Cilegon akhirnya mencuri atensi dan desas-desus itu akhirnya terjawab sudah. Minggu pagi ini (28/3), Raffi Ahmad bersama dua koleganya, Rudy Salim dan Wakil Direktur Utama Garuda Indonesia, Donny Oskaria, dikabarkan resmi mengambil alih kepemilikan klub peserta Liga 2 Indonesia, Cilegon United.
Sontak, gebrakan dari Raffi menghiasi headline media hanya dalam sekejap. Meski bukan selebritas pertama yang mengakuisisi sebuah klub sepak bola, sosok Raffi yang merupakan pesohor papan atas Indonesia, tetap saja mencuri perhatian. Apalagi, Raffi mengakuisisi sebuah klub sepak bola, industri yang dalam satu dekade ke belakang, tampak tidak terlalu menjanjikan bagi para investor.
Selebritas kedua di Indonesia yang mengakuisisi klub sepak bola
Seperti kami tulis di atas, Raffi bukan selebritas Tanah Air pertama yang nyemplung ke dunia kepemilikan klub sepak bola. Beberapa tahun lalu, gitaris band ikonik Indonesia, Slank, yakni Abdee Negara, sempat menjadi CEO dari klub asal Sulawesi bernama Celebest FC yang sebelumnya memiliki nama Villa 2000.
Sayang, kala itu prestasi Celebest sebagai klub dari Kota Palu kurang memuaskan karena belum bisa mentas dari kasta paling bawah, Liga 3. Dan seiring dengan prestasi Celebest yang tak jelas, posisi Abdee pun ikut menjadi abu-abu. Sampai detik ini, masih belum jelas apakah Abdee masih menduduki posisi penting di klub tersebut.
Manuver bisnis menarik, tapi akankah menguntungkan?
Di atas kertas, akuisisi Raffi terhadap Cilegon United cukup menarik. Cilegon bukan kota yang punya sejarah sepak bola mendarah daging, walau bukan juga wilayah yang tak punya sejarah sama sekali di sepak bola Indonesia. Sebelum kemunculan Cilegon United, kota yang akrab dengan industri baja ini pernah disinggahi oleh Pelita Jaya yang kalau itu disponsori oleh Krakatau Steel.
Sayang, gairah yang dibawah Pelita ke Cilegon, tak bertahan lama. Hanya kisaran 4 tahun saja (2002-2006), Pelita Krakatau Steel meninggalkan Cilegon untuk hijrah ke kota industri lain, Purwakarta. Sejarah mencatat kemudian, Pelita kini sudah hilang dari sepak bola Indonesia dan melalui perjalanan panjang yang cukup berliku, berganti nama menjadi Madura United dan bermarkas di Pulau Madura, Jawa Timur.
Di Cilegon sendiri, secara infrastruktur, punya kapasitas yang oke, walau tak bisa dibilang fenomenal, seperti yang dimiliki kota seperti Solo atau Sidoarjo, hingga Gresik misalnya. Selain Stadion Krakatau Steel yang juga dimiliki oleh BUMN dengan nama yang sama, ada juga proyek sport center yang rencananya akan dinamai Stadion Seruni, yang nantinya ada di pusat Cilegon Sport Center.
Sayang, pandemi COVID-19 di Indonesia yang berlarut-larut, membuat proyek Stadion Seruni mangkrak.
“Proyek stadion itu sudah dilaksanakan sejak tahun 2016. Sampai tahun 2019, progresnya baru 69,98% atau 70%. Inti pembangunan sudah berbentuk stadion, tinggal finishing,” ujar Kepala Bidang Sarana Prasarana Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kota Cilegon, Eri Indiarti Juwita, dikutip dari Redaksi24.com, Kamis, 16 Juli 2020.
Masih menurut Eri, pembangunan bisa saja akan menyentuh angka 80% jika tahun 2020 lalu, proyek dilanjutkan. Namun karena adanya bencana non-alam berupa COVID-19 ini, pembangunan dihentikan.
“Kebijakan pemerintah anggarannya dikosongkan, jadi otomatis tahun 2020 tidak ada lanjutan pembangunan sport center,” jelasnya.
Dengan sekelumit problematika terkait infrastruktur stadion yang ada di Kota Cilegon, rasa-rasanya itu bisa jadi hal yang patut jadi perhatian utama Raffi Ahmad dan kolega sebagai awalan. Seperti laiknya industri sepak bola lain di negara Eropa misalnya, kepemilikan stadion terbukti manjur mengangkat perekonomian klub, mengingat pemasukan dari ticketing dan tur ke stadion acap kali jadi sumber ekonomi yang lumayan secara komersial.
Cilegon bisa jadi game changer di industri sepak bola Indonesia?
Meski tak menjanjikan seperti Solo yang punya Stadion Manahan atau Sidoarjo dengan Gelora Delta-nya, Cilegon sejatinya tak bisa dipandang sebelah mata. Kendati tak punya tradisi sepak bola yang bagus, tapi secara bisnis, Cilegon bukan kota yang miskin di sektor pendapatan. Meski UMP (Upah Minimum Provinsi) di Banten per 2021 hanya naik 1,5%, kalah jauh dibandingkan dengan Jawa Timur (naik 5,6%) atau Jawa Tengah (naik 3,27 %), namun UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) terbesar di provinsi paling barat Pulau Jawa ini dipegang oleh Kota Cilegon.
Cilegon punya UMK senilai Rp4,31 juta, hanya berjarak Rp100 ribu saja darip UMP milik DKI Jakarta yang ada di angka Rp4,41 juta per 2021 ini. Secara nasional, UMK di Kota Cilegon hanya kalah dari “nama-nama besar” seperti Kabupaten Karawang (Rp4,798 juta), Kabupaten Bekasi (4,791 juta), Kota Bekasi (4,782 juta), DKI Jakarta (4,41 juta), dan Kota Depok (4,33 juta).
Besarnya UMK di Cilegon, bisa menjadi salah satu faktor pendukung bagi Raffi Ahmad dan kolega dalam menjalankan klub secara profesional. Dengan angka UMK di atas Rp4 juta, setidaknya menunjukkan bahwa daya beli masyarakat di wilayah Cilegon masih di atas rata-rata wilayah lain di Indonesia. Sepak bola, yang tentu saja bisa jadi opsi hiburan bagi warga Cilegon, diharapkan akan menjadi game changer di industri sepak bola Tanah Air.
Namun patut diingat, semua pembahasan di atas tidak relevan lagi jika Cilegon United akhirnya berpindah home base, seperti yang biasa dilakukan pemilik baru ketika mengakuisisi sebuah klub di Indonesia. Contoh terbaru, bisa dilihat dari kemunculan Dewa United di Tangerang Selatan, yang awalnya adalah Martapura FC, yang berbasis di Pulau Kalimantan.
Tapi satu yang pasti, Raffi patut ingat baik-baik; mengurus sepak bola di Indonesia tak hanya butuh uang dan modal keberanian saja, tapi juga ‘napas’ yang sangat panjang. Dan napas itu, tak jarang habis di tengah jalan, lalu terengah-engah, dan berujung mati.