“Pordenone bukanlah tim sembarangan. Mereka solid dan ditangani Leonardo Colucci yang pernah bekerja sama dengan Marco Giampaolo (pelatih Sampdoria). Mereka bisa menjadi ujian sulit bagi kami”, seperti itulah penuturan Luciano Spalletti dalam konferensi pers jelang laga Internazionale Milano kontra Pordonone (13/12) di babak 16 besar Piala Italia 2017/2018.
Menghadapi tim yang bermain di Serie C, Inter yang mentas di Stadion Giuseppe Meazza plus turun dengan mayoritas pemain pelapis, benar-benar dibuat kesulitan. I Nerazzurri bahkan memerlukan babak adu penalti buat menyingkirkan tim yang punya kostum utama garis-garis vertikal hijau-hitam tersebut.
Sejatinya, keputusan Spalletti menyimpan Antonio Candreva, Samir Handanović, Mauro Icardi, Ivan Perisić, dan Borja Valero dari starting eleven kala berjumpa Pordenone merupakan langkah antisipasi, supaya lima penggawa pilarnya tersebut tetap bugar mengingat jadwal pertandingan Inter yang cukup padat di bulan Desember kali ini.
Akan tetapi, kepercayaan pelatih berusia 58 tahun tersebut kepada para pemain cadangan macam Joao Cancelo, Eder Citadin, Yann Karamoh, dan Andrea Pinamonti yang jarang dimainkan sebagai starter di kancah Serie A, nyaris gagal membuahkan hasil manis.
Kuartet yang mengisi lini serang itu amat kesulitan menembus jantung pertahanan I Neroverdi yang dibentengi oleh Simone Perilli dan kolega. Bahkan di saat mereka mendapatkan peluang emas, eksekusi yang buruk menyebabkan gol yang diburu Inter tak kunjung datang.
Kalau boleh jujur, mungkin hanya Yuto Nagatomo, Daniele Padelli, dan Andrea Ranocchia saja, pemain cadangan yang diturunkan Spalletti namun menunjukkan performa cukup apik saat berjumpa Pordenone.
Diakui atau tidak, walau akhirnya menang dan lolos ke babak 8 besar Piala Italia, performa overall yang disuguhkan Ranocchia dan mayoritas pemain lapis kedua dini hari kemarin pasti tak memuaskan tifosi setia mereka.
Lebih jauh, kenyataan tersebut juga membuka satu tabir tersembunyi yang selama ini luput dari perhatian Interisti bahwa tim kesayangan mereka pada realitanya belum memiliki kedalaman skuat yang mumpuni.
Sebagai langkah persiapan menyambut musim baru, Inter memang merekrut sejumlah nama penggawa anyar. Mulai dari Cancelo, Dalbert Henrique, Karamoh, Padelli, Milan Skriniar, Valero, sampai Matias Vecino.
Nama-nama tersebut didatangkan buat memperkokoh tim sekaligus menggantikan figur Marco Andreolli, Ever Banega, Gianluca Caprari, Juan Pablo Carrizo, Stevan Jovetić, Felipe Melo, dan Rodrigo Palacio yang dilepas klub.
Akan tetapi, hanya Skriniar, Valero, dan Vecino saja yang langsung merebut posisi inti di dalam skuat sebab nama-nama lainnya mesti puas dengan status pemain cadangan.
Meski jadi pelapis, namun tanggung jawab yang dipikul setiap pesepak bola di kesebelasan yang memiliki target tinggi (lebih-lebih juara) di setiap musimnya jelas begitu besar.
Tak ada waktu untuk santai dan berleha-leha. Mereka harus tetap berlatih dan bekerja keras agar saat dibutuhkan, aksi-aksi yang ditunjukkan di atas lapangan sama baiknya dengan para pemain utama. Ekspektasi ini jugalah yang menyeruak di dada Interisti terhadap sejumlah rekrutan baru I Nerazzurri walau mereka bukan penggawa inti.
Pada awal musim, ketika Candreva dikritik habis-habisan oleh Interisti lantaran performanya yang merosot, nama Karamoh terus disenandungkan sebagai pengganti yang sangat ideal dan bisa tampil lebih baik. Akan tetapi, Spalletti tetap mempertahankan Candreva sebagai pilihan utamanya.
Tatkala Icardi mengalami paceklik gol dan dianggap kurang berkontribusi atas permainan Inter, Interisti melambungkan sosok Eder dan bahkan Pinamonti sebagai figur yang kemampuannya tak kalah dengan sang kapten serta patut dipercaya untuk mengisi posisinya. Namun lagi-lagi, Spalletti bergeming.
Sebagai sosok yang memonitor perkembangan anak asuhnya karena berlatih bersama-sama hampir setiap hari, Spalletti jelas paham dengan setiap keputusan yang diambilnya. Percayalah, lelaki berkepala plontos itu mempertahankan Candreva dan Icardi di starting eleven bukan karena status dari kedua pemain tersebut atau sekadar ego pribadinya sebagai pelatih.
Mantan pembesut AS Roma, Sampdoria, dan Udinese itu tetap mengandalkan Candreva dan Icardi sebagai pemain utama karena kualitas mereka masih satu level di atas para penggawa cadangan yang dipunyai Inter sekarang ini.
Seiring perkembangan waktu, keputusan Spalletti pun mulai menunjukkan buktinya karena untuk sementara, nama Candreva dan Icardi masing-masing memperoleh predikat sebagai pembuat asis dan pencetak gol terbanyak di Serie A.
Apa yang sudah diperlihatkan para pemain cadangan Inter, terlebih mereka yang masih belia seperti Karamoh dan Pinamonti, sesungguhnya cukup menjanjikan. Tapi perlu diingat, menjanjikan saja tidak akan pernah cukup bila kematangan dan kualitas (baik individu ataupun kolektif) mereka tak mengalami progresi di masa yang akan datang.
Baca juga: Kunci Perubahan yang Dibawa Luciano Spalletti ke Internazionale Milano
Dalam upaya bangkit dan merebut tiket lolos ke ajang Liga Champions per musim depan, kedalaman skuat Inter yang belum cukup ideal adalah masalah tersendiri. Pasalnya, jika ada satu saja penggawa utama yang absen, utamanya akibat cedera panjang, maka kesolidan tim ini akan mudah terdistraksi.
Kondisi ini harus disiasati dengan cermat oleh Spalletti sebagai allenatore. Menjaga kebugaran skuat intinya tapi tetap bisa tampil optimal saban pekan merupakan hal yang tak bisa ditawar-tawar. Di sisi lain, para penggawa cadangan I Nerazzurri juga harus terus memacu diri supaya bisa bermain apik pada setiap momen mereka diturunkan.
Barangkali Interisti ingat kepada sosok Ole Gunnar Solskjaer, pesepak bola asal Norwegia yang karier profesionalnya dihabiskan bareng tim Inggris, Manchester United (1996-2007).
Namun perlu dicermati jika periode panjang yang dihabiskannya di Stadion Old Trafford tidak membuatnya selalu jadi pilihan utama. Oleh manajer The Red Devils kala itu, Sir Alex Ferguson, Solskjaer bahkan lebih banyak berperan sebagai pemain pengganti namun memiliki kontribusi luar biasa sehingga dilabeli sebagai supersub.
Para penggawa cadangan Inter saat ini, setidaknya bisa belajar dari sosok Solskjaer. Bahwa sesedikit apapun kesempatan bermain yang mereka dapatkan, tampil maksimal dan total adalah suatu kewajiban mutlak. Karena hanya dengan begitulah, kemampuan mereka bisa terasah sehingga makin padu dengan skuat inti.
Sehingga pada akhirnya, Inter pun memiliki kedalaman skuat yang mumpuni guna terus bertempur di seluruh ajang yang mereka ikuti musim ini tanpa merasa khawatir.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional