Nasional Bola

Pesepak Bola Indonesia Sangat Layak Menjajal Liga Malaysia

Baru-baru ini, Andik Vermansyah secara gamblang meminta klub yang dibelanya di Liga Super Malaysia, Selangor FA, untuk mendaratkan satu pemain lain asal Indonesia. Winger muda Persib Bandung, Febri Hariyadi menjadi nama yang paling difavoritkan untuk menemani Andik di kesebelasan berjuluk The Red Giants tersebut.

Belakangan juga dikabarkan bahwa Elie Aiboy, mantan penyerang sayap timnas Indonesia, yang juga sempat berkarier bersama Selangor FA, menyebutkan bahwa ia sudah berkerja sama dengan agen pemain untuk menyalurkan beberapa nama pemain asal Indonesia untuk bermain di Liga Malaysia mulai kompetisi mendatang. Apalagi, wacana penambahan peserta kompetisi Liga Super Malaysia, semakin membuat Elie optimis bahwa ia bisa menyalurkan bakat-bakat Indonesia ke sana.

Soal bermain di Malaysia kerap menjadi polemik. Sebagian besar publik sepak bola Indonesia sangat sering disuguhi anggapan bahwa level permainan di negara tetangga tersebut tidak jauh berbeda. Maka, kepindahan ke Malaysia dianggap sesuatu yang sia-sia. Padahal sebenarnya, dalam kenyataanya tidak juga demikian.

Batu loncatan ke kompetisi yang lebih tinggi

Sebenarnya apabila berbicara bahwa sepak bola Malaysia level permainannya hampir setara dengan Indonesia, tidak juga bisa dibilang tepat. Karena apabila Indonesia memang lebih baik, tentu tidak akan kalah dari negara tetangga tersebut, bukan? Termasuk kekalahan terbaru yang diderita Indonesia dari Malaysia di ajang semifinal SEA Games 2017 lalu.

Beberapa dari Anda juga sudah mengetahui bahwa infrastruktur sepak bola di Malaysia sedikit jauh lebih baik ketimbang di Indonesia. Para pelatih di sana, terutama yang berada di level top, sudah memiliki lisensi A sebuah federasi atau lebih tinggi. Bahkan, Pengiran Bala, yang statusnya sebagai pelatih interim Sarawak saat ini, ia memiliki lisensi A AFC. Hal ini tentu berbeda dengan fenomena pelatih di Indonesia yang bahkan sampai mesti ada yang di-joki-kan pekerjaannya karena tidak memiliki lisensi yang benar-benar dibutuhkan.

Juga soal gaji yang fantastis, yang patut menjadi pertimbangan. Malaysia dengan perekonomiannya yang sedikit lebih baik dibanding kita, memungkinkan klub-klub di sana untuk menggaji para pemain jauh di atas nilai yang diberikan oleh klub-klub di Indonesia. Elie Aiboy sempat menyebut bahwa Evan Dimas bahkan bisa mendapatkan gaji bersih sebesar 2 miliar per musim, belum ditambah fasilitas wajib untuk pemain asing seperti apartemen dan kendaraan.

Seorang pemain tim besar Indonesia pernah berkata kepada penulis bahwa ia mendapatkan tawaran gaji sebesar 3,8 miliar rupiah di Malaysia, sementara di Indonesia, ia hanya mendapatkan kontrak sebesar 800 juta rupiah saja per musim.

Tetapi poin paling penting sebenarnya bukan di sana, melainkan soal keterjangkauan dari level sepak bola yang lebih baik. Keterjangkauan ini adalah soal pemberitaan, juga soal tayangan pertandingan yang kemudian bisa saja menjadi dasar atau acuan pelatih dari negara-negara lain untuk memberikan penilaian terhadap bakat suatu negara.

Contoh kasusnya adalah ketika pemain asal Penang FA, Mohd Faiz Subri, yang berhasil memenangkan penghargaan Puskas Award tahun 2016 lalu. Terjangkaunya gol tembakan jarak jauh seorang Faiz Subri dari publik sepak bola dunia, semata-mata karena tayangan pertandingan Liga Malaysia juga disiarkan oleh stasiun televisi besar seperti Fox Sport Asia.

Anda bisa sepakat dengan saya bahwa apa yang dilakukan oleh Faiz Subri merupakan sesuatu yang bahkan sering terjadi kancah sepak bola Indonesia. Masalahnya, kualitas tayangan sepak bola Indonesia tidak terlalu bagus. Sehingga terkadang, membuat segala sesuatu agak sulit untuk menjadi hype atau dipopulerkan hingga publik dunia aware dengan sepak bola kita. Karena di tahun yang sama ketika Faiz Subri mencetak gol tersebut, rasanya ada beberapa gol di kancah sepak bola Indonesia yang bisa bersaing dengan gol yang diciptakan oleh pemain asal Penang itu. Misalnya saja, gol tendangan jarak jauh Bayu Pradana ke gawang Bali United, atau tendangan bebas Kristian Adelmund ke gawang Sriwijaya FC ketika sang pemain masih berseragam Persela Lamongan.

Baca juga: Menyambut Kepulangan Kristian Adelmund

Ada beberapa yang menyebut bahwa pemain Indonesia lebih baik berkarier di Liga Australia dan Liga Jepang, atau minimal bermain di Liga Thailand. Tetapi masalahnya, Anda tentu tahu bagaimana proses adaptasi merupakan sesuatu yang terkadang menghambat perkembangan seorang pemain ketika tiba di kompetisi baru.

Anda tentu sadar bagaimana sulitnya bahasa Jepang dan bahasa Thailand, karena penulisannya saja tidak sama dengan bahasa Indonesia yang mayoritas menggunakan huruf latin.

Hijrah ke Australia pun tidak akan berjalan semudah itu. Beberapa pemain memang ada yang bisa berbahasa Inggris, tetapi yang dikuasai mereka adalah bahasa yang bisa digunakan dalam permainan sepak bola, bukan bahasa yang akan terus digunakan dalam keseharian. Fokus jelas akan terbagi, dan alih-alih bisa menunjukan kemampuan terbaik, bisa jadi nantinya malah akan lebih banyak menghabiskan waktu hanya untuk sekadar beradaptasi.

Maka Liga Malaysia, yang secara kultur dan bahasa tidak terlalu jauh dari Indonesia, bisa menjadi batu loncatan yang sangat bagus. Apabila memang para pesepak bola Indonesia ingin menguji diri mereka di level yang berbeda, serta untuk bisa terus berkembang ke level yang lebih baik, liga di Malaysia adalah sesuatu yang layak dicoba.

Ayo pesepak bola Indonesia, hijrah ke Malaysia!

Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia