Dalam setiap masa yang telah dilalui, sepak bola selalu menghasilkan talenta yang luar biasa. Baik pemain yang mempertontonkan permainan menawan, maupun deretan pelatih hebat yang memenangkan banyak gelar. Banyak dari mereka yang memiliki kesamaan walaupun lahir di zaman yang berbeda.
Salah satu generasi yang berbeda tapi memiliki banyak kesamaan adalah pelatih legendaris asal Inggris, Brian Clough dan pelatih yang selalu menjadi buah bibir saat ini, siapa lagi kalau bukan Jose Mourinho.
Sebuah ungkapan dalam bahasa Jawa “Ajining dhiri saka lati” yang jika diartikan: ucapan memang penentu diri kita untuk dihargai dan dihormati orang lain. Dan oleh ucapan pula, sosok Brian Clough dan Jose Mourinho menjadi orang yang paling dihormati, sekaligus dibenci. Dan berikut beberapa kesamaan mereka:
Prestasi
Clough, yang sudah melegenda jauh sebelum era Premier League menyihir dunia, dikenal sebagai sosok yang arogan pula bermulut besar. Kebanggaan khas Britania benar-benar mengalir dalam darahnya. Pelatih kelahiran Valley Road, Middlesbrough, Inggris ini memang dikenal tidak memandang bulu dalam melontarkan perkataan. Meski begitu, apa yang ia katakan sejalan dengan apa yang ia raih selama ini.
Pelatih yang mengawali karir di Hartlepool ini mulai mencuat namanya saat menukangi Derby County. Bersama asisten, yang juga sahabatnya, Peter Taylor, ia membawa Derby naik ke First Division (sekarang Liga Primer Inggris) pada tahun 1969 setelah lama menghuni Division Two.
Tidak butuh waktu lama bagi Clough untuk meraih kesuksesan di divisi teratas liga Inggris. Ia menggebrak publik Inggris kala mengantar klub asal Derbyshire menjuarai liga pada musim 1971/1972, yang sekaligus menyejajarkan Derby County dengan klub-klub langganan juara seperti Liverpool, Manchester United, dan Leeds United.
Kedigdayaan ayah dari Nigel Clough ini pun berlanjut saat menukangi Nottingham Forest, klub yang tak kalah kecil dengan Derby ini juga ia bawa ke tangga tertinggi liga Inggris. Lebih dari apa yang ia berikan pada Derby, Clough mengantar klub yang bermarkas di City Ground itu mengangkat trofi Liga Champions Eropa secara back to back pada 1978/1979 dan 1979/1980.
Jauh setelah Clough tidak lagi melatih, dunia sepak bola, khususnya Liga Inggris, kembali menghadirkan sosok yang tak jauh berbeda dari Brian Clough. Jose Mourinho namanya. Selaiknya Clough yang mengingatkan kita bahwa di Inggris tidak hanya ada Don Revie ketika itu, Mourinho juga melakukan hal demikian, bahwa di Inggris tidak cuma Sir Alex Ferguson dan Arsene Wenger.
Pria Portugal mulai menunjukkan kehebatannya ketika mengantar FC Porto meraih treble musim 2001/2002 ketika mengawinkan trofi Liga Portugal, Piala UEFA, dan Piala Super Portugal. Dua tahun berselang, ia mengantar klub yang bermarkas di Estadia Do Dragao menjadi kampiun Liga Champions dengan menghantam wakil Prancis, AS Monaco 3-0 di final.
Keberhasilan Mou bersama Porto mengantarnya menuju keberhasilan-keberhasilan lain yang ia capai di tahun setelahnya. Chelsea, klub yang beranjak besar ketika itu langsung mengontrak mantan asisten Louis van Gaal di Barcelona tersebut. Klub milik taipan Roman Abramovich ini pun memberinya warisan skuat dari Claudio Ranieri dengan kualitas terbaik.
Di musim pertamanya, Chelsea langsung menjadi juara Liga Primer Inggris untuk kali pertama setelah 50 tahun terakhir. Capaian ini pun kembali terulang musim berikutnya dengan skuat yang nyaris serupa dan semakin kuat.
Keretakan hubungan Mou dengan pemilik klub membuat ia terusir dari Stamford Bridge, yang sekaligus mengantar ia ke prestasi yang lebih tinggi saat menyeberang ke Italia untuk menerima pinangan Internazionale Milan yang baru ditinggal Roberto Mancini. Ia kembali menemukan kebahagian di kota mode itu setelah meraih scudetto, lagi-lagi di tahun pertama.
Prestasi yang diraih bersama Porto tahun 2003 lalu kembali diulang, ketika Jose berhasil mengantar La Beneamata menjadi raja Eropa saat menundukkan Bayern Munchen di final Liga Champions 2009/2010 lalu. Menariknya, pada final tersebut, Mou mengalahkan gurunya saat di Barcelona, Louis van Gaal.
Tak hanya trofi Liga Champions, di tahun tersebut, Mou mencetak sejarah baru di Internazionale, meraih treble untuk pertama kali setelah menyandingkan scudetto, Coppa Italia, dan Liga Champions Eropa.
Puas dengan apa yang ia raih di Italia, Mou kembali menyeberang lautan untuk mengabdi bersama Real Madrid yang tengah limbung dengan proyek Galacticos jilid duanya. Kedatangannya ke ibu kota Spanyol tak hanya untuk meraih gelar, tapi juga membuka kembali permusuhan lama dengan Barcelona.
Kini, Mou telah kembali ke Inggris sebagai pelatih Manchester United, setelah sebelumnya kembali ke Chelsea. Meski peluang meraih gelar Liga Primer terasa berat, ia tetap memiliki kesempatan meraih treble winner musim ini di ajang FA Cup, EFL Cup, dan Liga Europa.
Sosok yang arogan
Baik Clough atau Mourinho, mereka sukses dalam sepak bola dengan torehan banyak gelar bergengsi. Keduanya pun seakan memiliki jalan garis hidup yang hampir serupa. Selain raihan juara, pelatih beda zaman ini sama-sama dikenal sebagai pelatih sombong nan arogan, dan tentu saja bermulut besar.
Saat masih menukangi Derby County, Clough bahkan beberapa kali bersitegang dengan pemilik klub yang dianggap terlalu ikut campur dalam hal susunan pemain. Lengsernya Clough dari kursi pelatih Derby juga berkat andil mulut besarnya yang menantang manajemen agar memecatnya serta Peter Taylor.
Sementara Mou, ia sempat bermusuhan dengan Roman Abramovich, orang yang membawanya ke Chelsea serta menjadikannnya pelatih dengan bayaran paling mahal ketika itu. Mou yang menganggap Andriy Shevchenko tidak cocok dengan skema permainannya, harus memaksakan kehendak sang pemilik klub yang memang naksir berat dengan pemain asal Ukraina tersebut. Ini pula yang menjadi salah satu penyebab kepergian pertamanya dari Chelsea.
Sama-sama narsis
Dalam hal membanggakan diri sendiri, Mou serta Clough sama-sama memiliki tingkat kenarsisan yang cukup tinggi. Seperti yang kita tahu, Mou menganggap dirinya sebagai The Special One, sesaat setelah ia didapuk sebagai manajer Chelsea. Sementara Clough, dalam beberapa kesempatan ia berkeyakinan bahwa kedudukannya berada di tempat paling tinggi. Bahkan, Brian pernah berseloroh jika ia meninggal kelak, maka Tuhan harus merelakan singgasananya.
Bermulut besar
Hal lain yang membuat keduanya semakin mirip adalah komentar pedas mereka yang kerap menyasar rekan sejawat di sepak bola. Jangan tanya berapa pesepak bola dan pelatih yang pernah dikritik habis-habisan oleh Clough, mulai dari David Seaman, David Beckham, hingga Sir Alex Ferguson yang merasakan pedasnya mulut pelatih yang pernah bermain untuk Sunderland ini.
Dan Mourinho, jangan panggil dia The Special One jika ia tidak memiliki banyak musuh. Terhitung sejak menginjakkan kakinya di Inggris, Mou sudah menabuh genderang perang pada kompetitornya, seperti Alex Ferguson, Arsene Wenger, dan Rafael Benitez. Usia muda tak memperkecil nyalinya di hadapan pelatih lainnya yang lebih senior.
Tidak hanya di Inggris, mulut pedas Mou juga menyasar ke Spanyol dan Italia. Siapa yang tak tahu memanasnya hubungan Mou dan Pep Guardiola kala kedua orang yang pernah bekerja sama di Barcelona ini kembali bertemu dengan tim yang berbeda. Dan yang paling mengejutkan tentu saja perang komentar Mou dengan legenda hidup Inter Milan, Sandro Mazzola, yang tak terima dengan komentar Mou yang menjelekkan kompetisi Serie A, juga Inter Milan era Roberto Mancini.
Mencetak pemain bintang
Di luar dari kesombongan dan arogansi pelatih beda negara ini, mereka adalah pencetak pemain-pemain bintang. Siapa yang menyangka jika kiper legendaris Inggris, Peter Shilton diitemukan bakatnya oleh Brian Clough. Dan tentu saja Roy Keane, yang kemudian menjadi pemimpin di Manchester United.
Keberhasilan Porto menjadi kampiun Eropa, telah membuka kran pemain bintang Portugal yang terus menjamur di Eropa. Nama-nama seperti Jose Bosingwa, Ricardo Carvalho, dan Deco menjadi mencuat ke permukaan. Sementara di Chelsea, ia mengorbitkan nama Didier Drogba, Petr Cech, dan Michael Essien.
Setia dengan asisten yang sama
Kesamaan lain yang patut kita tiru dari keduanya adalah kebersamaan mereka dengan para asistennya. Di balik tensi hubungan yang naik turun, Brian Clough tidak pernah memercayai seseorang sebagaimana ia memercayai Peter Taylor. Tidak hanya meraih gelar bersama, keduanya juga telah menghasilkan beberapa pemain penuh talenta.
Sedangkan Mourinho, ia setia bersama Rui Faria. Meskipun berpindah-pindah klub, mulai dari Chelsea, Inter Milan, Real Madrid, dan Manchester United, ia tidak pernah meninggalkan sang asisten yang berasal dari Angola tersebut.
***
Di sepak bola, cerita dongeng sudah terjadi jauh sebelum Leicester City juara musim lalu. Brian Clough bersama Derby County dan Nottingham Forest adalah yang mengawali sebuah kemustahilan menjadi satu kejadian yang layak untuk selalu diingat, yang kemudian diulang kembali oleh Jose Mourinho di FC Porto. Dan satu fakta yang semakin melengkapi persamaan mereka adalah, mereka tidak pernah (atau belum) melatih timnas negaranya masing-masing (Jose Mourinho belum pernah melatih timnas Portugal).
Author: Wanda Syafii (@wandasyafii)
Kopites yang masih percaya timnya akan juara liga walau entah kapan. Sering bikin gaduh di wandasyafii.com