Kolom

Hijrah ke Malaysia: Menganggap Negeri Jiran sebagai Tetangga, bukan Musuh

Membaca judul secara sekilas, pembaca pasti sudah tahu artikel ini tentang apa dan akan menjuru ke mana. Tapi, walau sebagian dari Anda mungkin jenuh, dan mungkin juga sudah merasa cukup dengan saga transfer Evan Dimas dan Ilham Armaiyn ke Selangor FA, tujuan editorial singkat ini adalah berupaya memahami kenapa hijrah ke Malaysia bukan hal yang perlu dikhawatirkan oleh PSSI, Edy Rahmayadi, dan insan sepak bola Tanah Air.

Berawal dari “Ganyang Malaysia”

Sentimen kepada Malaysia sudah terjadi sejak zaman Presiden Soekarno. Dan di atas lapangan hijau, sentimen itu masih berlanjut. Terakhir, di SEA Games 2017, sesaat usai mengandaskan perlawanan Kamboja dan mengunci tiket lolos semifinal, Evan Dimas bilang kepada awak media bahwa laga melawan tuan rumah Malaysia di Shah Alam adalah perkara harga diri bangsa.

Komentar yang berani dari Evan, pun terkesan patriotistik, walau akhirnya, kita kembali kalah dan gagal kemudian, lalu kini, Evan sudah resmi sebagai pemain Selangor di Malaysia. Sentimen cenderung negatif kepada Malaysia, apalagi di konteks sepak bola, sebenarnya sah-sah saja. Inggris dan Jerman masih memelihara hal itu, bahkan hingga detik ini. Pun dengan Spanyol dan Portugal, juga Inggris dengan Argentina akibat dari Perang Malvinas.

Tapi, sentimen ini cukup dipakai sebagai ‘bahan bakar’ untuk memanaskan tensi pertandingan saja, tak perlu dibawa ke arah yang negatif dan cenderung anarkis, seperti laiknya kita memerangi terorisme atau kejahatan kemanusiaan dengan skala besar.

Klub Malaysia selalu membutuhkan pemain Indonesia

Rekam jejak pemain Indonesia di Negeri Jiran sudah menjadi rahasia umum yang semua orang tahu. Bila Anda ke Selangor, berkata bahwa Anda dari Indonesia, orang di sekitar sana akan menggiring pembicaraan kepada dua nama: Bambang Pamungkas dan Andik Vermansyah.

Keduanya, juga Elie Aiboy, yang setahu saya kini menetap di Klang, yang masih berada di bagian dari wilayah Shah Alam, menjadi idola publik Selangor. Pembicaraan mengenai pesepak bola Indonesia di Selangor membuat relasi antara masyarakat kita dengan Malaysia terasa hangat dan akrab. Selain itu, secara kultural, kita dan Malaysia memang satu rumpun, sebagai bangsa Melayu.

Hal ini diamini oleh chief editor Football Tribe Malaysia, Keesh Sundaresan, yang berdasarkan dari interview singkatnya dengan pelatih Selangor, Maniam Pacchaiappan, yang beranggapan bahwa merekrut pemain Indonesia adalah kebijakan yang selalu dipertimbangkan tim Malaysia tiap musimnya.

Iklim kompetisi yang lebih sehat dan jauh lebih profesional, fasilitas yang lebih baik, gaji yang sedikit lebih tinggi di atas pasaran nilai kontrak di Indonesia, membuat Malaysia kerapkali menjadi tujuan yang asyik bagi pemain Indonesia. Hal ini didukung oleh mudahnya adaptasi untuk tinggal di Malaysia, sebab kesamaan kultur dan bahasa yang kurang lebih tak berbeda jauh, membuat pemain kita mudah sekali betah tinggal di Malaysia. Juga soal kuliner yang tak berbeda jauh cita rasanya, yang membuat semua terasa lebih mudah untuk dijalani di Malaysia ketimbang di Thailand atau Vietnam, misalnya. Andik, jelas adalah salah satu contohnya.

Per 2018 saja, sudah tiga pemain kita hijrah ke Malaysia, dan ketiganya pemain berstatus pemain tim nasional, di mana dua di antaranya adalah pemain muda andalan Luis Milla untuk Asian Games 2018 nanti. Ferdinand Sinaga menjadi rekrutan ketiga dan pindah ke Kelantan FA, setelah sebelumnya Evan dan Ilham yang akhirnya ‘direstui’ PSSI untuk hijrah ke Selangor.

Jumlah ini masih bisa bertambah, mengingat selama gelaran Go-Jek Traveloka Liga 1 lalu, banyak pemain kita yang tampil menawan dan menjadi incaran beberapa tim luar negeri. Terens Puhiri dan Ryuji Utomo sudah mendarat di Liga Thailand. Tim-tim Malaysia juga kemungkinan akan menggunakan jatah pemain asing ASEAN mereka untuk merekrut pemain Indonesia, sebab, masih melalui penuturan Keesh, pemain Indonesia jauh lebih menarik dan mudah beradaptasi di Malaysia ketimbang harus merekrut pemain dari Vietnam, Thailand, atau bahkan Myanmar sekalipun. Bersama pemain asal Singapura, pemain impor dari Indonesia adalah komoditi yang begitu disukai.

Apakah ini kemudian ancaman penurunan kualitas bagi Liga Indonesia?

Menjawab pertanyaan dari sub-judul ini, pembaca perlu lebih open minded. Kalau memikirkan banyaknya pemain berkualitas kita hengkang ke luar negeri membuat Indonesia menjadi miskin pemain bertalenta di liga domestik, ini tentu menunjukkan sisi pesimisme kita bahwa negara seluas dan sebesar Indonesia kok ya bisa harus merasa gagal dalam mereproduksi talenta-talenta muda berkualitas tiap tahunnya.

Egy Maulana Vikry sudah dipastikan berkarier di Eropa, dan di usia lebih muda lagi, masih ada nama Sutan Zico yang masuk kategori usia U-16. Di angkatan Egy, beberapa nama pemain di Timnas U-19, seperti Muhammad Luthfi Kamal hingga Hanis Saghara, semuanya sudah banyak mendapat klub baru dan dikontrak profesional.

Inilah tantangan sesungguhnya, apakah klub-klub Indonesia mampu memberi menit bermain dan membantu pemain-pemain muda kita lebih berkembang lagi, atau justru sebaliknya, membuat ekspansi karier Evan dan kolega ke luar negeri, menjadi sesuatu yang disesali, sebab klub lokal kita masih kepayahan mencetak talenta muda berkualitas.

Regenerasi harus terus ada, sebab di zaman modern, semua menjadi serba cepat, dan sepak bola semakin kapitalis dengan pergerakan yang tak bisa diduga-duga. Siapa sangka pelatih medioker dari Inggris, Graham Potter, tiba-tiba hijrah ke Ostersund, dan membuat tim itu kini berada di babak 32 besar Liga Europa dan bersiap meladeni Arsenal bulan Februari nanti?

Sudah saatnya Malaysia bukan lagi dipandang sebagai musuh atau lawan, tapi dipandang sebagai tetangga, tempat pesepak bola terbaik kita mencari rezeki lebih baik dan meningkatkan mentalitas bertanding serta kualitas tekniknya ke level yang lebih lagi demi kapabilitas timnas Indonesia yang lebih baik.

Saya rasa cukup begitu dulu ya editorial ini, Pak Edy Rahmayadi. Salam hormat.

Tabik.

Isidorus Rio Turangga – Editor Football Tribe Indonesia