Eropa Inggris

6 Januari: Memoar Herbert Chapman, Pelatih Legendaris dari Inggris

Pada 12 Desember 2017 kemarin, terdengar satu chant yang agak berbeda di Stadion John Smith, kandang Huddersfield Town. Nyanyian “Champions of England, you’ll never sing that” terus berdendang di sepanjang laga.

Malam itu, Huddersfield yang berstatus tim promosi, tengah menjamu kampiun Liga Primer Inggris musim 2016/2017, Chelsea, dalam laga pekan ke-17 musim kompetisi 2017/2018. Chant yang saya tuliskan di paragraf pertama itu sendiri disenandungkan oleh para suporter tim tamu.

Bukannya mendapat pujian, chant “Champions of England, you’ll never sing that” yang pendukung The Blues tujukan kepada tim tuan rumah sebagai ejekan itu malah ditertawakan oleh khalayak ramai.

Alasannya sederhana, apa yang mereka nyanyikan sama sekali tidak pantas sebab Huddersfield, se-medioker apapun mereka sekarang, justru menjadi pihak yang lebih dulu menjuarai kompetisi Liga Inggris. Jarak titel liga perdana Huddersfield bahkan mencapai 31 tahun dengan gelar pertama kepunyaan Chelsea.

The Terriers adalah klub raksasa Inggris di era 1920-an karena sukses mencaplok empat trofi prestisius, masing-masing tiga gelar liga dan satu Piala FA. Gelar liga itu sendiri mereka peroleh selama tiga musim beruntun yakni 1923/1924, 1924/1925, dan 1925/1926.

Catatan itu bikin Huddersfield sah sebagai klub pertama yang berhasil mengukir hat-trick juara liga dalam sejarah sepak bola Inggris dan sampai sekarang, cuma bisa disamai oleh Arsenal, Liverpool, dan Manchester United.

Keberhasilan yang dicapai oleh Huddersfield kala itu tentu sulit dilepaskan dari figur bernama Herbert Chapman. Berkat tangan dingin lelaki kelahiran Kiveton Park ini, The Terriers jadi klub yang sangat disegani (meski trofi juara liga nomor tiga Huddersfield didapat bukan dengan ia sebagai pelatih).

Sejumlah nama pilar seperti George Brown, Clem Stephenson, Ted Taylor, Joey Williams, dan Charlie Wilson juga ikut terangkat popularitasnya akibat prestasi Huddersfield pada momen itu.

Walau karier sepak bolanya sebagai pemain identik dengan bergonta-ganti klub dan tanpa prestasi, namun Chapman dikenal sebagai pelatih andal. Pengalaman bermain di atas lapangan hijau menganugerahinya pemahaman taktik dan manajerial yang sangat mumpuni.

Berbasis pada pertahanan kokoh dan serangan kilat yang mengandalkan umpan-umpan pendek serta kegesitan para winger, lawan-lawan Huddersfield saat itu selalu kepayahan untuk mengimbangi permainan khas Chapman.

Pencapaian gemilang Chapman itu sendiri memikat atensi Arsenal. Tatkala Chapman sedang mempersiapkan diri untuk membesut Huddersfield di musim 1925/1926, manajemen The Gunners menemuinya dan menawari jabatan pelatih. Tak tanggung-tanggung, Arsenal siap memberinya upah senilai 2 ribu paun (dua kali lipat dari yang diperolehnya bareng Huddersfield).

Godaan itu begitu sulit ditampik Chapman sehingga membelot dari Huddersfield dan menukangi Arsenal per musim 1925/1926. Bersama tim barunya, Chapman diberi target untuk meraih prestasi dalam kurun waktu lima musim.

Masih mengandalkan metode yang sama kala dirinya membesut The Terriers, Chapman justru berhasil melambungkan Arsenal dengan finis di posisi dua klasemen akhir, tepat di bawah Huddersfield, pada musim tersebut.

Di tangan Chapman, Arsenal jadi tim yang amat konsisten bersaing di papan atas. Padahal, sebelumnya mereka lebih dikenal sebagai tim papan tengah bahkan bawah.

Bareng The Gunners, Chapman memperkenalkan sebuah pakem yang berbeda dengan sebelumnya, Di era yang sangat identik dengan pola WM 2-3-5 tersebut, sang pelatih justru melakukan improvisasi taktik sehingga timnya lebih sering bermain dengan formasi 3-4-3.

Digawangi nama-nama semisal Joe Hulme, David Jack, Alex James, dan Herbie Roberts, Chapman pun berhasil mempersembahkan beberapa titel bagi Arsenal. Antara lain sepasang titel liga di musim 1930/1931 dan 1932/1933 berikut satu Piala FA pada kompetisi 1929/1930.

Gelar-gelar di atas merupakan silverwares perdana dalam sejarah klub. Menjadi sangat wajar bila nama Chapman selalu dikenang oleh pendukung The Gunners sebagai peletak dasar kejayaan Arsenal buat meraih status klub papan atas di tanah Britania.

Sayangnya, perjalanan karier Chapman bareng The Gunners diakhiri dengan kisah yang menyedihkan. Hanya beberapa hari usai menyaksikan laga Bury melawan Notts County pada momen Tahun Baru 1934, Chapman diserang flu. Tragisnya, penyakit itu lantas semakin parah dan membuatnya terserang pneumonia, penyakit pernapasan yang sangat mematikan di periode tersebut.

6 Januari 1934, pada dini hari waktu Inggris, Chapman tak bisa lagi bertahan. Dirinya mengembuskan napas terakhir sebelum akhirnya dikebumikan empat hari kemudian di Hendon.

Segudang pencapaian gemilang yang diukir Chapman semasa melatih membuatnya didapuk sebagai salah satu gaffer top di era tersebut. Tak hanya itu, Chapman juga dianggap berjasa besar atas sejumlah inovasi yang dilakukannya di bidang sepak bola zaman itu. Banyak pemikiran Chapman yang mengubah wajah sepak bola Inggris secara umum.

Sebagai contoh, dirinyalah yang pertama kali mengusulkan bahwa stadion sepak bola di Inggris perlu memiliki lampu agar bisa memanggungkan pertandingan pada malam hari. Penggunaan nomor punggung pemain juga konon berasal dari ide Chapman.

Tak sampai di situ, semasa melatih Chapman juga mewajibkan tim asuhannya memiliki fisioterapis dan masseur, demi merawat sekaligus membantu pemainnya menjaga kebugaran.

Program scouting yang dijalankan klub dimodifikasinya supaya tidak berfokus pada pencarian pemain di kawasan Inggris Raya saja. Para pemandu bakat yang dipekerjakan klub diberinya tugas untuk berkeliling Eropa demi mencari pemain yang sesuai dengan sistem yang dikembangkannya dalam melatih.

Ia pun tak ragu mengajak para penggawanya buat berdiskusi perihal taktik, baik milik mereka ataupun calon lawan. Menjadi hal yang lazim bila di era kepelatihan Chapman, seluruh pemain Huddersfield dan Arsenal berkumpul di markas latihan pada satu hari tertentu hanya untuk membahas strategi permainan.

Pada tahun 2011 silam, The Gunners membuat sebuah patung Chapman yang diletakkan di area sekitar Stadion Emirates. Sebuah bukti jika sosok yang satu ini merupakan salah satu figur legendaris bagi klub.

Tenanglah di surga, legenda.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional