Kolom

Melepas Mereka yang Gantung Sepatu

Setiap anak di dunia ini, lahir untuk menemukan idola mereka masing-masing. Bagi saya, ‘manusia pilihan’ tersebut adalah Juan Roman Riquelme. Ini masalah pilihan belaka dan tak perlu dibuat perdebatan panjang. Kita semua akan menemukan idola masing-masing entah dalam kemalasan dan kegeniusan Riquelme atau lewat otot-otot kekar Gennaro Gattuso.

Tapi seperti semua yang memiliki awal, karier sepak bola pun akan menemui akhir. Beberapa pemain tak cukup sinting mengikuti jejak Kazuyoshi Miura yang masih menyepak bola dan mencetak gol bahkan di usia yang sudah kepala lima. Dan di momen pengujung karier si pemain tersebut, kita semua akan mengenang mereka dengan kekhidmatan dan rasa sendu masing-masing.

Akhir musim nanti, tiga pemain besar dunia dengan rekor dan pencapaian fantastis mereka masing-masing akan gantung sepatu. Dunia sudah cukup muram dengan tak lagi ada sosok seperti Riquelme, ia yang memainkan sepak bola dengan ideologinya, mengajak kita menyesapnya pelan-pelan seperti meneguk secangkir robusta dengan santai dan tak tergesa waktu. Di titik yang kurang lebih sama, bayangan akan hilangnya keluwesan Phillip Lahm, keanggunan Xabi Alonso hingga karisma Francesco Totti musim depan, adalah sesuatu yang suram.

Baca juga: Merayakan Konsistensi Philipp Lahm

Ketiganya adalah perwujudan dari apa yang kita semua idam-idamkan sebagai figur pesepak bola sekaligus manusia sempurna. Kedisiplinan Lahm, kesetiaan Totti, hingga elegannya Xabi Alonso di dalam dan di luar lapangan yang bagi Steven Gerrard, ia sampai mengucapkan kalimat saktinya, “When you left, it broke my heart”.

Apa yang membuat mereka istimewa?

Ketiganya adalah juara dunia masing-masing bagi negaranya. Menjadi juara dunia adalah puncak tertinggi karier sepak bola seorang pemain. Totti mungkin memenangi Scudetto dengan jumlah yang sama dengan Nicklas Bendtner atau Lahm yang kerap disebutkan berada di bawah bayang-bayang Dani Alves sebagai bek kanan terbaik dunia, tapi dengan medali dan trofi juara dunia, baik Lahm, Alonso dan Totti, adalah legenda besar yang ketika tak lagi ada di lapangan, mereka akan selalu menjadi yang terbaik dari yang terbaik.

Baca juga: Dani Alves, Cappucino Terbaik Nyonya Tua

Musim depan, tak akan ada lagi bek energik di sisi kanan Bayern Munchen dengan kegeniusan dan kemampuan taktikalnya yang luar biasa. Sepanjang karier, Lahm bermain hampir di semua posisi kecuali penyerang tengah dan penjaga gawang. Dan hampir di 500 lebih laga dalam karier profesionalnya, kapten terbaik Jerman setelah Franz Beckenbauer ini tak sekalipun mengoleksi kartu merah.

Sementara Alonso, kita semua akan merindukan keanggunannya dalam menguasai satu hal penting dalam sepak bola: tempo permainan. Ia mengalirkan bola seperti seorang Gordon Ramsay memotong satu daging ayam utuh dalam delapan bagian dengan nice and clean. Saya rasa, bersama Andrea Pirlo dan Xavi Hernandez, dia adalah gelandang metronom terbaik dunia dalam dua dekade terakhir.

Nama terakhir, Francesco Totti. Tidak ada pujian lebih tinggi yang didapat manusia selain gelar Re di Roma, Raja kota Roma. Ia mendapat status tertinggi di kota abadi yang dalam sejarah panjangnya di dunia menjadi cikal bakal pemerintahan dunia modern di masa kini. Totti adalah raja, kaisar, pemimpin, kapten dan semua status suci yang bisa kamu lekatkan untuk namanya sebagai cara kita, manusia fana, mengingat Er Pupone. Kelakarnya, palonetto-nya dan ban kapten di lengannya, akan selalu dikenang sebagai bukti bahwa di Italia dan Roma, pernah ada pemain sebesar dan seagung Totti.

Baca juga: Francesco Totti adalah Soendari Soekotjo Dunia Sepak Bola

Sederhananya, Lahm, Alonso dan Totti adalah simbol elegansi di sepak bola. Dan dunia terbukti menyukai atau minimal mengingat, para orang-orang elegan yang meninggalkan kesan mendalam dengan cara mereka masing-masing. Dari Andrea Pirlo hingga Roger Federer, dari Susilo Bambang Yudhoyono hingga Nurdin Halid. Meski Lahm dan Totti berpikir bahwa mereka tak akan pernah lebih besar dari Bayern dan Roma, kita semua tentu sepakat, kedua kapten tersebut adalah identitas kekal bagi kedua tim beda negara tersebut.

Setelah ketiganya pensiun, dunia tidak berhenti dan akan terus berjalan walau dengan kemuraman. Sepak bola akan terus dimainkan dan di tiap tahunnya, lewat artikel-artikel on this day, kita akan selalu mengenang pensiunnya Lahm, Alonso hingga Totti dengan kesenduan kita masing-masing. Hidup akan terus berjalan dan dunia akan selalu menemukan idola baru.

Kita, penikmat sepak bola modern, akan dengan mudah mengagumi Kylian Mbappe atau Ousmane Dembele dalam tiga atau empat tahun ke depan. Dan seperti pemuja sekte yang taat, bukan tak mungkin dari cara sebagian orang mengkultuskan Lahm, Alonso dan Totti, kita pun akan mengkultuskan Mbappe, Dembele dan banyak pesepak bola muda lain dalam tahun-tahun mendatang, terus-menerus, hingga kelak mereka menggantung sepatu dan manusia akan mencari idola baru.

Lahm dan Alonso sudah mengucap perpisahan mereka dengan sepak bola. Totti, sang gladiator Roma, masih memiliki satu laga tersisa musim ini dan mungkin, ia pun akan menyusul Lahm dan Alonso dan membuat seluruh penjuru kota Roma melepasnya dengan penuh kasih dan air mata haru. Tapi tenang saja, di sisi belahan dunia yang lain, jauh dari Roma dan Munich, kita masih punya Melody Nurramdhani Laksani.

Dunia tidak akan pernah kehabisan idola, kawan-kawan.

Isidorus Rio Turangga – Editor Football Tribe Indonesia