Suara Pembaca

Il Pinturicchio, Pahlawan Masa Kecilku

Saya berani bertaruh, bukan hanya saya tapi juga impian setiap anak laki-laki di jagat raya ini untuk jadi pemain sepak bola paling hebat. Kita merasakan kenikmatan yang luar biasa dan kebahagiaan yang tiada tara.

Masa kecil saya dulu berbeda dengan sekarang, saat anak anak sekarang yang mainstream memakai jersey nomor 7 milik Cristiano Ronaldo dan nomor 10 milik Lionel Messi, pada saat zaman saya kecil, hampir tak ada kaos bola yang sama dipakai teman-teman.

Ya, idola kami berbeda-beda. Mulai dari Andriy Shevchenko, Adriano, Ronaldinho Gaucho, Adrian Mutu, Thierry Henry, Gabriel Batistuta, Raul Gonzalez dan yang saya ingat paling banyak, jersey yang dikenakan teman-teman saya adalah milik penyerang legendaris Brasil, Ronaldo dan si tampan, David Beckham.

Begitupun dengan saya, selalu mengenakan kaos kebanggaan milik sang idola saat bermain sepakb ola. Entah kenapa, saya selalu marah saat ada teman yang lain mengenakan jersey milik idola saya. Rasanya saat itu cuma saya yang pantas memakai jersey itu.

Idola saya adalah si bandiera kota Turin. Bukan Gianluigi Buffon atau pangeran tulen asli Turin, Claudio Marchisio, tetapi pendahulu mereka berdua. Dia adalah Alessandro Del Piero. Seorang ikon, kapten, pemimpin, legenda dan top skor sepanjang masa Juventus.

Del Piero kecil dilahirkan di San Vendemiano pada tanggal 9 November 1974 dari pasangan Gino yang seorang teknisi listrik dan Bruna yang seorang ibu rumah tangga. Semasa balita, Ale, sapaan Del Piero, sering bermain di halaman belakang rumahnya bersama tiga sahabat karibnya yaitu Pierpaolo, Giovanni dan Nelso.

Mereka bertiga bercita-cita menjadi pemain profesional, namun hanya Ale yang dapat mewujudkan impiannya, meski pada awalnya si ibu meminta Ale untuk menjadi kiper, karena baginya itu adalah posisi paling aman.

Di umur 7 tahun, Ale telah masuk di klub lokal, San Vendemiano, dan berada di tangan pelatih Umberto Prestia dengan mengenakan kostum kebanggaan merah putih khas Vendemiano. Ale pun mulai berlatih dengan suasana baru dan posisi barunya sebagai seorang penyerang.

Tepat sehari setelah ulang tahun Ale yang ke-13, pihak klub kedatangan Vittorio Scantamburlo seorang pemandu bakat dari tim profesional Padova Calcio yang bermain di Serie B. Vittorio melihat bakat serta potensi Ale yang sangat menonjol sehingga dia tak ragu untuk memberikan penilaian tertinggi pada Ale serta mengusulkan Ale untuk di bawa ke Padova.

Untuk pertama kalinya Ale hidup jauh dari keluarganya demi mengejar impian sebagai pesepak bola dunia. Dia kemudian tinggal di asrama tak jauh dari Stadion Appiani Padova.

Ada satu berkah yang sangat di sukuri oleh Ale ketika bergabung di Padova yaitu dia bisa berlatih dan menghabiskan waktu bersama pemain hebat, Demetrio Albertini. Akhirnya, pada 15 Mei 1992 di Giovanni Celeste Stadium di kota Messina, Ale melakukan debut profesionalnya sebagai pemain sepak bola melawan Messina.

Apiknya penampilan Ale di Serie B mengundang perhatian klub klub besar di Italia, AC Milan, Fiorentina dan Juventus mengejar tanda tangan Ale waktu itu, namun gerak cepat dari Giampiero Boniperti yang kemudian membawa Ale berlabuh di Turin.

Piala dunia 1994 mungkin adalah salah satu kenangan kelam publik Italia, saat eksekusi penalti penyerang Juventus, Il Divine Codino, Roberto Baggio, malah melambung jauh dari gawang. Ironisnya, sebulan sebelumnya si anak ingusan, yang juga junior dari Baggio di Juventus berhasil membawa pulang trofi Piala Eropa U-21. Kala itu, Del Piero dan kawan-kawan berhasil mengalahkan Portugal era Manuel Rui costa dan Luis Figo di final.

Setelah Giovanni Trappatoni digantikan oleh Marcelo Lippi, Baggio sering dipinggirkan dan Del Piero semakin membuktikan kalau dia adalah idola baru publik Turin. Publik Turin menjulukinya Il Pinturicchio. Pinturicchio adalah pelukis terkenal pada masanya, dia sangat berbakat bahkan dia mampu mengalahkan gurunya. Seperti itulah Del Piero.

Dia sanggup mengalahkan Roberto Baggio, pemain Italia yang paling komplet pada masanya. Hasil di akhir musim pun sangat memuaskan dengan berhasilnya Juventus memutus dominasi AC Milan yang dilatih Fabio Capello dengan diraihnya Scudetto serta memenangkan Coppa Italia setelah mengalahkan Parma.

Musim 1995/1996 yang dimulai dengan kepindahan Baggio ke Milan, semakin menegaskan pentingnya posisi Ale di tim inti, bahkan, Ale pun mewarisi nomor punggung 10 peninggalan Baggio. Peran Ale sangat vital terbukti dengan memainkan 43 dari total 48 pertandingan yang dimainkan Juventus pada musim 1995/1996. Meski kalah perburuan Scudetto dari AC Milan, publik Turin tetap merayakan kebahagiaan mereka dengan Juventus memenangi Liga Champions setelah di final mengalahkan wakil Belanda, Ajax Amsterdam

Ale pun dipanggil untuk memperkuat timnas Italia pada Piala Eropa 1996, mengalahkan nama Igor Protti yang secara sensasional menjadi top skor Serie A meski pada akhirnya gagal menolong timnya, Bari, bertahan di Serie A. Sayangnya, Italia gagal total pada turnamen empat tahunan tersebut.

Musim demi musim membuktikan bahwa Juventus adalah tim terkuat pada saat itu karena sukses tiga kali lolos final Liga Champions berturut turut walau hanya memenangi satu di antaranya. Tahun 1997, Juventus kalah dari wakil Jerman Borussia Dortmund. Tahun 1998, gol tunggal Predrag Mijatovic mengubur mimpi Ale menjuarai Liga Champions untuk kedua kalinya.

Juventus kalah tipis dari Real Madrid tahun itu, tetapi pada tahun yang sama, Ale mendapat hiburan dengan menjadi top skor Liga Champions dengan raihan 10 gol. Kegagalan serupa dialami Del Piero dan kawan-kawan pada ada final tahun 2003 saat kalah adu penalti dari tim Italia lain, AC Milan. Total, sampai akhir masa baktinya di Juventus, Del Piero hanya pernah sekali menjuarai Liga Champions, berbeda dengan Paolo Maldini yang menjuarai sebanyak lima kali.

Tetapi tak perlu Liga Champions sebanyak Maldini ataupun Ballon d’Or sebanyak Lionel Messi untuk membuat publik Turin dan para Juventini jatuh hati. Il Pinturicchio, terima kasih sudah melukiskan banyak warna diatas balutan hitam dan putih.

***

Alessandro Del Piero,

Tidak perlu banyak piala dan penghargaan individu untuk menjadikanmu seorang legenda. Tak perlu mencetak banyak gol dan pamer teknik belaka untuk membuatku jatuh cinta. Melihatmu dengan setia membela tim favoritku saat tersandung Calciopoli, sudah cukup membuatku semakin cinta mati. Melihat gol tendangan bebasmu, tak henti-hentinya aku berusaha menirumu. Melihatmu mengangkat Piala Dunia di Jerman aku ikut bersorak kegirangan, melihatmu menjadi top skor Serie A 2008 lalu, aku abadikan poster besarmu di kamarku.  Melihat sepasang golmu di Santiago Bernabeu, aku semakin mengelu elukan namamu.

Ale, idolaku,

13 Mei 2012, lima tahun lalu, di pertandingan akhir musim itu, aku menangis. Bukan hanya aku, masih jelas dalam benak, seorang pria tua menangis sejadi-jadinya karenamu. Sebagian besar penonton di stadion pun meneteskan air mata setelah melihatmu mencetak gol terakhirmu, lalu dengan senyum merekah, kau mengitari stadion untuk melambaikan perpisahan yang tak lagi memakai warna hitam-putih yang sudah lekat di nadimu.

Aku sadar bahwa mulai hari itu, Juventus tercintaku tak akan sama lagi tanpamu. Waktu memang biadab betul dan hidup memang harus berjalan, sehebat apapun pesepak bola lain, engkau akan tetap tinggal di hatiku sebagai idola masa kecil, sampai masa tuaku.

Forza Ale! Forza Juventus!

Author: Prima Nurwiyadi (@primanurwiyadi)
Mahasiswa di Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya