Eropa Italia

Menyikapi Kritik Silvio Berlusconi dengan Proporsional

Performa buruk AC Milan mengundang kritik dari banyak pihak. Kekalahan dari Lazio dan Sampdoria yang diwarnai performa buruk, lalu kekalahan dari AS Roma meski performa sudah membaik, dinilai sebagai kondisi yang tidak ideal untuk ukuran sebuah tim ambisius yang sedang berupaya mengembalikan kejayaan.

Salah satu pemberi kritik adalah Silvio Berlusconi, yang tidak lain adalah mantan presiden dari klub berjuluk Rossoneri ini. Lewat sebuah wawancara yang ia lakukan dengan harian Corriere della Serra beberapa hari lalu, Berlusconi terang-terangan menyuarakan kritik pedas terkait kebijakan transfer Milan di bawah pengurus baru.

Lebih jauh, Berlusconi memberikan arahannya. Dengan uang sebanyak 200 juta euro, akan lebih baik jika dibelanjakan untuk membeli tiga sampai empat pemain bintang saja, bukannya membeli sebelas pemain seperti yang dilakukan manajemen sekarang. “Saya tidak pernah melihat sebuah klub mengganti sebelas pemain. Dengan uang sebanyak itu, memangnya Anda tidak bisa membeli seorang pemain top?”

Namun sebelum memberi penilaian terhadap kritik yang dilayangkan pria yang menjadi pemilik Milan pada kurun waktu tahun 1986 hingga 2017 itu, tidak ada salahnya membandingkan kondisi yang ada pada skuat Milan pada saat Berlusconi mengakuisisi Milan dengan skuat Milan saat ini.

Tahun 1986, Berlusconi memang membeli sebuah tim yang baru saja pulih dari masa kelam skandal judi Totonero dan dua kali degradasi. Akan tetapi, materi Milan saat itu tidaklah berkualitas semenjana. Franco Baresi telah didapuk sebagai kapten kesebelasan sejak tahun 1982, dan ia bersama Paolo Maldini, Alessandro Costacurta, dan Mauro Tassotti, sedang membentuk kuartet bek yang kelak dianggap sebagai salah satu yang terbaik sepanjang sejarah.

Berbekal fondasi dari empat bek yang turut dibentuk oleh Nils Liedholm sebagai pelatih, Berlusconi pun sedikit demi sedikit menyempurnakan skuat Milan. Awalnya, ia membeli Roberto Donadoni dari Atalanta, lalu kemudian mulai memberi tempat kepada Alberigo Evani untuk menggantikan peran Agostino Di Bartelomei.

Keputusan Berlusconi kemudian berbuah manis saat ia menunjuk Arrigo Sacchi sebagai pelatih. Setelah itu, ia kembali membeli pemain-pemain baru. Carlo Ancelotti datang bersama Ruud Gullit dan Marco Van Basten, yang disusul Frank Rijkaard semusim setelahnya. Skuat Milan pun sempurna hanya dalam waktu satu tahun sejak kepemimpinannya.

Kita kemudian sama-sama menyaksikan sebuah tim impian yang dikenang banyak orang karena mereka tidak sekadar memenangkan trofi, tetapi juga meraihnya dengan permainan menyerang yang memesona.

Kondisi skuat saat ini

Bagaimana dengan skuat saat ini? Apakah skuat yang diwariskannya hingga akhir musim 2016/2017 sudah cukup memadai untuk bisa menyaingi rival-rival di kompetisi domestik?

Dilihat dari kualitas, jelas skuat yang sekarang berbeda dengan skuat yang ada pada tahun 1986. Contohnya, lini belakang Milan yang masih jauh dari kata solid.

Permasalahan ini seakan terjawab dengan kedatangan Leonardo Bonucci dari Juventus dan Mateo Musacchio dari Villareal. Namun perlu diingat bahwa mendatangkan sosok juara seperti Bonucci sekalipun, tidak langsung menyelesaikan masalah. Lini pertahanan bagaikan sebuah unit, yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk membentuk kekompakan dan bermain sebagai tim.

Masalah serupa juga terjadi di lini tengah, di mana Milan masih belum memiliki poros gelandang berkualitas pasca-era Andrea Pirlo-Gennaro Gattuso, dua pemain berbeda tipe yang saling mengisi. Kedatangan Lucas Biglia dan Franck Kessie memang menjanjikan, terbukti mereka kini tak tergantikan di lini tengah Milan. Namun sama halnya dengan Bonucci, dua pemain ini pun tidak bisa lantas diharapkan langsung memberi perbedaan. Pada intinya, Milan memang sedang dalam fase membentuk fondasi.

Jadi, jika beberapa bulan lalu kita terbiasa melihat CEO Milan, Marco Fassone, dan Direktur Olahraga, Massimiliano Mirabelli, memperkenalkan pemain-pemain baru dengan gaya khas triple handshakes, hal ini tidak lain memang diperlukan untuk memperbaiki kualitas skuat secara menyeluruh. Pembelian-pembelian ini juga sekaligus memperbaiki struktur gaji dengan “membuang” pemain-pemain pelapis bergaji besar namun berkontribusi minim.

Lagipula, pembelian pemain-pemain yang dilakukan oleh Milan sebetulnya sudah cukup tepat. Pemain-pemain seperti Kessie (20 tahun), Andre Silva (21) dan Andrea Conti (23) mewakili rencana jangka panjang, sementara pemain senior semisal Bonucci (30), Biglia (31) maupun Nikola Kalinic (29) diharapkan untuk langsung membantu transformasi mentalitas skuat yang diharapkan oleh pemilik baru.

Target yang terlalu tinggi

Walau demikian, kita bisa mengaitkan kritik Berlusconi ini dengan kondisi lain yang terjadi pada Milan. Kondisi ini tidak lain adalah ekspektasi luar biasa tinggi yang kini melanda skuat Milan, baik yang dibebankan oleh pengurus maupun pendukung sebagai konsekuensi dari aktivitas Milan di bursa transfer.

Lolos ke Liga Champions harus dipenuhi karena efeknya bisa bermacam-macam, baik kepada peningkatan pendapatan maupun gengsi di mata sponsor. Hanya dengan cara inilah Milan dapat memenuhi kewajiban-kewajiban finansial yang kini berada di pundak mereka, yaitu mengembalikan pinjaman beserta bunganya kepada Elliot Management Asset pada saat merampungkan akusisi klub, serta mengembalikan investasi yang sudah dikeluarkan oleh pemilik modal.

Target tinggi ini memang tidak sejalan dengan penyatuan skuat yang membutuhkan waktu dan kesabaran. Sayangnya, dalam dunia sepak bola modern sekarang ini, amat sulit menemukan irisan antara kesabaran dalam membangun skuat dengan tuntutan prestasi itu.

Realita inilah yang harus dihadapi Milan, dan segala keputusan yang akan diambil Fassone dan kolega akan menentukan apakah revolusi yang mereka lakukan berbuah keberhasilan atau kegagalan.

Author: Aditya Nugroho (@aditchenko)