Salah satu pertandingan paling menegangkan sepanjang “karier” saya sebagai penggemar Bayern München dan mendukung mereka dari jauh adalah laga final Champions League kontra Dortmund tahun 2013. Setelah gagal di dua final sebelumnya dalam selang waktu yang tak terlalu panjang, pada 2010 dan 2012, saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi pendukung tim yang kalah untuk ketiga kalinya.
Namun jelas perasaan cemas yang saya alami tak seberapa dibandingkan dengan yang dirasakan Philipp Lahm. Ia masuk ke lapangan di Stadion Wembley dalam keadaan bahwa sebagian pihak memberinya julukan “The Nearly Man”. Atau dapatlah diterjemahkan sebagai spesialis nyaris. Nyaris juara. Tentu maksudnya untuk kompetisi di luar Jerman, khususnya Liga Champions.
Bersama tim nasional Jerman, Lahm juga tak kunjung juara. Mulai dari Piala Dunia 2006, Euro 2008, Piala Dunia 2010 hingga Euro 2012, Lahm bersama skuat die Mannschaft hanya mampu melangkah sampai di semifinal atau paling mentok sebagai runner-up.
Sang kapten mengingat momen tersebut dan berkata, “Tekanan yang diarahkan pada saya dan Bastian Schweinsteiger sudah tidak manusiawi. Kami sudah mengalami kekalahan pada dua final sebelumnya. Kami juga tidak pernah juara bersama Jerman. Dan kami akan segera menghadapi sesama tim Jerman di Wembley. Jika kami kalah, kami mati. Bermain pada pertandingan tersebut terasa brutal dan mengerikan.”
Bersyukur menjelang akhir babak kedua, Arjen Robben berhasil menceploskan si kulit bundar melewati jangkauan tangan Roman Weidenfeller. Bayern juara. Kutukan The Nearly Man pun tak bisa lagi disematkan pada dirinya. Bahkan selang setahun kemudian, di Maracana, sang kapten berhasil mengangkat Piala Dunia setelah Jerman menundukkan perlawanan sengit Argentina selama 120 menit.
Lahm sendiri menjalani turnamen di Brazil dengan persiapan yang sebenarnya tidak begitu matang. Ia mengenang, “Ada masa-masa ketika saya bahkan tidak bisa berlari mengikuti garis lurus. Tim sudah berada di Italia, sementara saya masih menjalani perawatan oleh tim dokter di Munich.”
Tak lama setelah perhelatan Piala Dunia 2014 selesai, Lahm memutuskan untuk pensiun dari timnas Jerman. Ia memilih untuk fokus pada Bayern München, klub yang telah dibelanya sejak usia 11 tahun. Sebelum bergabung dengan Bayern, ia sempat berlatih dengan klub lokal FT Gern selama enam tahun. Klub ini bukan klub asing bagi keluarganya. Ayah, paman dan kakeknya adalah eks pemain FT Gern.
Ketika usianya baru masuk sepuluh tahun, ia sebenarnya ditawari untuk mengikuti trial di TSV 1860 München. Namun ia memutuskan untuk tidak bergabung dengan mereka. Setahun kemudian pelatih Bayern U-11 menawarkan kesempatan yang sama. Lahm awalnya juga tak yakin ingin mengikuti trial bersama tim Bayern junior. Tapi si pelatih tak kehabisan akal, ia menawari sesuatu yang sulit ditolak anak-anak, menjadi ball-boy pada pertandingan tim senior.
Di Bayern, ia segera menyadari tuntutan untuk selalu menang. Jiwa kompetitif sudah terbangun sejak junior. Yang tidak cukup tangguh, pasti terdepak. Meskipun tidak mudah, tapiPhilipp Lahm berhasil melalui setiap jenjang kelompok usia di akademi Bayern dengan baik.
Lahm memulai debut bersama tim senior Bayern di laga versus RC Lens pada tanggal 13 November 2002. Usianya ketika itu baru 19 tahun. Ia masuk di masa injury time menggantikan Markus Feulner. Pertandingan berakhir 3-3 dan Bayern München gagal melangkah ke fase berikutnya pada kompetisi Liga Champions musim itu.
Bagi Lahm sendiri, hasil seri berarti ia gagal mendapatkan bonus. Ketika itu, ada klausul dalam kontraknya yang menyebutkan bahwa jika berhasil menang bersama tim senior, ia akan memperoleh bonus yang menurut Lahm jumlahnya lebih besar dari gajinya sebulan di tim reserves.
Setelah pertandingan itu, Lahm muda menghabiskan sisa musim 2002/03 bersama tim kedua. Hingga suatu saat teleponnya berdering. Felix Magath menghubunginya. Lahm speechless. Magath meminta Lahm memikirkan tawarannya bergabung dengan Stuttgart. Bagi Lahm, ini bukan keputusan sulit. Ia jelas tidak menolak kesempatan pindah untuk menimba ilmu sekaligus mendapatkan jam terbang yang lebih tinggi. Ia mengenang hari pertamanya di Stuttgart, “Saya harus mendatangi semua pemain satu per satu. Tidak ada yang mengenal saya kecuali para pemain muda yang bermain bersama saya di tim nasional junior.”
Pada fase-fase awal di Stuttgart, Lahm masih menempati posisi asalnya di sisi kanan lapangan, kadang di tengah, tetapi lebih sering sebagai bek. Namun pada sebuah pertandingan Piala Liga, bek kiri Stuttgart kala itu, Timo Wenzel cidera. Magath bertanya apakah Lahm bisa bermain di posisi tersebut. Lahm segera mengiyakan tawaran Magath demi mendapatkan kesempatan bermain lebih banyak. Dan jadilah ia seorang bek kiri hingga lima tahun kemudian.
Pada Februari 2004, Lahm mendapat panggilan pertama dari pelatih tim nasional, Rudi Völler. Di luar dugaannya, ia langsung masuk starting line-up pada posisi bek kiri. Lahm bermain baik dan Jerman menang 2-1 atas Kroasia.
Kariernya terus melejit. Bayern memintanya kembali pada musim panas 2005. Tahun demi tahun ia lalui dan seluruh gelar berhasil diraihnya bersama FC Bayern, termasuk tujuh titel Bundesliga. Jika Bayern kembali menjadi Deutscher Meister musim ini, maka ia akan menyamai rekor Oliver Kahn, Mehmet Scholl dan Bastian Schweinsteiger.
Pelatih datang dan pergi, tapi Lahm selalu menjadi pilihan utama. Ini menunjukkan konsistensi untuk bermain di level tertinggi selama bertahun-tahun. Ia menjadi salah satu kunci kebangkitan Bayern dalam meraih treble winners bersama Jupp Heynckes.
Pep Guardiola juga memujinya, “Philipp adalah pemain yang cerdas. Ia mendapatkan bola dan melakukan apapun yang ia mau dengannya. Ia membawanya ke mana yang ia mau dan selalu bergerak ke arah yang tepat.” Sedangkan pelatih Jerman, Joachim Löw memuji kepemimpinannya serta kemampuannya bermain di level tertinggi selama satu dekade lebih.
Tak hanya pelatih, sejumlah pemain juga mengakui konsistensi Lahm, termasuk pemain muda Joshua Kimmich. Bagi Kimmich, Philipp Lahm merupakan seorang role model yang layak dicontoh. Ia berkata, “Saya tidak bisa memikirkan tiga contoh penampilan buruk Lahm dan konsistensi merupakan kualitas yang tidak dimiliki banyak pemain.”
Philipp Lahm menjalani pertandingannya yang ke-500 bersama Bayern di berbagai ajang melawan Schalke pada 5 Februari 2017. Sebuah milestone yang penting, sekaligus merupakan penanda bahwa dirinya semakin menua. Beredar rumor ia akan pensiun di tahun 2018. Meskipun menurut Carlo Ancelotti, Lahm masih bisa bermain hingga usia 39 tahun seperti Paolo Maldini.
Namun, kapan pun akhirnya sang kapten pensiun dari Bayern, ia akan mengakhiri sebuah karier yang brilian dengan perasaan tenang dan tersenyum. Sementara saya terus melanjutkan hidup sebagai pendukung Bayern di depan layar kaca dan tentunya masih akan melalui sejumlah momen menegangkan tanpa Philipp Lahm.
Author: Bram Sitompul (@brammykidz)
Pemain sayap kiri. Penikmat Bundesliga. Penulis buku “Bayern, Kami Adalah Kami”