Eropa Inggris

Pledoi untuk Granit Xhaka

Sikap yang paling mudah dilakukan ketika sebuah tim kalah adalah langsung menyalahkan pemain tertentu. Dan bisanya terjadi kepada pemain yang paling mudah tersorot; gelandang bertahan yang pernah mendapatkan kartu merah atau kiper. Maka, tulisan ini adalah sebuah pledoi untuk Granit Xhaka, ia yang selalu disalahkan.

Pendukung Arsenal punya kebiasaan seperti ini: ketika tim kesayangannya tengah mencatatkan kemenangan beruntun, semua akan nampak baik-baik saja, meski misalnya ada pemain yang bermain begitu buruk. Atau, misalnya ketika sebenarnya secara taktik, The Gunners tak menunjukkan sesuatu yang baik. Kritik seperti menjadi barang langka yang sudah punah.

Situasi berbeda, dan perbedaan tersebut terasa begitu tidak adil. Ketika kalah, meskipun sudah bermain baik, kritikan yang tidak adil, akan langsung dilayangkan. Banyak pendukung Arsenal yang tak mau melihat sebuah pertandingan secara menyeluruh, menganalisisnya dengan kepala dingin. “Apa dan mengapa” tak pernah dipikirkan dengan matang.

Dan inilah Granit Xhaka, yang ketika kalah, adalah target favorit banyak pendukung Arsenal. Sungguh kejam.

Banyak pendukung yang tak mau berpikir, misalnya: “Apakah Xhaka sudah digunakan secara benar?” atau “Apakah struktur tim memang mendukung dan membantu pemain Swiss tersebut untuk menunjukkan kemampuannya?”

Pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti luput untuk mampir di kepala masing-masing. Berpikir memang bisa menjadi pekerjaan yang berat bagi banyak orang. Apalagi, untuk menganalisis dengan pikiran yang jernih. Menyalahkan, menuduh dengan jari telunjuk, lebih mudah karena Anda tak perlu berpikir. Otak memang hanya hiasan di dalam batok kepala saja.

Oleh sebab itu, tulisan ini berusaha memberi panduan berpikir bagi Anda yang lemah. Supaya kita tak dengan mudah menghakimi sesuatu yang sebenarnya tidak kita pahami. Inilah pledoi untuk Granit Xhaka.

Bukan “pemain bertahan”

Xhaka adalah pemain yang unik, dengan atribut yang begitu spesifik. Anda masih boleh menyebutnya pemain dengan skill-set yang terbatas. Namun, atribut yang spesifik itulah yang membuat Xhaka menjadi gelandang yang penting. Syarat supaya Xhaka bisa bermain maksimal adalah didukung struktur dan sistem yang baik (semua pemain juga begitu, bukan?)

Posisi idealnya adalah gelandang bertahan di depan bek. Anda boleh menyebutnya sebagai si #6. Meski berposisi sebagai gelandang “bertahan”, Xhaka bukanlah gelandang bertahan yang murni kerjanya hanya meng-gaprak dan menekel lawan yang tengah membawa bola.

Banyak pendukung Arsenal yang masih berpikir bahwa #6 ya seperti Francis Coquelin atau Mathieu Flamini saja. Mungkin mereka tak mengenal pemain Barcelona bernama Sergio Busquets atau gelandang Borussia Dortmund, Julian Weigl. Dan di sini salah kaprah terjadi, dan ketika Arsenal kalah, Xhaka menjadi kambing hitam.

Permainan Xhaka ada di antara organisasi permainan sebuah tim dan kekompakan mempertahankan struktur. Kemampuan bertahan Xhaka pun sebenarnya tidak istimewa. Ia perlu mendapatkan ekosistem yang tepat. Misalnya mendapat perlindungan dari gelandang lainnya, atau bermain di tengah sistem yang tepat. Sekali lagi, Xhaka bukan gelandang bertahan murni.

Perhatikan gambar di bawah ini:

Dari data yang dicatat oleh wyscout di atas terlihat aksi bertahan satu lawan satu dengan lawan yang beragam, yang dilakukan Xhaka. Perhatikan rendahnya persentase kemenangan duel satu lawan satu Xhaka.

Ketika melawan gelandang tengah lawan, persentase kemenangan Xhaka hanya 23,9 persen. Ketika meladeni penyerang sayap, persentase kemenangan Xhaka adalah 25,8 persen. Ketika harus menghadapi penyerang lawan, persentase Xhaka bahkan hanya 8,1 persen. Catatan sederhana ini menegaskan bahwa Xhaka bukan gelandang bertahan dengan spesifikasi seperti Coquelin.

Lantas, bagaimana cara memaksimalkan keberadaan Xhaka ketika bertahan? Xhaka tak bisa dan tak boleh banyak “terjebak” dalam situasi satu lawan satu. Ia harus berada dalam kesatuan sistem, menjadi penggerak tim dari posisinya sebagai #6. Perhatikan ilustrasi di bawah ini:

Ilustrasi di atas diambil dari artikel spielverlagerung.com di mana Borussia Mönchengladbach mampu mengalahkan Bayern München dengan skor 3-1. Gladbach bermain menggunakan skema 3-1-4-2 dengan tiga gelandang diisi Xhaka, Mahmoud Dahoud, dan Fabian Johnson.

Dari ilustrasi terlihat, ketika Dahoud naik untuk menempel pemain Bayern, sebelah kanan Xhaka langsung diisi oleh Korb, yang mana adalah seorang bek sayap kanan. Pergerakan Korb memastikan bahwa Xhaka tidak terisolasi oleh lawan karena bertahan sendirian, sekaligus memastikan kekompakan dan stabilitas struktur Gladbach.

Struktur yang terjaga ini membuat Gladbach bisa meredam usaha Bayern untuk memanfaatkan ruang berbahaya di antara tiga gelandang. Dan tahukah pembaca bahwa Xhaka menjadi kunci di tengah usaha Gladbach menjaga kekompakan struktur? Tom Payne menulis bahwa:

“Xhaka memainkan peran versatile yang mana dirinya menunjukkan standar tanggung jawab yang baik dari seorang gelandang bertahan, yang juga berperan sebagai bek tengah ketika situasi membutuhkan. Xhaka sangat kompeten memainkan peran yang kompleks ini dan menjadi bagaian penting dari sistem bertahan Gladbach.”

Idealnya, Xhaka bertahan “menggunakan” sistem, bukan satu lawan satu, sebuah situasi yang justru banyak dialaminya ketika berseragam Arsenal.

Lantas, bagaimana cara memaksimalkan kelebihan Xhaka?

Kekuatan Xhaka ada pada distribusinya. Visi dan kejeliannya melepaskan umpan jauh tak banyak dimiliki pemain lain. Ia tak harus banyak berlari, asal bisa menempati ruang-ruang yang ideal untuk menjaga penguasaan atau mensirkulasikan bola.

Tabel dari wyscout di atas memperlihatkan kekuatan terbesar dari Xhaka, yaitu umpan, baik yang sederhana, maupun umpan-umpan “pintar” untuk progresi sebuah tim. Cermati persentase akurasi umpan Xhaka, di mana umpan ke depan (vertikal) mencapai 92,7 persen.

Judah David, kolomnis spielverlagerung.com, menyebut umpan-umpan Xhaka sebagai “smart pass”, terutama untuk melakukan penetrasi dari tengah ke sisi lapangan ketika menghadapi lawan dengan pertahanan yang kompak dan disiplin.

Jangkauan umpan dan akurasi menjadi kekuatan Xhaka, dan ia melepaskan umpan jauh seperti tanpa perlu berusaha keras. Ia harus mendapatkan kesempatan untuk menjadi gelandang paling dalam dan “mendikte” permainan dari posisi tersebut. Ia bukan Naby Keita yang bisa dengan mudah naik dan turun membantu transisi bertahan dan menyerang. Ia juga bukan N’Golo Kante yang bisa melakukan tekel di mana saja.

Xhaka adalah pemain unik dengan kualitas yang berbeda dibanding pemain lain. Anda boleh menyebutnya deep playmaker, yang area kerjanya tak terlalu luas. Untuk menyingkat penjelasan, silakan nikmati seni mengumpan ala Xhaka berikut:

Lantas, Anda akan lalu bertanya, “Mengapa Arsene Wenger tak bisa memaksimalkan kemampuan Xhaka?” Jawaban untuk pertanyaan itu tentu akan panjang dan lebar, dan sebaiknya dibahas di tulisan yang berbeda. Yang jelas, karena tak mendapatkan ekosistem yang tepat, Xhaka seperti pesakitan.

Fisiknya memang tinggi besar, kokoh menjulang. Xhaka membangkitkan romantisme Gooner akan sosok Patrick Vieira. Namun, pikiran yang waras tentu akan langsung memahami bahwa keduanya pemain yang punya perbedaan cara bermain. Pun Xhaka dan Coquelin. Meski keduanya sama-sama berposisi sebagai gelandang bertahan, namun spesifikasi masing-masing berdua sangat berbeda. Membandingkan keduanya hanya akan buang waktu.

Xhaka memang terlihat gahar dan keras. Namun, di balik keras fisiknya, tersimpan kelembutan seorang playmaker andal. Fisiknya memang menipu para pemilik pikiran sempit.

Lalu, Anda akan menyahut, “Gantiin Wenger aja, bro, kalau sok pintar!” Saya menulis pledoi ini dengan sadar dan melalui proses berpikir, sementara mungkin Anda tidak. Maka, kesimpulan apa yang bisa diambil dari tulisan singkat ini?

Xhaka digunakan secara salah. Instruksi peran yang ia dapat tak sesuai dengan kemampuan dirinya. Karena ketidaksesuaian itu, ketika Arsenal kalah, Xhaka menjadi target yang enak untuk diserang.

Pada akhirnya saya ingin mengingatkan, sebelum membuat pernyataan cum kesimpulan, berpikirlah terlebih dahulu. Lihat sepak bola sebagai sesuatu yang utuh, bukan per bagian saja ketika mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Bagi mata saya, Xhaka tidak boleh disalahkan, ketika bahkan ia tak bisa memberikan yang terbaik karena hidup di tengah ekosistem yang salah.

Sekian pledoi saya untuk Granit Xhaka.

Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen