Pertengahan tahun 2002 tepatnya di Inggris, salah satu band kenamaan asal Manchester, Oasis, yang dipimpin oleh Noel bersaudara, merilis single kedua mereka untuk album Heathen Chemistry dengan judul Stop Crying Your Heart Out.
Tidak main main, ketika dirilis lagu ini sempat menduduki top chart single UK di urutan kedua, urutan pertama di Italia, lalu masuk di 20 besar negara Belgia, Finlandia dan Norwegia.
Lagu ini menurut pengamat, juga merupakan lagu yang mengembalikan jiwa Oasis seperti dulu kala saat merilis lagu kejayaan mereka.
Stop Crying Your Heart Out senantiasa berkumandang tidak hanya di ajang konser musik, tetapi juga pada sebuah pertandingan sepak bola.
Pada pertengahan tahun juga, tepatnya bulan Mei 2019, pertandingan semi-final play-off Championship EFL mempertemukan Leeds United melawan Derby Country.
Kedua tim sudah berseteru sejak awal musim karena insiden Spy Gate yang dilakukan Bielsa kepada tim asuhan Frank Lampard.
Pertandingan tersebut berakhir 1-0 di leg pertama untuk kemenangan Leeds United. Fans-nya pun merayakan suka cita dengan menyanyikan banter chants menggunakan lagu Stop Crying Your Heart Out, dengan sedikit pengubahan lirik menjadi Stop Crying Frank Lampard.
Tentu saja hal ini membuat tensi di leg kedua semakin panas, dan untuk kali ini Lampard-lah yang berhasil memenangkan pertandingan tersebut.
Namun, keadaan sekarang sedikit berbeda dengan waktu itu. Eks tim asuhan Frank Lampard sekarang sedang atau bisa dibilang ada di posisi yang kurang ideal untuk tim papan atas.
Bagaimana tidak, Chelsea saat ini hanya mampu mengoleksi 29 poin dari total 19 pertandingan Liga Inggris, jumlahnya pun lebih rendah dari musim pertama Super Lamps di Chelsea sebelumnya.
Hal ini menjadi semakin panas, karena tekanan publik dan fans yang semakin banyak untuk Lampard. Ia dinilai tidak mampu mengangkat tim asuhannya.
Dengan bujet transfer yang melimpah di awal bursa transfer musim ini, Chelsea menjadi tim paling royal di kala klub lain menghemat pengeluarannya saat pandemi.
Ekspektasi pun semakin tinggi, karena pemain yang didatangkan cukup mentereng rekam jejaknya.
Sebut saja Thiago Silva, pemain kawakan asal Brasil ini sangat berpengalaman dan di musim sebelumnya tampil sebagai kapten PSG pada pertandingan final UCL.
Lalu ada duo Jerman, Timo Werner dan Kai Havertz. Dua pemain yang selalu digadang gadang sebagai calon bintang selanjutnya untuk timnas Jerman karena penampilan mereka yang menawan di dua musim terakhir Bundesliga.
Selanjutnya Hakim Ziyech, pemain asal Maroko yang long pass-nya akurat. Juga ada Ben Chillwel dan Edouard Mendy untuk menambah kekuatan di lini belakang.
Kebijakan transfer Chelsea musim ini mengingatkan kita seperti bermain gim FIFA ataupun Football Manager, yang bisa mendatangkan banyak pemain bintang dalam satu musim.
Tapi, alih-alih memenuhi ekspektasi manajemen dan fans, sampai paruh musim berjalan pun rasa-rasanya masih jauh dari apa yang diharapkan.
Padahal, di musim sebelumnya Lampard tidak diberikan keleluasaan jual beli pemain, karena embargo transfer dan baru saja kehilangan salah satu pemain terbaiknya, Eden Hazard. Meski begitu ia mampu membawa Chelsea finis di zona Liga Champions.
Namun sekarang, akibat rentetan hasil buruk dari pertengahan Desember sampai Januari ini, kisah cinta Lampard dan Chelsea pun harus berakhir.
Sedih dan kecewa memang, tetapi manajemen Chelsea dan Roman Abramovich tidak punya banyak piihan juga.
Frank Lampard mungkin pergi dengan kondisi yang kurang baik, tapi apa yang ditinggalkannya untuk penerusnya adalah skuat muda dengan potensi yang sangat berbahaya.
Banter chants Stop Crying Frank Lampard, rasanya cocok untuk kondisi Super Lamps sekarang.
Lalu kini muncul pertanyaan, mampukah Lampard kembali melatih tim lain dengan keadaan seperti yang ia lakukan kala menangani Derby County, dan menyanyikan dengan riang Stop Crying Frank Lampard? Hanya waktu yang akan menjawab.
*Penulis adalah pegawai freelance asal Jakarta Timur. Penikmat film dan musik. Bisa disapa di akun twitter @i_gof