Suara Pembaca

Mengenang Silvio Berlusconi, (Mantan) Kunci Kapital Ekonomi Milan

Menurut sosiolog Prancis ternama, Pierre Bourdieu, terdapat beberapa kapital dalam kehidupan masyarakat, di antaranya kapital sosial, kapital budaya, kapital simbolik, dan kapital ekonomi alias uang. Kapital yang terakhir ini memiliki fungsi fundamental sehingga mampu menguatkan ketiga kapital lainnya.

Kapital ekonomi inilah yang ternyata ditanam Silvio Berlusconi selama 31 tahun menduduki posisi Presiden AC Milan. Pertama kali dia tiba, mungkin tak ada yang menyangka itu adalah awal terciptanya era salah satu klub terbaik dunia dalam dua hingga tiga dekade ke depan.

Berlusconi datang dengan hati dan intuisi. Mantan Perdana Menteri Italia tersebut juga mengaku sangat terharu dengan loyalitas para suporter yang sudah dia saksikan sejak dulu sehingga memengaruhi keputusannya untuk membeli Milan.

Maklum, sejak kecil dia memang penggemar berat I Rossoneri. Silvio muda mungkin tidak pernah menduga bahwa terhitung sejak Februari 1986, dia justru menjadi presiden klub kesayangannya itu.

Dengan adanya akuisisi dari Berlusconi, kapital ekonomi bernilai besar menjadi bagian dari Milan. Harga pemain yang mahal tak jadi masalah bagi pihak manajemen lantaran adanya suntikan dana masif dari sang bos besar.

Milan bahkan juga mendirikan Milan Channel, saluran televisi khusus untuk meliput segala kegiatan tim. Para pemain dan pelatih disorot laiknya artis terkenal. Belum lagi beberapa pemain bintang baru yang disambut dengan helikopter dan perayaan besar. Sungguh mewah.

Kesuksesan eksistensi kapital ekonomi Milan ini tidak akan lengkap tanpa kehadiran tangan kanan Berlusconi, Adriano Galliani. The mercato king. The guru of dealings. The classyman with yellow tie. Apapun nama panggilannya.

Dengan persetujuan dana dari sang presiden klub, Galliani tampil sebagai penentu dalam mengikat, mengontrak, dan merayu calon pemain untuk mendarat di San Siro. Gerak-geriknya begitu lihai dalam bursa transfer. Begitu cadas! Mulai dari trio Belanda (Marco Van Basten, Ruud Gullit, Frank Rijkaard), Carlo Ancelotti, Paolo Maldini, Andriy Shevchenko, Alessandro Nesta, Kaka, Ronaldinho, hingga Zlatan Ibrahimovic dan Mario Balotelli, mereka merupakan ‘buah usaha’ antara Berlusconi dan Galliani.

Ya, duo bapak tua keladi ini sukses menjadikan Milan sebagai klub yang merajai Italia dan Eropa pada masanya. Milan tak cuma mentereng dalam kualitas tim, tetapi juga dari aspek bisnis (seperti kerja sama dengan Adidas dan Emirates) sehingga makin menaikkan citra Milan sebagai salah satu klub sepak bola terpandang di dunia. Sekali lagi, uhuk, pada masanya.

Kata orang, hidup itu bak menaiki roller-coaster. Naik, turun, naik, turun, berputar, naik lagi, turun  lagi. Itulah yang harus dirasakan Milan dalam beberapa tahun terakhir. Pusing. Mual. Kleyengan.

Setinggi-tingginya terbang dalam wahana ekonomi Berlusconi, akhirnya mereka jatuh juga. Krisis menghantam, banyak pemain sudah menua, para pemain kunci dilepas untuk kembali mengisi pundi-pundi. Lemari trofi perlahan berdebu.

Berlusconi mulai dituduh pelit. Galliani pun disalahkan karena dinilai sudah tidak mampu membidik pesepak bola kelas atas dengan kepandaian menawarnya. Wajar kalau suporter merasa kesal. Milan tak pernah lagi meraih prestasi besar usai Scudetto musim 2010-2011.

Alih-alih berupaya mengoleksi trofi, Milan bahkan tidak mampu lagi masuk arena Liga Champions beberapa tahun belakangan ini. Punya DNA Liga Champions katanya? Haha! Itu slogan masa lalu.

Musim ini juga tidak jauh beda. Meski Milan pelan-pelan merombak tim sejak awal musim dan membuat regenerasi pemain serta meraih trofi Supercoppa pada Desember 2016 lalu yang muncul sebagai pelipur lara, suporter berpendapat revolusi besar tetap harus dilakukan.

Terpujilah Yang Maha Kuasa di Langit dan di Bumi, karena harapan tersebut sepertinya disanggupi pada bulan ini. Tepat pada 13 April 2017, kapital ekonomi klub disinyalir bakal menguat kembali. Hanya saja, bukan lagi Berlusconi yang berada di belakangnya. Bukan juga Galliani. Perusahaan milik Berlusconi, Finivest, telah resmi melepas mayoritas sahamnya kepada konsorsium investasi asal Cina, Rossoneri Sport Investment.

Tentu penjualan saham ini langsung menghadirkan kombinasi emosi tersendiri bagi Milanisti. Bahagia karena Milan bisa terbebas dari krisis, namun pula sedih karena tidak akan lagi menikmati campur tangan duet Berlusconi-Galliani di saat yang bersamaan. Salam perpisahan dan rasa terima kasih pun dilayangkan kepada keduanya dari seluruh pemain, para legenda klub, serta suporter fanatik Milan.

Well, whatever will be, will be. Perombakan manajemen tentu diharapkan bisa mengembalikan Milan ke jajaran klub elite dunia, meski kapital ekonomi mereka tak lagi di bawah kendali seorang Berlusconi.

Author: Kezia Saroinsong (@Keppuccino)
Penulis dan penikmat cappuccino yang terus optimistis kalau Milan bisa punya presiden wanita dan kembali juara Liga Champions.