Kembali mengulang catatan sejarah 28 tahun ke belakang adalah pencapaian terbaik timnas Indonesia di ajang SEA Games cabang sepak bola, di mana sampai saat ini belum bisa ditorehkan kembali oleh para penggawa Garuda.
Benar, pada SEA Games Manila 1991 timnas Garuda kembali menorehkan tinta emas dengan merebut medali emas dan menggulingkan tim favorit lainnya, Thailand, melalui adu penalti 4-3 (0-0) di Stadion Rizal Memorial Stadium, Manila, Filipina.
Berbeda dari pencapaian empat tahun sebelumnya di mana kala itu skuat timnas disesaki nama-nama jaminan mutu, maka di perhelatan kali ini lebih dari setengahnya diisi oleh pemain “ABG” di dalam skuat besutan pelatih Anatoli Polosin. Ya nama ini merupakan sosok nakhoda ikonik yang mampu merubah karakter, determinasi, spirit, dan mental para pejuang Garuda.
Anatoli Fyodorich Polosin atau yang biasa kita kenal dengan Anatoli Polosin lahir di Moskow, Rusia (dahulu Uni Sovyet) pada 30 Agustus 1935 dan menghembuskan napas terakhir di usia 62 tahun, atau tepatnya 11 September 1997 di Moskow.
Karier kepelatihannya banyak dihabiskan dengan membesut tim dari tanah kelahirannya atau hanya sebatas klub dari Eropa Timur. Seperti kebanyakan pelatih dari Eropa Timur pun demikian dengan Polosin sangat mengedepankan aspek fisik.
Banyak pemain berlabel bintang yang mundur karena tidak sanggup dengan metode yang diterapkannya. Ansyari Lubis, Fachri Husaini, Jaya Hartono, hingga Eryono Kasiba merupakan nama-nama yang kewalahan dengan gemblengan fisik Polosin.
Saat masa persiapan menuju SEA Games, Polosin menempa fisik Raymond Hattu dan kawan-kawan dengan keras. Sekitar tiga bulan fisik para pemain digenjot dengan materi latihan yang keras bahkan di luar batas kemampuan para pemain kala itu.
Mendapati pemain muntah dan kabur dari pemusatan latihan menjadi hal yang lumrah. Metode “Shadow Football” ala Polosin ini sempat menjadi polemik. Satgas Pelatnas kala itu, Kuntadi Djalana mengaku sempat memperdebatkannya.
Sudirman, salah seorang bek timnas kala itu pernah menyampaikan kicauan Polosin bahwasannya “Kami hanya kuat bertanding satu babak.” Bila umumnya latihan digelar pagi dan sore hari, maka Polosin menerapkan tiga kali latihan setiap harinya. Ada pula kejadian konyol kala latihan dengan menaiki gunung. Kas Hartadi sampai menangis. Katanya, “Bal-balan opo iki kok pakai naik gunung segala”.
Latihan fisik selama 3 bulan itu melebihi cara latihan fisik di militer seperti yang pernah dilakukan timnas Garuda I dan II. Dari 57 pemain yang dipanggil pelatnas SEA Games 1991, banyak yang menyerah atau tercoret karena tidak kuat dengan metode Polosin. Mantan pemain timnas, Miki Tata dan Singgih Pitono, bahkan dikabarkan sering sekali berada di belakang ketika latihan berlari. Alasannya sih, karena tidak ingin (maaf) kentutnya terdengar.
Sesi lain dalam latihan keras ala Eropa Timur adalah keharusan para pemain melakukan touch ball sebanyak 150 kali. Vladimir Urin salah satu asisten pelatih timnas menjelaskan, bahwa touch ball yang dilakukan Marco van Basten selama 90 menit di lapangan minimal mencapai 150 kali. Dengan demikian bahwa Urin bermaksud para pemain Indonesia dapat mendekatinya.
Polosin yang tidak cukup mahir bicara bahasa Indonesia selama melatih di Tanah Air berhasil meningkatkan fisik pemain secara signifikan. Di sini bisa dilihat dari standar VO2Max pemain yang sudah sesuai dengan rata-rata pemain Eropa, atau para penggawa Garuda sanggup menempuh jarak 4 kilometer hanya dalam waktu 15 menit dengan berlari.
Jelang turun di ajang SEA Games, timnas melakukan pemanasan dengan turun di Presiden Cup Seoul, Korea Selatan. Hasilnya timnas jadi bulan-bulanan Cina U-23, Mesir, Korea Selatan, bahkan Malta sekalipun serta klub asal Austria dengan hanya mengemas satu gol berbanding 17 gol tercipta di jala Garuda.
Namun lagi-lagi Polosin bergeming dengan capaian tersebut. Keyakinan dan keteguhan hatinya berbuah tinta emas. Timnas “seadanya” dijadikan raja Asia Tenggara dengan torehan tanpa tersentuh kekalahan sepanjang turnamen. Dengan didampingi Vladimir Urin dan Danurwindo, skuad Garuda mengangkangi Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Singapura, sampai Thailand di partai puncak.
Timnas Indonesia di SEA Games 1991 punya ciri khas yang membuat pencinta sepak bola sulit melupakan mereka. Selain kekuatan fisik yang bagus, tim Garuda juga didominasi para pemain muda. Dari 18 pemain yang diangkut ke Manila, sebanyak 10 orang merupakan pemain muda yang memiliki masa depan cerah
Sebut saja Rochi Putiray, Sudirman, Peri Sandria, hingga Widodo Cahyono Putro. Para anak muda ini dipadankan dengan beberapa penggawa senior macam Hanafing, Eddy Harto, Robby Darwis, hingga sang kapten Ferril Raymond Hattu. “Pemain senior dan junior tidak ada jarak, kami sudah seperti keluarga,” ujar striker Peri Sandria.
Satu nilai plus lain dari armada Garuda polesan Polosin adalah ia tidak peduli dengan status pemain bintang. Hal itu pula yang membuat ia berani menepikan striker sekelas Ricky Yakobi, pemain yang menjadi andalan Indonesia kala merebut medali emas empat tahun sebelumnya.
Seorang Polosin yang sebelum dan sepanjang turnamen adalah sosok pria yang keras dapat juga menunjukkan sisi “kemanusiaannya”, yaitu kala partai puncak sudah memasuki babak tos-tosan. Pelatih asal Uni Soviet itu lebih memilih untuk berada di ruang ganti karena tidak mampu menyembunyikan ketegangannya. Hanya Vladimir Urin dan Danurwindo kala itu yang mendampingi para pemain di pinggir lapangan.
Ketegangan sudah mencuat kala empat penendang pertama masing-masing tim gagal di mana Widodo dan Maman Suryaman yang tidak beruntung kala itu. Begitu saat adu penalti memasuki fase sudden death sampai penendang kelima, Sudirman yang kala itu seorang pemain junior maju sebagai eksekutor tambahan. Ia menggantikan seniornya, Robby Darwis, yang menolak mengambil tendangan 12 pas.
“Begitu berhadapan dengan bola, saya melakukan saja sesuai dengan apa yang saya pikirkan saat itu, dan hasilnya bola masuk. Setelah penendang Thailand gagal melaksanakan tugasnya, saya dan teman-teman langsung berhambur ke arah Eddy Harto.
Anatoli Fyodorich Polosin, pria dengan karakter tegas dan penuh disiplin berhasil memahat namanya di perjalanan sejarah sepak bola Tanah Air dengan mempersembahkan medali emas, yang mana hingga saat ini hanya menjadi mimpi semu sepak bolaIndonesia. Entah kapan Indonesia memiliki Anatoli Polosin berikutnya.