Sepanjang bulan November hingga awal Desember ini, Arsenal cukup rajin dihubungkan dengan potensi kedatangan pemain baru. Khususnya, kita tengah membicarakan nama-nama gelandang, mulai dari Leon Goretzka, hingga Stevan N’Zonzi. Namun, Gooner seperti alpa untuk memberi apresiasi, barang secuil saja, untuk Aaron Ramsey.
Lini tengah Arsenal masih menjadi bahan perdebatan yang “panas”, terutama ketika melihat performa dua gelandang utama. Baik Granit Xhaka dan Ramsey dianggap bermain lebih baik ketika membela timnas masing-masing. Keduanya dipandang belum menemukan kecocokan ketika bermain untuk Arsenal.
Kebiasaan Ramsey adalah selalu ingin terlibat dalam proses akhir sebuah peluang. Ia akan bermain cukup tinggi, bahkan berdekatan dengan kotak penalti, baik untuk menyelesaikan atau bahkan membuat peluang itu sendiri. Kebiasaan ini membuat rekannya di lini tengah, Xhaka, sangat sering harus mengawasi ruang yang terlalu lebar di belakangnya.
Alhasil, serangan balik lawan menjadi sangat berbahaya, lantaran mendapatkan ruang yang ebgitu lega di depan barisan bek Arsenal. Ketika sistem tak berjalan dengan baik, baik Xhaka atau Ramsey akan langsung menjadi kambing hitam. Keduanya dipandang bukan gelandang kelas dunia yang cocok untuk The Gunners.
Namun, masalah yang sebenarya lebih kronis adalah seringnya Gooner tak mempertimbangkan apakah Xhaka dan Ramsey sudah bermain sesuai spesifikasi masing-masing. Apakah keduanya sudah bermain di posisi dan peran yang paling ideal? Memaksa pemain memainkan peran yang tak sesuai dengan spesifikasinya bisa berakibat tidak menyenangkan.
Bersama timnas Swiss, Xhaka bermain sebagai gelandang di depan bek. Ia berperan sebagai deep controller, mendikte permainan dengan teknik umpannya yang sangat baik. Sementara itu, Ramsey bermain berdekatan dengan gelandang serang dan penyerang. Bahkan, bersama timnas Wales, Ramsey bermain di belakang penyerang, bertindak seperti second striker.
Baca juga: Pledoi untuk Granit Xhaka
Peran yang berbeda mereka jalani bersama Arsenal, terutama untuk Ramsey. Musim terbaik bagi Ramsey ketika berseragam Arsenal adalah musim 2013/2014. Ketika itu, pemain berusia 26 tahun ini berhasil mencetak 16 gol dari 34 laga.
Jika Gooner masih ingat, saat itu, area bermain Ramsey lebih tinggi dibandingkan saat ini. Musim 2013/2014, Ramsey bermain berdekatan dengan Olivier Giroud. Sementara itu, di lini tengah, Arsene Wenger masih bisa memainkan Mikel Arteta. Gelandang asal Spanyol ini tak hanya berperan sebagai pengontrol lini tengah. Sisi bertahan Arteta juga cukup bagus sehingga Ramsey bisa leluasa untuk masuk ke kotak penalti.
Kedatangan Alexis Sanchez sedikit banyak mengubah pendekatan Wenger untuk Ramsey. Tak lagi bermain berdekatan dengan kotak penalti, Ramsey bermain lebih dalam, lebih ke tengah. Masalahnya adalah Ramsey bukan tipe gelandang yang nyaman menguasai bola. Visinya tak cocok untuk bermain sebagai seorang gelandang yang mengontrol tempo serta ritme dengan umpan-umpannya.
Parahnya, Ramsey juga bukan gelandang dengan kesadaran pemosisian diri yang baik. Alhasil, ia menjadi cukup sering kehilangan bola di wilayah sendiri, wilayah berbahaya. Atau, Ramsey tak cukup waspada untuk terus menempel pemain lawan yang menyelinap lewat lini tengah. Ketika terjadi gol, Gooner dengan mudah menyebut Ramsey sebagai pemain yang bodoh.
Sungguh menyedihkan ketika pemain yang tak memerankan peran yang alami, namun masih dirisak sebegitu kejam. Padahal, seharusnya, terutama musim ini, Ramsey harusnya mendapatkan pujian yang terbaik. Ia menjadi salah satu penampil terbaik, bersandingan dengan Nacho Monreal dan Alexandre Lacazette.
Apakah Gooner tahu bahwa saat ini, Ramsey adalah pemain dengan kontribusi menyerang yang paling tinggi di Arsenal? Ramsey sudah membukukan tiga gol dan enam asis. Artinya, ia punya sembilan kontribusi gol untuk Arsenal. Jumlah yang sama dicatatkan Lacazette yang membuat enam gol dan tiga asis.
Pada dasarnya, Ramsey adalah pemain yang semakin berbahaya ketika ia mendapatkan kebebasan untuk bermain di sekitar kotak penalti. Ramsey punya kewaspadaan ruang dan waktu untuk masuk ke kotak penalti.
Visinya semakin tajam di depan gawang lawan, salah satunya ketika merusak jebakan offside Manchester United. Alih-alih langsung mengeksekusi bola ke gawang David de Gea, Ramsey justru memantulkan bola ke belakang, ke arah lari Lacazette. Aksi yang membingungkan de Gea ini berujung pada gol yang dicetak Lacazette. Bukan tidak mungkin, apabila langung mengeksekusi umpan lambung dari Alexis, peluang tersebut justru tidak menjadi gol.
Seiring kabar hengkangnya Alexis Sanchez (dan Mesut Özil), mungkin kita akan melihat Wenger kembali memainkan Ramsey lebih ke depan. Ingat, meski bermain di depan, Ramsey bukan gelandang serang, namun juga bukan gelandang sentral. Perannya ada di antara kedua peran tersebut.
Peran yang mungkin belum familiar di telinga Gooner. Saya menyebutnya sebagai hybrid #8, seorang pemain, di mana titik awal permainannya ada di lapangan tengah, namun bergerak ke depan masuk ke kotak penalti lebih agresif ketimbang gelandang serang. Contoh paling sesuai mungkin masa-masa keemasan Frank Lampard bersama Chelsea.
Atas kontribusinya selama ini, wajar apabila kita memberi pujian untuk Ramsey. Apabila belum bisa diyakinkan oleh tulisan ini, secuil saja pujian itu sudah terasa cukup. Mengapa? Karena pada dasarnya, Ramsey tak butuh pengakuan Anda.
Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen