Begitu banyak pemain Arsenal yang mampu memecah opini dari para Gooner, sebutan dari suporter Arsenal. Sebut saja nama-nama seperti Danny Welbeck, Jack Wilshere, Olivier Giroud, atau bahkan Per Mertesacker. Sebagian Gooner akan berpendapat bahwa pemain-pemaain tersebut masih menjadi kepingan penting skuat The Gunners, sebagian lagi berkata bahwa mereka hanya menghabis-habiskan kuota pemain dan gaji, dan akan lebih baik apabila mereka segera hengkang.
Opini yang muncul kerap kali benar-benar bertolak belakang, namun, apabila menyangkut nama Francis Coquelin, kebanyakan pendukung Arsenal memiliki opini yang sama. Hampir tak ada Gooner yang senang apabila Coquelin tertera di daftar starting XI yang ditentukan oleh Arsene Wenger.
Hal ini dikarenakan performa gelandang asal Prancis itu yang dapat dikatakan tak pernah memuaskan. Lantas, mengapa Coquelin kerap kali dimainkan Wenger? Apa benar ia bukanlah pesepak bola yang berkualitas?
Dalam laga di Liga Europa melawan FC Koln, Coquelin diduetkan dengan Mohamed Elneny sebagai dua pivot Arsenal di lini tengah. Keputusan ini berubah menjadi bencana bagi Wenger, karena dengan kedua pemain ini bermain bersama, Arsenal kalah dominan dengan Koln, penghuni dasar klasemen Bundesliga yang baru meraih 2 poin sepanjang musim, di lini tengah.
Tanpa mampu menguasai permainan, Arsenal harus takluk dari tuan rumah, meski pada akhirnya dengan beruntung mampu mengunci posisi pertama di grup mereka. Meskipun begitu, Wenger tentunya menjadi target kritikan karena tak mengubah skema timnya dengan menarik Coquelin, yang entah mengapa, begitu bernafsu untuk mencetak gol dan alpa dengan tugas utamanya di lini tengah.
Coquelin pun tentunya juga tak luput dari kritik keras, yang sebenarnya menjadi membosankan karena hampir tiap kali bermain, pemain bernomor punggung 34 ini selalu ‘ditarget’ oleh suporter timnya.
Yang menarik adalah, Coquelin sempat berpenampilan bagus secara konsisten, dan konsisten menjadi kata kunci di sini, ketika mulai diberikan kesempatan di tim utama Arsenal di musim 2014/2015 lalu. Kala itu, Coquelin yang baru kembali dari masa peminjaman bersama SC Freiburg di Jerman, kembali dipinjamkan ke klub divisi Championship, Charlton Athletic, setelah tak kunjung mendapat kesempatan di tim utama Arsenal.
Namun, masa peminjaman Le Coq di Charlton hanya berlangsung tiga bulan, karena ia dipanggil kembali oleh Wenger di bulan Desember 2014, menyusul krisis cedera di lini tengah Arsenal. Terbukti, keputusan Wenger untuk memanggil Coquelin kembali tepat karena performanya di beberapa laga Arsenal sesudah ia kembali adalah sebuah revelasi yang mengagumkan.
Performanya sebagai gelandang bertahan benar-benar sangat impresif, terutama ketika The Gunners mengalahkan Manchester City, yang menjadi juara di akhir musim, dengan skor 2-0 di Stadion Etihad. Saat itu, Coquelin benar-benar mendominasi lini tengah Arsenal, dan membuat pemain seperti David Silva tak berkutik. Performa Coquelin terus konsisten hingga akhir musim, dan bahkan ia didengungkan untuk menembus timnas Prancis serta menjadi kandidat pemain terbaik Arsenal di musim itu.
Lantas, mengapa performa Coquelin menukik jauh?
Ada beberapa alasan yang masuk akal untuk hal ini. Yang pertama, peran Coquelin di lapangan diubah oleh Wenger. Di musim berikutnya, terlihat beberapa kali Coquelin lebih sering terlibat dalam build-up permainan Arsenal, mencoba menguasai bola di kakinya, dan beberapa kali melakukan operan-operan terobosan baik mendatar maupun melambung.
Hal ini membuat sang pemain tak nyaman, dan berujung pada kesalahan ganjil yang merugikan Arsenal. Yang tak dapat dikesampingkan dari sini adalah fakta bahwa Coquelin adalah pemain yang terbatas. Ia memang mahir dalam melakukan tekel, intersep, atau pun tugas-tugas bertahan lainnya. Namun, mengharapkan ia untuk bermain seperti N’Golo Kante yang juga mampu terlibat dalam penyerangan adalah sebua kesalahan besar.
Level Coquelin memang hanya berada di situ. Terbukti, jika ia diminta untuk terlibat lebih banyak dengan bola, konsentrasinya untuk melakukan tugas bertahan pun akan terganggu. Dilansir dari WhoScored, rerata tekel dan intersep Coquelin dari musim 2014/2015 terus menurun, meskipun rerata operan per laganya meningkat. Ini membuktikan bahwa Coquelin adalah seorang ball winning midfielder yang tugasnya murni bertahan, tak lebih dari itu.
Faktor kedua menurunnya performa Coquelin adalah cederanya Santi Cazorla. Secara keseluruhan, Arsenal memang sangat kehilangan playmaker imut asal Spanyol ini, namun, apabila ada satu pemain yang paling menderita akibat absennya Cazorla, Coquelin-lah orangnya.
Ketika tampil menggila di musim 2014/2015, Cazorla lah yang menjadi partner Le Coq di lini tengah Arsenal. Hal ini memungkinkan gelandang berusia 26 tahun ini untuk fokus ke tugas defensif, karena seorang Cazorla sendiri mampu mengontrol tempo di lini tengah akibat teknik dan inteligensi yang ia miliki.
Apabila diduetkan, mereka akan menjadi pasangan yang luar biasa karena keseimbangan yang mampu mereka tawarkan. Selepas cederanya Cazorla, Wenger tak mampu menemukan partner yang benar-benar mampu memaksimalkan kekuatan Coquelin. Mulai dari Aaron Ramsey, Granit Xhaka, hingga Elneny, tak satupun mampu membentuk duo yang hebat bersama Coquelin. Hal ini disebabkan karena tak satupun dari mereka yang memiliki profil serupa dengan Cazorla.
Hal ini tentu memicu polemik tersendiri bagi Wenger. Apakah setimpal risikonya, terus-terusan memainkan Coquelin yang jelas-jelas terbatas kemampuannya, hanya untuk membuat si pemain senang? Apakah harus, mempertahankan pemain, yang hanya mampu tampil baik jika dipasangkan dengan SATU pemain tertentu? Apakah harus memaksakan Coquelin menjadi seorang pemain dengan tugas lebih, yang memang pada dasarnya sang pemain sendiri tak mampu?
Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket