Eropa Inggris

Theo Walcott dan Status Pesepak Bola yang Melekat

Theo Walcott pernah berada di jalur yang tepat untuk menuju puncak. Ia punya segalanya untuk menjadi raja Arsenal yang baru. Bakatnya besar, hingga dianggap sebagai penerus yang pas untuk Thierry Henry. Namun saat ini, nama Walcott identik dengan pesakitan. Identik dengan status mantan remaja potensial yang gagal.

Perjalanan karier mantan pemain akademi Southampton ini penuh dinamika. Kecepatan dan kemampuannya menerobos pertahan lawan menjadikan Walcott senjata ampuh dari sisi lapangan. Ditambah ketajaman, pemain yang saat ini sudah berusia 28 tahun ini menjadi salah satu pemain sayap yang berbahaya di Liga Primer Inggris.

Berbekal ketajaman itu, Walcott berani menemui Arsene Wenger secara langsung. Pemain berdarah Inggris ini meminta secara khusus untuk dimainkan sebagai penyerang tengah. Mungkin, Walcott berpandangan bahwa untuk mencapai level Henry, ia harus bermain sebagai ujung tombak, sebagai pendulang gol untuk The Gunners.

Sebetulnya memang masuk akal. Dahulu, Henry lekat dengan pemain sayap dengan mengandalkan kecepatan dan insting mencetak gol. Namun, ketika berseragam Arsenal, Wenger mengonversi mantan pemain Juventus itu sebagai penyerang. Dengan kerja keras dan dedikasi, Henry menjelma menjadi salah satu pembobol gawang terbaik di dunia.

Apakah jalan karier seperti itu yang ingin ditapaki Walcott? Bisa jadi, dan tidak ada yang salah. Yang salah kemudian adalah inkonsistensi, dan rentetan cedera yang menghambat proses belajarnya. Hingga saat ini, Walcott termasuk dalam daftar itu. Daftar pemain berkaki kaca yang lebih akrab dengan ruang perawatan ketimbang lapangan hijau.

Ketika cukup banyak mendapatkan kesempatan bermain sebagai sayap kanan (lagi) dan tetap bisa mencetak gol, Walcott berubah pikiran. Ia ingin lebih banyak dimainkan di sisi kanan, di mana Walcott bisa memanfaatkan kecepatannya. Toh dari sisi kanan pun, Walcott sempat rajin mendulang gol dan membuat asis.

Perubahan sikap yang didasarkan kepada performa sesaat ini sungguh tidak bagus untuk perkembangan pemain. Karena bisa diartikan Walcott tak punya determinasi untuk belajar di tengah kesulitan.

Baca juga: Apakah Theo Walcott Masih Dibutuhkan oleh Arsenal?

Oleh sebab itu, status negatif yang saat ini justru melekat. Walcott sudah dianggap tak pantas mengenakan seragam Arsenal. Dirinya bahkan masuk dalam daftar jual musim panas ini. Meskipun nyatanya, karena tingginya gaji yang ia kantongi, tak banyak klub selain Arsenal yang bersedia memakai jasanya.

Sebagai seorang atlet profesional, status akan selalu melekat. Ketika bermain baik, Walcott akan mendapat pemberitaan sebagai “pesepak bola sukses”. Ketika bermain buruk, Walcott akan mendapat cap “pesepak bola gagal”. Sebuah situasi yang tak akan bisa dihindari, meski Walcott melakukan sesuatu yang menyentuh di hati.

Seperti misalnya ketika pasangan suami-istri yang mukim di Texas, Amerika Serikat, harus kehilangan anaknya karena dipanggil Tuhan. Almarhum anak pasangan Edward Herdman dan Emma diberi nama Theo, seperti nama lengkap Walcott: Theo James Walcott. Mendengar kabar itu, Walcott menulis surat yang berisi keprihatinan yang dalam.

“Mewakili kami semua di Arsenal, kami mengirimkan rasa bela sungkawa yang sedalam-dalamnya. Sebagai ayah dua anak, saya tidak bisa membayangkan perasaan yang kalian rasakan saat ini,” tulis Walcott dalam surat berkop resmi emblem Arsenal itu.

Kebaikan-kebaikan seperti ini yang kita butuhkan di tengah situasi dunia yang tak ramah. Terutama dari para atlet profesional yang diidolakan banyak orang. Walcott memang belum bisa mengubah statusnya sebagai pemain yang tengah terpuruk. Namun paling tidak, dirinya masih menunjukkan kewarasan dan kepedulian untuk saling mengasihi, terutama di tengah bencana yang tengah terjadi.

Saya memang menyebutnya sebagai kebaikan kecil, karena memang hanya ditujukan untuk keluarga “kecil”. Ini bukan kebaikan yang akan tertangkap sorot kamera yang lebih besar, seperti misalnya mengungkapkan keprihatinan untuk berbagai konflik di Timur Tengah atau di Myanmar, misalnya. Bukan juga soal suara lantang di tengah panggung politik dunia.

Namun jangan salah, kebaikan-kebaikan kecil ini bisa mengubah hidup seseorang. Dari ayah dan ibu yang depresi karena anaknya meninggal, misalnya. Keluarga yang tengah berkabung akan menyadari bahwa mereka tak sendirian. Meski terpisah jarak ribuan mil antara Amerika dan Inggris, kasih sayang akan tetap terasa.

Bukankah kebaikan tak ada ukuran? Bukankah kebaikan punya nilai yang sama di mata Tuhan? Kebaikan menyeberangkan seorang renta, sama baiknya dengan memberi makan lima ribu orang. Yang penting adalah bertindak, dan keikhlasan menjadi landasannya.

Kebaikan Walcott ini akan dengan cepat dilupakan media, dan mungkin para suporter Arsenal yang tengah marah, seperti saya. Tapi bukan itu pokok utamanya.

Yang paling utama adalah, apa pun statusmu, jangan pernah abai dengan sesama. Meski di tengah beban yang berat karena tak kunjung mencapai performa terbaik, Walcott meluangkan waktu untuk menulis surat.

Di tengah status sebagai “pesepak bola gagal” yang belum bisa dienyahkan, Walcott mengajarkan bahwa stres bukan halangan untuk berbuat kebaikan. Berpikirlah jernih, dan buat orang lain bahagia.

Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen