Aria Wiratama Yudhistira dalam bukunya Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an sempat menyentil situasi unik yang terjadi di Indonesia pada 1970-an awal, yakni persoalan rambut yang begitu personal, nyatanya juga ikut diurusi negara.
Dalam tulisan ini, saya ingin memberikan sebuah contoh kasus di mana “dilarang gondrong” juga menimpa ikut menimpa nasib seorang pesepak bola. Namun, cerita ini tak terjadi di Indonesia, melainkan di negara yang punya banyak kemiripan dengannya dalam hal sepak bola yakni Brasil.
Kecuali prestasi timnas masing-masing di level timnas tentunya, nyatanya situasi sepak bola kedua negara yang secara sosioekonomi masuk dalam kategori negara berkembang ini tak jauh beda. Apalagi kisah ini sedikit banyak relevan karena di masa itu kedua negara berada di bawah kendali rezim militer.
Bedanya dengan Indonesia, situasi di Brasil pada kurun waktu 1964-1985 tidak hanya dipimpin oleh satu presiden yang sama selama periode junta militer. Terdapat enam Jendral yang berkuasa. Salah satunya adalah Emilio Garrastazu Medici yang menjabat sejak 1969 hingga 1974.
Thomas Skidmore dalam The Politics of Military Rule In Brazil 1964-1985 menyebutkan bahwa di awal masa kepemimpinan Medici, Brasil mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat hingga 10%. Dan salah satu faktor yang mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi tersebut adalah adanya “stabilitas politik” dalam negeri.
Kondisi yang dimaksud berhasil dicapai karena pemerintah melakukan berbagai tindakan represif dan otoriter seperti penyensoran media, penangkapan para demonstran, intervensi terhadap dunia kampus, dan lain sebagainya. Tidak terkecuali pada dunia sepak bola.
David Goldblatt dalam Futebol Nation The Story of Brazil Through Soccer menyebutkan bahwa Medici ikut memanfaatkan sepak bola untuk menciptakan “stabilitas politik” tersebut sekaligus membangun ide besar Brasil Grande kepada rakyatnya.
Maka, sepak bola yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan keseharian masyarakat Brasil pun ikut diintervensi. Contohnya adalah perjalanan Tim Samba di Piala Dunia 1970.
Medici, misalnya, ikut terlibat dalam menentukan komposisi skuad. Ia memecat pelatih Joao Saldanha yang telah bertugas selama masa kualifikasi. Alasannya, selain karena Saldanha adalah seorang komunis.
Ia menolak memanggil pemain favorit Medici: Dario alias Dada. Tak hanya itu, Medici juga menempatkan beberapa tentara seperti Jeronimo Bastos sebagai manajer dan Claudio Coutinho sebagai kepala pelatih fisik.
Kita tahu, Brasil menjadi juara di Piala Dunia 1970, maka kesuksesan ini pun dijadikan Medici sebagai justifikasi dari berbagai tindakan otoriternya tadi.
Dalam sebuah acara penyambutan tim sepulangnya dari Meksiko di Istana Negara, Medici menyebutkan bahwa baginya, kunci keberhasilan tim nasional mereka terletak pada kombinasi kemampuan teknik para pemain, persiapan fisik, dan… moral.
Ya, moral yang dimaksud oleh Medici merujuk pada attitude para pemain yang patuh, manut, dan tidak banyak bertingkah. Kondisi yang tentu saja tercipta karena adanya kendali secara otoriter, salah satunya lewat ancaman pencoretan. Hal yang diakui oleh salah seorang pemain, Paulo Cezar.
Namun, terlepas dari pro kontra yang ada, gelar Piala Dunia 1970 ini tetap saja merupakan sebuah bukti kesuksesan. Maka tak pelak, saat itu, kultur otoriter seperti ini pun berkembang di sepak bola Brasil secara keseluruhan. Dan salah satu klub yang menerapkannya adalah Botafogo.