Suara Pembaca

Mengubah Mindset Kita dalam Pembinaan Usia Muda

“Problem terberat adalah masalah mindset (pola pikir). Mindset soal (pemain) usia muda. (Tujuan) sepak bola usia muda ini adalah alat untuk mencetak manusia dengan kepribadian yang tangguh, yang punya kualitas, yang kemudian dia (pemain muda) bisa berprestasi di sepak bola. Berprestasi seperti apa? Tentunya dia bisa menjadi pemain sepak bola profesional yang bisa mengabdi untuk tim nasional, menjadi pemain tim nasional senior yang berprestasi tinggi, yang mungkin bukan cuma kelas Asia Tenggara, tapi kelas Asia dan dunia.”

Kalimat di atas adalah rangkuman dari apa yang diucapkan oleh Ganesha Putra Christian, staf ahli Direktur Teknik PSSI, saat berbicara dalam forum diskusi BOLA bertema ”Bagaimana Merawat Bakat-Bakat Muda Pesepak bola” yang berlangsung pada tanggal 21 November lalu di kantor redaksi Tabloid BOLA.

Dalam forum diskusi yang juga mengundang Jarot Supriadi (pelatih kiper timnas Indonesia U-19), Subagja Suihan (ayah angkat Egy Maulana Vikri), Habib Ali Hasan (pembina sepak bola usia muda), Hamsa Lestaluhu (pemain timnas Indonesia U-16), dan Yadi Mulyadi (pemain timnas Indonesia U-16), berbagai macam topik tentang sepak bola usia muda mengemuka.

Namun, bahasan pria gempal yang juga berpengalaman dalam pembinaan usia muda ini sangat menarik untuk dibahas lebih jauh. Alasannya sederhana, karena kita sebagai pencinta sepak bola lokal bisa melihat bagaimana pola pikir PSSI sejauh ini (setidaknya Danurwindo selaku Direktur Teknik PSSI dan timnya) dalam usaha mengembangkan sepak bola muda di negeri ini.

Paragraf pembuka tulisan ini bisa menjadi patokan bahwa itulah tujuan akhir dari pembinaan usia muda di sepak bola nasional yang sudah dirancang Danurwindo. Dalam perjalanan menuju ke sana, langkahnya tentu tidak mudah. Sejauh ini, PSSI sudah meluncurkan buku berjudul Filosofi Sepak bola Indonesia (Filanesia) pada awal November lalu. Harapannya, kurikulum tersebut akan menjadi acuan para pelatih-pelatih sepak bola usia muda di seluruh negeri dalam melatih bocah-bocah harapan bangsa itu.

Agar proses penerapan kurikulum itu makin mudah, PSSI melakukan beberapa upaya, antara lain mulai memperbanyak kursus kepelatihan sepak bola, mulai dari level D nasional hingga level A AFC. Bahkan PSSI juga akan bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Lewat kerja sama itu, kabarnya para guru olahraga di sekolah-sekolah di Indonesia juga akan difasilitasi kursus kepelatihan (D nasional), sehingga para pemain-pemain muda juga bisa berlatih sepak bola dengan baik tak hanya di sekolah sepak bola (SSB), namun juga di sekolah formal. Selain itu, PSSI dan Kemendikbud akan mengadakan kompetisi sepak bola SMP se-Indonesia dan juga memasukkan kurikulum Filanesia tersebut dalam mata pelajaran sekolah di Indonesia.

Sudah cukupkah semua itu? Tentu tidak.

Semuanya perlu usaha keras dan konsistensi. Perlu waktu, tenaga, dan dana yang tidak sedikit. Selain itu, Ganesha pun menjelaskan kiranya ada 4 hal penting yang harus dilakukan mulai saat ini di sektor pembinaan pemain usia muda demi kemajuan sepak bola nasional.

Sebenarnya bahasan ini sudah umum dibicarakan, bahkan saya mulai malas menulisnya. Namun yang mengubah pikiran saya adalah semua yang Ganesha ceritakan mengerucut ke satu hal: perubahan mindset. Ya, perubahan mindset dalam setiap pelaku sepak bola ternyata penting dan perlu diterapkan. Mulai dari pemerintah, federasi, klub, hingga para pelatih.

Pertama dalam hal infrastruktur. Seperti yang kita tahu tak ada satupun klub di Indonesia yang infrastrukturnya sudah seperti klub-klub profesional di Jepang. Jangankan stadion sendiri, markas klub dan lapangan latihan pun mungkin jauh dari kata mewah. Tak jarang segala fasilitas yang ‘cukup’ itu dimiliki oleh pemerintah. Semuanya dikarenakan kemampuan finansial klub yang belum cukup mapan. Namun meminta bantuan pemerintah untuk mengucurkan dana membangun infrastruktur pun bukanlah hal mudah.

Menurut Ganesha, di saat kita lebih membutuhkan banyak lapangan sepak bola yang layak untuk latihan, namun pemerintah (pusat/daerah) lebih menyukai pembangunan stadion. Alasannya karena lebih terlihat hasilnya, dan bisa jadi bukti wujud nyata pembangunan. Padahal, stadion tak bisa diakses dengan gampang oleh orang umum. Sedangkan sepak bola nasional, khususnya di usia dini, lebih membutuhkan banyak lapangan agar semua anak dari berbagai kalangan bisa mendapat akses bermain sepak bola yang layak dengan mudah.

Kesulitan membangun lapangan latihan, terutama di kota-kota besar, mungkin disebabkan oleh keterbatasan lahan dan (mungkin) arah pembangunan daerah yang kurang mendukung perkembangan olahraga, khususnya sepak bola. Oleh sebab itu, tanpa dukungan nyata dari pemerintah dan swasta (yang baik hati untuk membantu secara materil), pembangunan infrstruktur sepak bola akan berjalan lambat.

Kedua, tekait soal kompetisi. Ganesha mengungkapkan, dalam kompetisi usia muda yang paling penting adalah bersifat reguler dan jangka panjang. Itu sebabnya ia kurang setuju dengan format kompetisi yang bersifat turnamen dan berskala nasional. Sayangnya, dua hal ini masih umum terjadi dalam sepak bola usia muda. Bahkan, diakuinya sendiri, PSSI pun masih berpikiran demikian, dalam artian harus ada kompetisi yang berskala nasional. Padahal, hal itu tak perlu dilakukan mengingat geografis Indonesia yang besar.

Kompetisi berbentuk liga jangka panjang yang dimainkan di akhir pekan jauh lebih baik karena yang paling dibutuhkan anak-anak muda ini adalah waktu bermain. Berlatih sesuai kebutuhan di hari-hari biasa (dan bersekolah), lalu bermain di akhir pekan. Bandingkan dengan turnamen yang hanya beberapa kali main, lalu selesai begitu saja. Jika akademi atau SSB-nya kalah duluan, maka waktu bermainnya pun jadi lebih sedikit.

Bila sudah berbicara kompetisi reguler, maka yang paling mudah dan murah tentu jika kompetisinya bersifat lokal (tingkat kabupaten/kota rasanya sudah besar, jika ada tingkat kecamatan lebih bagus). Pembinaan sepak bola di ranah lokal bisa menghemat biaya. Selain itu, dana yang dialokasikan untuk akomodasi keluar kota/provinsi untuk mengikuti turnamen bisa dihindari.

Ganesha menceritakan pengalamannya berbincang dengan perwakilan tim asal Dafonsoro (Papua) yang mengikuti kompetisi sepak bola usia muda hingga tingkat nasional. Dalam perjalanannya, selain tim tersebut mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk akomodasi, jumlah pertandingan yang mereka jalani untuk lolos ke tingkat nasional tidaklah cukup untuk mengasah kemampuan anak-anak tersebut, karena banyak tim di wilayah Indonesia timur yang memilih mundur dari keikutsertaan kompetisi tersebut.

Padahal, cukup dengan mengembangkan liga junior reguler di daerah masing-masing, talenta anak-anak tetap bisa berkembang dengan maksimal. Dan lagi, liga tersebut bisa memudahkan klub-klub asal daerah setempat untuk merekrut bakat-bakat lokal yang ada ketimbang mencari di luar daerah, sehingga tiap klub di Indonesia lebih kental ‘rasa lokalnya’. Kondisi ini juga bisa meningkatkan rasa keterikatan geografis suporter dengan klub.

Selain itu, kompetisi reguler di daerah masing-masing membuat para pemain muda tetap dekat dengan keluarga. Pendidikan yang baik dimulai dari keluarga sendiri, sehingga, bila pemain-pemain muda ini lebih sering bermain di lingkungan yang dekat dengan keluarga, pendidikan karakter dan dukungan moral untuk mereka pun lebih mudah didapat.

Ketiga yaitu pembentukan akademi klub. Saat ini, PSSI dalam tahap ingin memaksakan klub-klub lokal untuk mulai membangun akademi. Harapannya, beberapa tahun mendatang klub-klub lokal sudah bisa memiliki tim kelompok umur sendiri, minimal dari tim U-19 hingga U-15.

Ganesha menjelaskan, selain memang kebutuhan untuk AFC Pro License Club, pembentukan akademi ini bisa menjadi jalan bagi klub untuk memproduksi pemain-pemain bertalenta. Baginya, klub harus mulai berpikir manfaat yang didapat jika membentuk akademi. Pemain-pemain baru dan berkualitas bisa diperoleh dengan harga yang lebih murah.

Jika dipikir lebih jauh lagi, manajemen klub bisa menawarkan kontrak jangka panjang bagi pemain-pemain bertalenta tersebut, dan bisa dijual untuk menambah kas klub jika pemain tersebut akhirnya menarik perhatian klub-klub lain.

Selain itu, terkait dengan poin  nomor dua, pembentukan akademi klub juga bisa menjadi jembatan bagi SSB untuk menyalurkan talenta-talenta muda yang berada di usia tanggung, sehingga jenjang karier sepak bola mereka tidak tersendat, mengingat masalah jenjang karir ini merupakan masalah yang cukup sering terjadi. Akademi klub bisa merekekrut pemain-pemain yang mereka pantau dengan baik di liga-liga junior di daerah mereka.

Yang keempat, dan tak kalah penting, adalah pembentukan pelatih yang berkualitas. Pemain-pemain bagus tentu muncul dari tangan-tangan pelatih berkualitas. Itu sebabnya peningkatan jumlah kursus kepelatihan sepak bola diharapkan mampu meningkatkan jumlah pelatih-pelatih berkualitas. Namun yang tak kalah penting adalah bagaimana pelatih-pelatih itu tetap belajar bagaimana menangani para pemain muda, mulai dari latihan yang tepat, langkah pencegahan cedera, hingga cara pandang dalam melatih.

Latihan yang tepat akan membuat pemain terhindar dari kondisi rentan cedera. Menurut Ganesha, pemain muda yang cedera adalah buntut dari salahnya pola latihan. Mayoritas cedera yang dialami pemain muda dikarenakan cedera non-kontak, dan faktor utamanya adalah kelelahan. Oleh sebab itu, pelatih harus bisa menjaga agar para pemainnya tetap bugar dan tak memberi porsi latihan ataupun waktu bermain yang berlebihan.

Pelatih harus bisa memberi pengertian keada orang tua yang seringkali selalu ingin melihat anaknya terus bermain, bahkan ketika kondisinya sedang tidak fit. Tidak kalah penting, pelatih juga harus bisa menghindari sikap ‘menerima pemain titipan’ demi keuntungan pribadi.

Baca juga: Pembinaan Usia Muda: Pekerjaan Rumah Tiada Akhir bagi Indonesia

Selain itu, pelatih harus membangun cara pandang bahwa dalam pembinaan usia muda, kemenangan dan gelar juara bukanlah yang tepenting (apalagi cuma sekedar gelar untuk SSB-nya). Tujuan utama pembinaan usia muda adalah terus mengasah kemampuan fisik, teknik, dan mental anak-anak muda harapan bangsa hingga akhirnya mereka menjadi pemain profesional, bukan memenangkan gelar juara di usia muda. Jika meraih  gelar, itu adalah bonus saja. Namun jangan sampai memaksakan mereka untuk harus menang sehingga mengabaikan masa depan anak-anak muda tersebut. Apalah arti menang di kejuaraan junior namun ujung-ujungnya cedera dan harus mengubur mimpi menjadi pemain profesional?

Ganesha memberi contoh bahwa di Piala Dunia 2014, tak satupun pemain skuad Jerman yang pernah menjadi juara dunia di level junior. Karena memang juara di turnamen usia dini bukanlah segalanya. Menjadi juara di usia dini tak akan membuat sepak bola negeri ini dipandang hebat oleh negara-negara lain.

Sangat disayangkan bila kita hanya mengejar prestasi di bidang junior namun tak berdaya di level senior. Sayangnya, kita bisa melihat masih tingginya harapan meraih gelar petinggi PSSI terhadap timnas junior kita saat ini, khususnya Timnas U-19 dan U-16. Barangkali kita suporter timnas Indonesia pun masih mengharapkan dan menerapkan mindset yang sama.

***

Semuanya dimulai dengan mengubah pola pikir kita masing-masing untuk membangun sepak bola Indonesia, khususnya di pembinaan usia dini. Jelas terlihat bahwa kita semua masih harus bekerja keras dalam membangun sepak bola nasional, terlebih masalah mindset ini pun nampaknya masih saling berbenturan dalam tubuh PSSI selaku penggerak roda sepak bola negeri ini.

Author: Adhi Indra Prasetya (@aindraprasetya)
Penulis bola lepas