Suara Pembaca

Kasus Transfer Evan Dimas, Buntut dari Kurangnya Pemain Muda di Tanah Air?

Selama bulan Desember lalu, berita yang cukup banyak menyita perhatian di dunia sepak bola nasional adalah perihal transfer dua pemain muda milik Bhayangkara FC, Evan Dimas Darmono dan Ilham Udin Armaiyn menuju Selangor FA.

Sayangnya, kehebohan berita tersebut bukan dikarenakan kemampuan mereka dihargai begitu mahal oleh klub asal Negeri Jiran tersebut, melainkan karena respons ketua umum PSSI, Edy Rahmayadi, yang justru mengatakan bahwa kedua pemain tersebut tidak menunjukkan rasa nasionalisme mereka saat memutuskan hijrah ke luar negeri.

Banyak sekali perdebatan sana-sini yang muncul. Semua media olahraga ikut mempertanyakan logika Edy yang menahan kepindahan kedua pemain tersebut. Masalah ini juga sampai diliput oleh media luar negeri. Fox Sports Asia sampai memuat tulisan yang mengkritik pernyataan Edy tersebut. Bahkan, pihak AFC juga mengomentari masalah ini, meskipun mereka belum ikut campur lebih jauh.

Baca juga: Media Asing Ikut Tanggapi Komentar ‘Nasionalis’ Edy Rahmayadi

Permasalahan ini akhirnya mulai menemui titik terang setelah awal Januari ini pihak Selangor berangkat menuju Jakarta untuk membahas langsung masalah ini dengan PSSI. Kabarnya, kedua pihak menemui kata sepakat. Kubu Selangor akan memberikan izin kepada Evan dan Ilham untuk meninggalkan klub jika mereka mendapat panggilan dari timnas Indonesia.

Sejak awal, pihak PSSI sendiri mengakui bahwa alasan mereka mempermasalahkan kepindahan dua pemain ini ke Malaysia adalah karena mereka merupakan bagian dari skuat yang disiapkan oleh Luis Milla untuk menghadapi Asian Games 2018 pada Agustus mendatang. Sebagai tuan rumah, PSSI tentu berharap timnas Indonesia dapat menurunkan pemain-pemain muda terbaik dari seantero negeri. Apalagi kita tahu, PSSI juga memasang target yang cukup tinggi untuk Asian Games kali ini.

PSSI khawatir bila Evan dan Ilham main di Malaysia, Selangor nantinya tidak akan mengizinkan keduanya untuk menerima panggilan timnas saat dibutuhkan, mengingat Asian Games bukan kejuaraan yang masuk dalam kalender FIFA.

Dalam kasus ini, memang Selangor diperbolehkan untuk melarang keduanya bergabung dengan timnas Indonesia, seperti halnya Juventus yang melarang Paulo Dybala untuk memperkuat Argentina pada ajang Olimpiade 2016 lalu di Brasil. Oleh karena itu, kesepakatan yang terjalin tentu memberikan kelegaan tersendiri.

Kesepakatan yang dijalin oleh Selangor dan PSSI terkait Evan dan Ilham ini sebenarnya sah-sah saja. Hal ini pernah terjadi pada Barcelona yang mengizinkan Lionel Messi (2008) dan Neymar (2016) untuk ikut bertanding di ajang Olimpiade, yang sama seperti Asian Games, tidak masuk dalam kalender FIFA.

Namun bila dilihat dari sudut pandang berbeda, hal ini menjadi isyarat bahwa mungkin sepak bola nasional sedang kekurangan pemain yang bisa diandalkan untuk membela timnas Garuda di ajang Asian Games nanti, sampai-sampai PSSI harus membuat kesepakatan dengan Selangor, dengan cara yang sedikit heboh pula. Seharusnya, ini bukanlah masalah besar bila memang kita mempunyai banyak stok pemain muda berkualitas. Tak ada si A dan B, masih ada X, Y, atau Z yang bisa menggantikan.

Pemikiran ini muncul karena selama 5 tahun terakhir, Evan selalu ikut dalam kejuaraan yang diikuti oleh timnas dalam berbagai kategori umur, mulai dari Piala AFF U-19 2013, Piala AFF 2014, SEA Games 2015, Piala AFF 2016, dan yang terakhir, SEA Games 2017. Sedangkan Ilham sendiri baru pernah mengikuti Piala AFF U-19 2013 dan SEA Games 2015.

Evan sudah pernah mengikuti kejuaraan level senior dua kali (Piala AFF). Ini menandakan bahwa kualitasnya sudah dianggap pantas bersanding dengan pemain-pemain yang lebih senior. Bila timnas Indonesia terus memanggilnya untuk mengikuti kejuaraan level kategori umur (downgrade), maka wajar bila kita mengajukan pertanyaan, apakah tak ada lagi pemain seusianya, atau yang lebih muda, yang bisa diandalkan? Sampai-sampai, hak Evan maupun Ilham untuk pindah keluar negeri ingin dikebiri demi kepentingan timnas.

Masalah seperti ini mungkin saja hanya bersifat sementara, mengingat tahun ini ada kejuaraan besar yang dihadapi PSSI. Namun bila kita lihat kembali, kepindahan Ryuji Utomo maupun Terens Puhiri ke Thailand rasanya tak menimbulkan banyak polemik, setidaknya jika melihat pemberitaan di media. Ini tentu mengherankan.

Apakah karena Evan tergolong pemain inti di timnas, sehingga kepindahannya ke Malaysia dipermasalahkan? Bila memang begitu, hal ini makin menguatkan dugaan betapa minimnya pemain yang bisa diandalkan Luis Milla.

Terlepas dari tidak masuknya kejuaraan Asian Games ini dalam kalender FIFA, kejuaraan ini tetaplah penting bagi Indonesia, setidaknya PSSI. Namun jangan sampai PSSI mengorbankan karier para pemain nasional hanya demi bisa memakai jasa mereka di timnas.

Jangan sampai mereka jadi takut untuk mencoba peruntungan di luar negeri karena nantinya akan dipermasalahkan PSSI seperti sekarang ini. Padahal, bermain di luar negeri sangat baik bagi sang pemain maupun untuk timnas sendiri.

Bagaimana bila suatu saat nanti banyak pemain Indonesia yang ingin direkrut klub-klub asal Eropa, Asia Timur, atau Amerika Latin, namun klub-klub tersebut tak mau melepas pemain-pemain kita untuk kejuaraan Piala AFF karena tak masuk kalender FIFA? Masih mending bila timnas kita bisa lolos ke Piala Asia, sehinga para pemain itu bisa ikut membela timnas.

Namun jika tidak, apakah PSSI mau melakukan pendekatan yang sama kepada klub-klub tersebut, seperti yang dilakukan kepada Selangor saat ini ‘hanya’ demi Piala AFF atau Asian Games? Federasi sekelas AFA (Argentina) saja tak bisa apa-apa saat Juventus tak mau melepaskan Dybala untuk Olimpiade, dan belum tentu semua klub di luar sana ‘sebaik’ SC Telstar, yang mengizinkan Stefano Lilipaly untuk ikut serta di Piala AFF 2016 lalu.

Kasus ini menjadi sinyal berikutnya untuk PSSI agar pembinaan pemain muda dilakukan dengan serius, agar PSSI tak lagi kelimpungan jika ada pemain-pemain lokal yang pindah bermain ke luar negeri. Jika yang terjadi sebaliknya, maka tak perlu heran bila di masa depan kasus ini bisa terulang lagi, terutama di era kepemimpinan Edy Rahmayadi.

Author: Adhi Indra Prasetya (@aindraprasetya)