Kolom Eropa

Espresso itu Bernama Gianluigi Buffon

Oleh karena kecintaannya pada anggur, memiliki kebun anggur, lantas memiliki merek anggurnya sendiri, gaya bermain Andrea Pirlo kerap disamakan dengan anggur atau wine.  Sang maestro tak lagi mengolah bola dan memperdaya barisan bek lawan di Eropa. Ia telah menepi ke Amerika Serikat. Roda waktu telah membuatnya paham bahwa staminanya tak lagi mampu mengimbangi intensitas sepak bola Eropa.

Dengan segala rasa takzim kepada Alessandro Del Piero, Fransesco Totti, Paulo Maldini, atau Alessandro Nesta,  Pirlo adalah simbol penjaga kharisma Italia di jagat sepak bola dunia. Ia pula yang kemudian memopulerkan posisi regista, sesuatu yang membuat kita terperangah, dan kembali memaknai keindahan gaya bermain yang pernah diperankan Pep Guardiola dan Fernando Redondo tersebut.

Dengan brewok dan gaya bermainnya yang distingtif (lambat namun mematikan), Italia membuat kita sejenak berpaling dari keindahan juego do posicion ala Spanyol dan Guardiola. Segenap maniak Football Manager pun menghamba kepada Pirlo, dan berharap mampu menemukan Pirlo-Pirlo yang lain lewat gim simulasi sepak bola itu.

Akan tetapi, terdapat satu nama lain yang bisa disejajarkan dengan Pirlo: Gianluigi Buffon.

Jika diturunkan pelatih Gian Piero Ventura untuk pertandingan kualifikasi Piala Dunia melawan Albania, pertandingan tersebut akan menjadi yang ke-1000 bagi penjaga gawang Juventus ini. 999 laga telah ia lalui, milestone yang istimewa betul. Bersama Parma 220 kali, Juventus 612 kali, dan Gli Azzuri sebanyak 167 kali. Luar biasa, Gigi.

Tahun lalu, sosok menjulang yang begitu kita akrabi ini kembali tampil apik bersama tim nasional Italia, walau berangkat ke Prancis dengan skuat yang dinilai ala kadarnya. Kita menyaksikan gairahnya masih meletup saat merayakan kemenangan dengan berlari ke arah gawang, lalu menggelantungi tiangnya sembari menyeringai senang kepada para suporter di tribun. Ia juga bermain di tiga laga perdana dengan memberikan cleansheet kepada tim yang waktu itu ditangani Antonio Conte.

Tahun 2013, Jonathan Wilson menulis buku tentang posisi kiper. Wilson memberi penghargaan lewat telaah sejarah mengenai posisi yang pernah diisi sosok-sosok ajaib, mulai dari filsuf-cum-selebriti Albert Camus, pemimpin umat Kristiani Paus John Paul II, sampai penulis hikayat detektif Sherlock Holmes, Sir Arthur Conan Doyle.

Bicara tentang gawang, ah…betapa gawang telah begitu dicintai Buffon, walau pada awalnya ia berposisi sebagai penyerang. Kecintaan Buffon kepada gawang membuat saya pribadi terharu saat ia menulis surat terbuka untuk tiga tiang yang membentuk persegi panjang yang lebih dari dua dekade ia jaga.

Surat tersebut ia tulis saat mencatat rekor sebagai kiper terlama yang mampu memberi cleansheet di Serie A. Selama 974 menit Buffon tak pernah mengambil bola yang bersarang di gawangnya, sebelum penyerang Torino, Andrea Belotti menghentikan rekor tersebut lewat sepakan penalti.

Berikut adalah penggalan surat bertanggal 21 Maret 2016 tersebut, yang begitu puitis dan menggetarkan:

“Tapi di hari ketika saya berhenti melihat wajahmu, itu juga menjadi hari saya mulai mencintaimu.

Untuk melindungimu, demi menjadi pelindungmu yang pertama dan terakhir.

Saya sudah berjanji pada diri sendiri bahwa saya akan melakukan segalanya untuk tak melihat wajahmu lagi. Atau saya akan melakukannya sejarang mungkin. Ini selalu menyakitkan setiap kali saya menatapmu, membalikkan tubuh dan menyadari bahwa saya sudah mengecewakanmu.

Lagi. Dan lagi.

Kita selalu berada pada dua titik berbeda tapi kita saling melengkapi, seperti matahari dan bulan. Terpaksa hidup berdampingan tanpa bisa saling lama-lama bersentuhan. Rekan hidup, sebuah hidup di mana kita tak boleh bersinggungan.”

Dengan pemaknaan terhadap benda mati yang begitu dalam dan melankolis ini, tak heran jika namanya berkali-kali mencatat rekor fantastis. Di masa ketika pemain tak ubahnya seperti pembunuh bayaran yang sudi berkali-kali berganti tuan, surat indah ini terasa menyejukkan.

Buffon memang lahir di Florence, kota yang menjadi kiblat revolusi kebudayaan Eropa bertajuk Renaissance. Masa-masa itu terjadi di abad ke-14, dan diniliai banyak kalangan sebagai masa perantara dari abad pertengahan menuju masa modern. Masa ini mewariskan kepada kita khazanah seni dan budaya Italia lewat nama-nama seperti Leonardo da Vinci, Donatello, atau Michelangelo.

Di kota ini pula, pada medio 1930-an, hikayat espresso menemukan titing terang.

Ya, kopi yang kini begitu diminati dan menjadi perkakas gaya hidup ini lahir di Italia, lewat mesin bernama La Marzocco. Ide mengenai mesin peracik kopi otomatis sebenarnya telah dimulai tahun 1884, tetapi lewat mesin yang dibuat dan dipasarkan Giuseppe dan Bruno Bambi inilah, hikayat espresso mendunia.

Nama La Marzocco diambil mereka berdua dari patung singa buatan Donatello, yang menjadi ikon dan simbol kota Florence. Patung ini dapat Anda temui di Piazza della Signoria. Sebagaimana trajektori karier Buffon yang sempat menjadi penyerang, Giuseppe Bambi awalnya berprofesi sebagai perancang lampu kereta api.

Espresso adalah jenis kopi yang menjadi dasar bagi berbagai variannya, seperti latte, machiatto, juga capuccino. Menyesap espresso murni pun menjadi pilihan sebagian pemadat kopi. Bagi mereka para pekerja keras, double-shot espresso akan menahan kantuk, membuat mereka terjaga dan bersemangat menyongsong hari.

Begitulah wujud Buffon. Ia adalah espresso. Buffon-lah fondasi di tiap tim yang ia bela. Di tangan pelatih, permainan akan berkembang, entah menjadi capuccino, atau latte. Tetapi sang pelatih tetap membutuhkan bahan dasar itu: espresso. Bahan yang menjadi syarat mutlak bagi terciptanya strategi tim yang padu.

Bersama Gli Azzuri, Buffon mencatatkan namanya sebagai pemain dengan keikutsertaan Piala Dunia terbanyak: lima kali. Buffon berkesempatan berpentas bersama Italia sejak Piala Dunia 1998, walau saat itu hanya menghuni bangku cadangan.

Sejak tahun itu sampai hari ini, hitung berapa perubahan besar dalam hidup Anda yang telah terjadi. Anda mungkin kini telah berproses, menjadi seorang bapak atau ibu bagi anak-anak Anda. 20 tahun bukanlah waktu yang singkat, dan Buffon si espresso terus identik dengan kebesaran timnas Italia.

Pada Piala Eropa 2016 lalu, Buffon mengatakan bahwa kejuaraan tersebut adalah kejuaraan Eropa terakhirnya. Buffon juga berniat untuk mengakhiri karier sepak bolanya bersama Italia, di Piala Dunia 2018 yang berlangsung di Rusia. Di Rusia pula, Buffon menjalani debutnya untuk timnas, di laga play-off kualifikasi Piala Dunia melawan tim Beruang Merah. Pertandingan tersebut terjadi 20 tahun yang lalu, tepatnya pada 29 Oktober 1997.

Buffon tahu masa senja mulai menghampirinya. Kepada siapa nasib gawang Italia harus ia serahkan, dunia dan dirinya sama-sama tahu. Amanat itu akan jatuh ke tangan Gianluigi yang lain, yang Buffon sebut sebagai Sang Terpilih, ‘Il Prescelto’, Gianluigi Donnarumma.

Kedigdayaan sang espresso semakin nyata setelah kita melihat nama ketiga yang dipanggil Ventura sebagai kiper. Selain Donnarumma, pelatih gaek tersebut memanggil nama Alex Meret, kiper Udinese yang sedang dipinjamkan ke klub Serie B, SPAL. Kedua pendamping Buffon tersebut jika umurnya kita gabung hanya berjumlah 38, setahun lebih muda dari Buffon.

Bersama Antonio Carbajal dan Lotthar Matthaus, pria yang membawa Italia kampiun dunia pada 2006 ini menjadi penampil terbanyak Piala Dunia. Prancis, Jepang-Korsel, Jerman, Afrika Selatan, dan Brasil, telah ia jalani bersama sejumlah pelatih dan puluhan pemain. Piala Dunia keenam, Rusia 2018, akan membuat namanya semakin  dikenang, bersanding dengan nama-nama lain seperti Lev Yashin, Peter Shilton, dan nama yang rekornya ia lampaui berkali-kali, Dino Zoff.

Begitulah espresso. Keberadaannya tak sepopuler capuccino, bahkan membuat kita lupa bahwa espresso-lah yang menjadi dasar dari berbagai varian kopi. Seperti Buffon, yang berada sendirian di bawah mistar, yang begitu dicintanya sepenuh hati.

Grazzie mille, Gigi Buffon.

Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com