Suara Pembaca

Teknologi dan Evolusi Perangai Penggemar Sepak Bola

Imbas kekalahan dari rival serumpun tersebut adalah pemecatan sang juru taktik Simon McMenemy dari kursi kepelatihan timnas Indonesia. Sesungguhnya tak hanya kekalahan yang membuat Simon McMenemy mesti tergusur dari kursi kepelatihan timnas Indonesia, justru sikap para fans di media sosial yang membuat McMenemy terdepak.

Pasca hasil minor melawan Malaysia dan deretan kekalahan pada laga-laga awal Kualifikasi Piala Dunia 2022 Qatar, mereka menyerbu laman media sosial PSSI dengan menyerukan tagar #SimonOut berdasar analisa postingan akun-akun sepak bola lokal di Instagram dan potongan rekaman pertandingan yang hanya menunjukkan sepertiga kondisi laga sebenarnya.

Para “fans medsos” inilah seolah memiliki legitimasi kepakaran dalam dunia sepak bola untuk menetukan nasib seorang pelatih, alih-alih menyelamatkan keterpurukan timnas Indonesia, sikap mereka di media sosial membuat kondisi timnas makin terpuruk baik secara teknis maupun mental.

Perangai para digital-native khususnya pecinta akun-akun sepak bola ‘terkurasi’ ini menunjukkan jika perangkat teknologi kekinian tak melulu mengarahkan umat manusia pada kemapanan informasi, justru sebaliknya memperlihatkan kepandiran generasi modern dalam mencerna dan mengunyah kubangan data yang terkumpul di internet.

Isu yang terpenting saat ini adalah bahwa internet benar-benar merubah cara manusia membaca, berargumen, bahkan corak berpikir. Mungkin yang paling menggelisahkan adalah internet membuat manusia menjadi makin ganas dan berpikir pendek. Masalah dari komunikasi dan informasi yang kilat adalah kecepatannya itu sendiri.

Kadang-kadang manusia perlu berhenti sejenak dan berefleksi, untuk memberikan waktu pada dirinya sendiri agar mampu menyerap dan menggali informasi, namun sebaliknya internet dan media sosial memberikan ruang bagi orang-orang untuk bereaksi tanpa berpikir. (The Death of Expertise, Tom Nichols, 111-112:2017)

Watak arogan dan sumbu pendek yang menjadi corak penggemar sepak bola saat ini khususnya di media sosial. Selain ditopang oleh tumbuh suburnya konsumsi informasi berita kilat melalui teknologi.

BACA JUGA: Sepak Bola, Media Sosial, dan Pelecehan Seksual

BACA JUGA: Benarkah Kecanduan Media Sosial Daring Memengaruhi Performa Pemain?

BACA JUGA: Tentang Keriuhan Sepak Bola di Media Sosial

Impuls lain adalah matinya gudang data lawas seperti tabloid atau majalah yang rajin mempresentasikan info sepakbola secara mendalam, baik analisa pertandingan, sejarah derby sepak bola, atau sekadar trivia pada sudut kecil halamannya.

Tentu tabloid Bola yang paling diingat, edisi terakhirnya pada tanggal 26 Oktober 2018, menjadi sinyal bahwa akselarasi teknologi tak bisa dielak. Weshley Hutagalung selaku Pimred Tabloid Bola dan wartawan sepak bola kawakan memberikan semacam maklumat perpisahan di halaman pertama edisi pamitan kepada penikmat setianya selama kurang lebih 34 tahun.

“Setelah menemani pembaca di tanah air dan menjadi pengawas sekaligus partner bagi pengambilan kebijakan olahraga nasional sejak Maret 1984, Tabloid Bola milik Kompas Gramedia akhirnya harus menemui ujung perjalanan, kami pamit.”

Bukan mencoba untuk glorifikasi generasi, namun bagi penggemar sepak bola angkatan 90-an hingga 2000-an awal rutinitas membaca tabloid, koran, dan menyaksikan acara sepak bola pagi yang tentunya telah melewati tahap kurasi dan penyuntingan ketat dari meja editor menjadi kebiasaan yang lumrah.

Dan hal itu membentuk sikap dan perangai penggemar sepak bola di era tersebut menjadi lebih analitik dan cermat. Sebaliknya, generasi yang dikatakan paling mapan dalam segala lini, cenderung tumpul dan terperdaya oleh algoritma internet yang hanya menganggap fans sekedar kumpulan angka pengikut dalam akun medsos sepak bola abal-abal.

Penulis edang menyelesaikan misi tugas akhir sembari mencari sesuap nasi pada korporat. Belakangan tertarik pada isu relasi antara sepak bola dan teknologi.