jalanan bukanlah tanpa alasan, ketiadaan lapangan sepak bola menjadi penyebabnya. Dan dengan begitu secara kasar futsal boleh dibilang anak kandung dari minimnya fasilitas public atas kebutuhan olahraga masyarakat.

Tak mengherankan kemudian di negara-negara serupa Brasil yang memiliki kepadatan penduduk besar futsal banyak digemari. Di favela, terdapat lapangan beton yang menyempil di antara bangunan bersusun yang ikonik itu. Dari keadaan sosiologis itulah kemudian muncul street football. Tak lain dari upaya menyiasati kekurangan.

Paradoksial

Kendati lahir dari kekurangan, bukan berarti futsal tidak memberikan faedah terhadap dunia sepak bola. Ketiadaan fasilitas sepak bola kemudian membuat masyarakat Brasil beralih ke futsal, dan itu nampaknya mempunyai keuntungan tersendiri. Ada semacam paradoksial.

Neymar, Robinho, Ronaldo, dan Pele adalah segelintir nama-nama bintang sepak bola yang boleh dibilang mengasah kemampuannya dalam olahraga futsal. Alih-alih terbelenggu dalam kekurangan (fasilitas), mereka justru besar karena kesulitan.

Para Hegelian menyebut yang seperti itu sebagai bentuk proses dialektika; bahwa premis-premis, dalam hal ini adalah hasrat bermain sepak bola dan ketiadaan fasilitas, berkelindan lantas kemudian membentuk sebuah sintesa atau situasi baru hasil proses tersebut.

Bahwa lapangan futsal sewaan adalah tanda buruk dari ruang publik dalam sebuah masyarakat, namun ia bisa berubah menjadi wadah mempertajam kemampuan, mengasah skill yang kemudian menjadi modal dalam bermain sepak bola. Akan tetapi, bukan berarti lantas kita mewajarkan ketiadaan ruang publik berupa lapangan sepak bola. Sebab seperti yang kita tahu, lapangan sepak bola (dan sepak bola itu sendiri) bukanlah sekadar permainan, ia bisa menjadi wadah paling sederhana dalam merawat kehidupan sosial.

Author: Rizal Syam