Kekalahan Arsenal dari Nottingham Forest berbuntut panjang. Suara-suara sumbang yang sebelumnya masih mengalun lirih, kini mulai nyaring. Suara-suara yang rutin terdengar di pergantian tahun, ketika performa Arsenal mulai tenggelam. Suara-suara sumbang yang menuntut Arsene Wenger untuk mundur.
Wenger membuat perjudian. Banyak pemain muda dan penghungi bangku cadangan yang diturunkan untuk meladeni Forest di ajang Piala FA. Sebuah keputusan yang justru menjadi bumerang. Arsenal bermain tanpa kejelasan, tanpa arah, tanpa maksud. Yang “buruk” menjadi “menyedihkan”. Apalagi setelah pada akhirnya kalah dengan skor 4-2.
Manajer veteran tersebut berkilah bahwa jadwal semifinal Piala Carabao melawan Chelsea membuat dirinya, mau tak mau, merotasi banyak pemain pemain inti. Sebuah alasan yang sebetulnya masuk akal karena melihat tingkat kesulitan lawan. Namun, di balik “alasan yang baik” ini, tercium bau anyir “meremehkan” dari skuat Arsenal.
Piala FA memungkinkan banyak klub dari divisi bawah untuk bertemu klub-klub dari Liga Primer Inggris. Laga yang hanya digelar satu kali membuat tim-tim yang dipandang “medioker” ini mempertaruhkan semuanya, mengeluarkan semua kemampuan untuk melaju lebih jauh. Forest yang lebih bergairah ketimbang Arsenal, tampil dengan kejelasan.
Dengan ringan, Wenger mengindikasikan bahwa dirinya menyalahkan para pemain. Sebuah keputusan yang sangat jahat. Mengapa? Pertama, Wenger sendiri yang menurunkan komposisi ini. Kedua, para “pemain pelapis” ini bermain sesuai skenario yang sudah dirancang sang profesor yang maha pintar.
Sungguh mudah menyalahkan para pemain, terutama ketika mereka bermain buruk. Jangan salah, pemain yang membuat banyak kesalahan harus mendapatkan hukuman. Namun, ketika secara logika sudah terlihat bahwa sang pelatih yang maha benar yang bersalah, mengapa tiba-tiba kita menjadi buta? Pemakluman secara kebablasan adalah penyakit. Membendung perkembangan. Membuat diri Anda menjadi pribadi medioker.
Tuntutan untuk mundur
Suara-suara itu kembali muncul dan suaranya terdengar akrab. Menyentuh kembali gendang telinga kita, para fans Arsenal. Suara-suara yang akan terus didendangkan sampai pertengahan 2019.
Tagar #WengerOut sudah menjadi pemandangan yang akrab bagi para suporter Arsenal. Buruknya performa Arsenal di rumah Forest seperti menjadi kesimpulan akan ketidakmampuan Wenger membaca perubahan zaman. Ketidakmampuan Wenger untuk mengembangkan diri sendiri, belajar banyak hal baru, skema baru, taktik baru. Ego yang terlalu tinggi? Ke-Aku-an yang terlalu dominan?
Suara-suara itu bakal makin nyaring ketika Arsenal kembali masuk dalam periode buruk. Misalnya ketika tak menang dalam beberapa pertandingan, ditambah bermain sangat buruk. Namun, apakah pembaca tahu bahwa Wenger sendiri tak bisa “dipecat” sebelum kontraknya habis di tahun 2019?
Mari memutar waktu ke bulan Mei tahun 2017, menengok kembali informasi dari David Ornstein, jurnalis dengan reputasi yang baik dari BBC. Saat itu, Wenger baru saja resmi membubuhkan tanda tangannya di atas kontrak baru. Sebuah kontrak yang tak mengindahkan suara rakyat, para pendukung Arsenal di Inggris yang turun ke jalan menuntut perubahan.
Lewat akun Twitter pribadinya, David mengungkapkan bahwa di dalam kontrak Wenger terdapat klausul yang menyebutkan bahwa tak boleh ada pemecatan. Artinya, seburuk apapun Arsenal selama 2017 dan 2018 nanti, manajemen Arsenal tak bisa menyudahi ikatan kerja dengan Wenger.
Sementara itu, tidak disebutkan kemungkinan apabila Wenger sendiri yang ingin lengser. Jika memang tak ada kemungkinan tersebut, maka pendukung Arsenal harus mau menikmati “Arsenal seperti ini” hingga 2019 nanti.
Kabar ini membuat lini masa Twitter kembali bergolak. Banyak kicauan yang sungguh jahat, yang ditujukan kepada Wenger. Banyak akun jahat yang ingin Wenger segera tutup usia. Ada pula akun yang ingin Wenger “menepati ucapannya” perihal bunuh diri. Jangan serang Wenger secara pribadi. Serang ide Wenger, pemikiran, gagasan, cara bermain, hingga pemilihan pemain.
Persekusi mati sudah terlalu jauh. Meskipun di sisi lain menjadi bahan melihat kembali kerja Wenger, kekesalan para suporter jelas punya alasan, meskipun sungguh jahat dan tercela.
Yang ingin penulis tekankan adalah, jika ada sebab, akan selalu ada akibat, vice versa. Mengapa banyak suporter menyerang Wenger secara jahat? Apakah hanya karena banyak suporter itu seorang psikopat? Tentu tidak, tak semuanya punya latar belakang kehidupan yang begitu kelam.
Kemarahan itu pasti punya dasar, dan biasanya sudah disimpan terlalu lama, dan siap meledak kapan saja. Dari kemarahan ini, kita bisa melihat bagaimana hasil kerja Wenger untuk setengah musim ini. Bahkan, kemarahan itu bisa kita gunakan sebagai bahan evaluasi melihat performa Wenger sebagai pelatih selama lima tahun terakhir.
Gagal lolos ke Liga Champions, gagal di Piala FA ketika putaran awal, sangat kesulitan masuk empat besar, tak sanggup membujuk para pemain terbaik untuk bertahan, hingga yang paling menyedihkan; dengan mudah menyalahkan pemain ketika di atas lapangan, tim bermain tanpa arah.
Perihal kontrak Wenger, jika memang benar terdapat klausul “anti-pemecatan”, Gooner tentu tak bisa berbuat banyak. Kecuali, Wenger sendiri yang mendapatkan hidayah dan mengundurkan diri. Mungkin.
Jika hidayah itu tak pernah datang, maka masih belum terlambat untuk memperbaiki diri. Evaluasi cara bermain. Tidak memalukan untuk belajar kembali dari rekan sejawat yang lebih muda. Ide pelatih-pelatih muda tak kalah canggih. Lihat kembali performa Manchester City, pendekatan Pep Guardiola. Atau jika memang gengsi, pelajari betapa fleksibelnya Massimiliano Allegri bersama Juventus, atau kekokohan yang dibangun Jupp Heynckes bersama Bayern München.
Pada dasarnya, materi pemain Arsenal tak terlalu buruk. Mereka hanya butuh sentuhan ide yang berbeda. Tak masalah apabila ide itu berasal dari Wenger. Siapa tahu, dengan perbaikan, Wenger bisa menyelamatkan musim Arsenal. Misalnya dengan menjuarai Liga Europa dan masuk empat besar. Jangan salah, lawan-lawan kelas berat sudah menunggu di Liga Europa.
Atau, paling tidak, jika Arsenal memang sudah “maksimal”, Wenger bisa menyelamatkan nama baiknya sendiri di tengah kapal yang mulai oleng ini. Memperbaiki kesalahan tentu perbuatan yang manis, lagi terpuji. Mau belajar hal baru menandakan manusia yang sehat pikir. Tak tersesat dalam otak yang bebal. Niat berubah akan berhadiah surga. Tentu, perubahan harus ke arah yang lebih baik.
Bagi para pendukung, yang punya makna sama saja dengan suporter di Bahasa Indonesia, yang mau menyisihkan kepingan sabar sampai 2019, juga akan mendapat karunia surga. Bersabar itu bukan pekerjaan mudah dan sungguh manis di mata Allah.
Menjadi pendukung Arsenal, atau suporter, atau pandemen, atau mau pakai istilah apa saja boleh, terkadang bisa sangat berat.
Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen