Meski masih terlalu dini menyatakan bahwa Juventus yang merepresentasikan Seria A telah bangkit dari masa silamnya selepas Calciopoli, tapi setidaknya angan-angan bangkitnya sepak bola Italia mulai terasa.
Saat undian atau sebelum undian fase perempatfinal Liga Champions, jelas baik suporter maupun Juventus itu sendiri, dalam hati kecilnya menghendaki bertemu lawan yang kualitasnya ada di bawahnya atau paling tidak seimbang. Setidaknya klub seperti Bayern Munchen, Real Madrid, Barcelona, Atletico Madrid maunya tidak menjadi lawan Paulo Dybala dan kawan-kawan.
Tapi nyatanya Juventus justru bertemu tim Catalan, Barcelona. Kenangan pahit final Liga Champions 2015 di Berlin jelas membuat Juventus ngeri sekaligus termotivasi untuk balas dendam. Ternyata Juventus benar-benar menyingkirkan Barcelona sebagai pelampiasan balas dendam dengan keunggulan agregat 3-0.
Juve pun kembali ke semifinal Liga Champions yang terakhir kali dirasakannya pada 2015 lalu. Mengingat, pada edisi Liga Champions tahun berikutnya atau tahun lalu tepatnya, Juventus disingkirkan oleh Bayern Munchen dengan pahit dan dramatis.
Rasa-rasanya langkah Juventus untuk maju ke puncak babak demi mengangkat tinggi Si Kuping Besar bukan sebuah hal yang mustahil selagi Si Nyonya Tua bias menampilkan permainan yang solid. Kemenangan 4-0 atas Genoa di pekan ke-33 Serie A sangat mengangkat mental anak-anak Massimiliano Allegri setidaknya untuk mengamankan peluang Scudetto keenam secara beruntun serta persiapan menghadapi As Monaco di laga pertama semifinal.
Perwakilan Prancis dan Italia itu sesungguhnya telah empat kali bentrokan di kancah Eropa. Pertemuan pertama juga terjadi di babak semifinal Liga Champions yakni pada musim 1997/1998, yang mana Juventus unggul 4-1 atas Monaco di Delle Alpi, tetapi Monaco berhasil mengalahkan Juventus 3-2 di Prancis.
Teranyar, yakni pada perempatfinal Liga Champions 2014/2015, Bianconerri menang tipis 1-0 dari Monaco dan saat ganti bertandang, baik Juventus maupun Monaco sama-sama gagal mencetak gol alias 0-0. Dengan skema agregat, Juve-lah yang berhak maju ke semifinal berkat gol tunggal Arturo Vidal melalui titik penalti.
Setelah masa keemasan medio 1990-an berakhir ditambah lagi drama Calciopoli, baik Juve atau pun tim raksasa Italia lainnya tak terlihat lagi prestasinya di kancah Eropa.
Musim final Liga Champions yang mendudukan tim asal Negeri Pizza terakhir sebelum kebangkitan Juve adalah pada 2002/2003 antara Juventus kontra AC Milan, 2006/2007 antara AC Milan kontra Liverpool, 2009/2010 antara Inter Milan kontra Bayern Munchen dan terakhir 2014/2015 mempertemukan Juventus kontra Barcelona.
Lonceng kebangkitan bagi Juve dimulai pada rezim Antonio Conte yang datang dari Bari pada musim 2011/2012. Atau berbarengan dengan manifesto berdirinya Juventus Stadium pada 8 September 2011. Inilah fase Juventus menunjukan kelasnya sebagai tim besar Italia.
Setelah menjadi kampiun Serie B di tahun 2006/2007, Juventus ditemani Napoli sebagai runner-up dan Genoa di posisi ketiga klasmen akhir Serie B berhak promosi naik kelas ke Serie A. Hukuman terkait pengaturan skor bagi Juve sangatlah menyakitkan. Tak hanya dilempar ke kasta bawah, Allesandro Del Piero dan kawan-kawan harus memulai musim dengan poin minus.
Dengan adanya eksodus dan beberapa pemain bintang yang loyal seperti Pavel Nedved, Gianluigi Buffon, Alessandro Del Piero, Mauro Camoranesi dan David Trezeguet, Juventus langsung berhasil finis diurutan ketiga Serie A di tahun comeback-nya atau posisi batas terakhir jatah Liga Champions melalui fase kualifikasi. Beruntung bagi Del Piero dan kawan-kawan, mereka hanya melawan tim asal Serbia, Petržalka, dan lolos ke babak grup dengan agregat 5-1.
Keberuntungan kembali melanda Juve saat hasil drawing menempatkan tim asal Turin itu satu grup dengan Real Madrid, Zenit dan Bate Borisov. Praktis hanya Madrid saja lawan terberat. Rupanya Serie B bukanlah sebuah kemunduran prestasi melainkan hanyalah bentuk hukuman. Hal itu ditunjukan dengan mampu mengalahkan Madrid di dua pertemuan fase grup (0-2, 2-1) dan menempatkan Juventus sebagai runner-up grup. Sayang di babak 16 besar, Juve dihentikan Chelsea dengan agregat tipis 3-2.
Tahun kedua usai kembali ke Serie A, Juventus sukses memperbaiki posisinya menjadi peringkat dua di bawah Inter Milan pada musim 2008/2009. Itu artinya, Juventus secara dua tahun berturut-turut lolos ke Liga Champions selepas Calciopoli. Hanya saja kali ini performa Juve di bawah asuhan Ciro Ferrara kurang tokcer karena Juve langsung tersingkir di babak grup dari Bordeaux dan Bayern Munchen.
Menempati posisi ketiga, Juve pun terlempar ke Liga Europa dengan menghadapi Fulham di babak 16 besar. Asa anak-anak Turin pun menyala kala di leg pertama sukses membenamkan Fulham 3-1. Namun, seperti jetlag akan kompetisi Eropa, Fulham justru sukses memukul Juve dengan skor 4-1 di Craven Cottage. Salah satu fase berat yang harus dilalui Juve kala itu.
Peruntungan Si Nyonya Tua berubah ketika Antonio Conte masuk bertepatan dengan rampungnya pengerjaan Juventus Stadium di musim 2011/2012. Saat itu pula, Bianconerri sukses mendapatkan Andrea Pirlo secara gratis dari AC Milan serta Arturo Vidal dari Bayer Leverkusen dengan banderol sekitar 10 juta Euro. Scudetto (2011/2012) pertama usai Calciopoli pun kembali ke Turin.
Namun, eks pelatih Bari ini meninggalkan pertanyaan besar, karena nyatanya, walau mendominasi Italia, Juventus era Conte tak mampu berbicara banyak di kompetisi Eropa.
Memasuki musim 2014/2015, tanda-tanda Juventus bakal mengalami kemunduran tercium, setelah Conte memilih menanggalkan posisinya sebagai pelatih kepala yang kemudian digantikan oleh Massimiliano Allegri. Tapi keraguan akan Allegri dijawab tuntas pelatih kelahiran Livorno tersebut.
Juventus meraih Scudetto keempat beruntun dan final Liga Champions untuk pertama kali setelah 1996. Sayangnya kali ini Si Kuping Besar gagal kembali ke Turin karena kehebatan Lionel Messi, Neymar dan Luis Suarez.
Namun tahun ini Juventus kembali menatap Si Kuping Besar setelah maju ke semifinal Liga Champions menghadapi AS Monaco. Skuat Juve kali ini bisa dikatakan yang terbaik dalam kurun waktu satu dekade terakhir usai Calciopoli.
Lini depan Juve yang mengandalkan Gonzalo Higuin, Dybala, Mario Mandzukic dan Juan Cuadrado terbukti merepotkan lawan-lawannya baik di Italia mau pun Eropa. Di lini tengah, Juve menemukan pengganti Pirlo pada diri Miralem Pjanic. Belum lagi, pertahanan kuat berlapis dengan pengamanan gawang oleh Gigi Buffon memperjelas bahwa inilah tahunnya Juve di Eropa.
Jadi, (seharusnya) ini tahun kejayaan Juventus di Eropa.
Author: Syukron Achmad Fadillah