Sosok A memiliki 57 caps dan 25 gol bareng tim nasional, sedangkan sosok B hanya mempunyai 3 caps tanpa sekalipun mencetak gol. Lebih jauh, gelar juara yang didapat sosok A selama aktif bermain jumlahnya sampai lima belas buah sementara sosok B cuma beroleh delapan titel. Jika menemui perbandingan seperti ini, sosok manakah yang kalian anggap lebih sukses, Tribes?
Tak salah jika sosok A merupakan nama yang kalian sebut. Pasalnya, dengan catatan-catatan mentereng tersebut, sosok A memang tampak superior ketimbang sosok B. Realitanya, seperti itulah perbandingan yang sering mengemuka di antara sosok Filippo Inzaghi dan Simone Inzaghi.
Sang kakak, Filippo, adalah figur A yang prestasinya mengilap kala masih aktif merumput. Sebaliknya, Simone yang merupakan figur B sekaligus sang adik, prestasinya terkesan pas-pasan. Tak heran bila mayoritas orang masih menyebut bahwa gambaran karier keduanya ibarat langit dan bumi.
Namun harus diketahui, bahwa itu cuma berlangsung saat mereka masih tampil sebagai pesepak bola profesional. Di tataran yang berbeda, dunia kepelatihan, Simone sama sekali tak inferior dari Filippo.
Memulai karier profesional di tahun 2014 bareng AC Milan (tidak menghitung momen kepelatihan di jenjang Primavera), Filippo digadang-gadang sebagai calon pelatih masa depan hebat Italia. Ia diyakini bisa mengikuti jejak allenatore Chelsea sekarang, Antonio Conte.
Baca juga: “Antonio Conte Sudah Tak Sabar Tinggalkan Chelsea”
Sayangnya, jalan karier Filippo justru berlangsung singkat bersama kesebelasan raksasa Italia yang juga mantan timnya tersebut. Hanya semusim ia menangani Riccardo Montolivo dan kolega serta mengantar mereka finis di posisi sepuluh Serie A 2014/2015 sebelum digantikan oleh Sinisa Mihajlovic untuk musim selanjutnya.
Kegagalan itu disebut-sebut sebagai faktor utama mengapa manajemen I Rossoneri yang punya ekspektasi besar merekrut nakhoda baru. Mujur, Filippo lantas dipinang oleh kesebelasan Lega Pro (setara divisi tiga) yang memiliki ambisi besar untuk naik kasta lagi sampai ke Serie A, Venezia.
Saat ini, Filippo masih membesut kesebelasan yang berkandang di Stadion Pierluigi Penzo itu pada kancah Serie B (untuk sementara bertengger di peringkat delapan serta berpeluang untuk menyabet satu tiket promosi ke Serie A, baik secara otomatis maupun via play-off).
Tak berbeda jauh dengan Filippo, Simone pun mengawali karier kepelatihannya bareng kesebelasan Serie A. Bekas klubnya, Lazio, menjadi pihak yang bersedia untuk menggunakan jasanya sebagai caretaker (sebelumnya berstatus pelatih tim Primavera) sejak bulan April hingga Juni 2016 alias pengujung musim 2015/2016.
Ketika itu, Simone dijadikan suksesor dari Stefano Pioli yang dipecat lantaran keok dari AS Roma di Derby Della Capitale pada 3 April 2016. Walau gagal membangkitkan I Biancoceleste guna merangsek ke papan atas, manajemen Lazio menganggap bahwa Simone amat kapabel untuk dijadikan nakhoda baru di musim berikutnya.
Benar saja, status caretaker yang sebelumnya diemban oleh Simone langsung diubah menjadi pelatih tetap jelang musim 2016/2017. Seolah enggan menyia-nyiakan kesempatan itu, Simone pun berhasil membawa Lazio berada di peringkat lima klasemen akhir Serie A.
Berbekal skuat yang diisi oleh figur-figur seperti Felipe Anderson, Dusan Basta, Ciro Immobile, Sergej Milinkovic-Savic hingga Stefan de Vrij, I Biancoceleste melesat bak roket. Terlebih, ketika itu mereka juga sukses menembus partai final Piala Italia walau harus mengakui ketangguhan Juventus.
Kini, di musim keduanya menjabat sebagai allenatore Lazio, Simone kembali menunjukkan kemampuan apiknya dalam meracik strategi. Hingga tulisan ini dibuat, I Biancoceleste masih ada di posisi lima besar klasemen sementara Serie A dan berpeluang untuk lolos ke Liga Champions pada musim mendatang. Mereka pun sudah menjejak fase perempat-final Liga Europa (akan bersua Red Bull Salzburg).
Taktik Lazio di bawah Simone Inzaghi
Sedari berstatus caretaker, ada cukup banyak pujian yang dihadiahkan kepada Simone terkait kemampuannya meramu strategi. Pasalnya, pria kelahiran Piacenza ini sangat andal buat melakukan penyesuaian taktik kendati ada di tengah laga, baik untuk mengatasi sistem permainan I Biancoceleste yang macet ataupun bentuk antisipasi dari sistem permainan lawan.
Pada musim ini, ada satu pola dasar yang acapkali dipergunakan oleh Simone yaitu 3-5-2. De Vrij menjadi tembok kokoh di lini belakang bersama Bastos dan Stefan Radu. Sementara sektor tengah diisi oleh Lucas Leiva, Marco Parolo dan Sergej serta Senad Lulic plus Adam Marusic pada posisi wingback. Terakhir, duo lini serang bakal ditempati oleh Immobile dan Luis Alberto atau Anderson.
Lewat skema ini, Simone kerap mengandalkan serangan dari sisi sayap maupun tusukan di area tengah. Kedua wingback Lazio akan rajin menusuk ke depan sekaligus membuka peluang.
Bersamaan dengan itu, Sergej yang berperan sebagai gelandang tengah (piawai dalam menjaga bola serta melakukan transisi) juga diminta naik ke depan guna berdiri lebih dekat dengan Alberto/Anderson buat mencecar area halfspace. Permutasi posisi di antara mereka berfungsi untuk mengobrak-abrik konsentrasi bek-bek lawan sekaligus menciptakan ruang bagi Immobile.
Lebih bagusnya lagi, Leiva dan Parolo yang beroperasi di kedalaman juga pandai dalam menginisiasi serangan. Mereka tahu kapan harus mengalirkan bola melalui sayap atau justru memanfaatkan celah-celah yang terbuka di bagian tengah permainan lawan.
Sementara di fase bertahan, pola dasar 3-5-2 Lazio akan berubah menjadi 5-3-2 lantaran dua wingback mereka akan turun jauh. Lini tengah bakal diokupansi oleh trio Leiva, Parolo dan Sergej (yang turun ke belakang). Posisi Immobile dan Alberto/Anderson pada fase ini pun tidak sejajar karena Alberto/Anderson beroperasi sedikit lebih dalam.
Dengan skema tersebut, Simone menerapkan middle block guna meminimalisasi teror apapun yang datang dari musuh. Keberadaan delapan pemain (5-3) sebagai unit di fase bertahan berfungsi untuk mempersempit ruang yang dapat dieksploitasi kubu lawan plus melakukan pressing ketat. Sementara duo penyerang beroperasi di area yang berdekatan guna melakukan pressing sejak bola berada di lini pertama musuh.
Di usianya yang menginjak 42 tahun hari ini (5/4), Simone telah menampilkan potensi besar dalam hal taktik dan strategi. Dengan pengalaman serta pengetahuan yang semakin terasah, Simone adalah satu dari sekian pelatih muda yang patut diperhatikan. Bukan tidak mungkin, bayang-bayang Filippo atasnya bakal lenyap seiring sepak terjang Simone yang makin terang di masa depan.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional