Hendro Kartiko memang dikenal sebagai salah satu penjaga gawang terbaik yang pernah membela Merah Putih. Namun jauh sebelum kiprahnya harum mewangi menjadi salah satu legenda Timnas Indonesia, Hendro hanyalah penjaga gawang kampus.
Lahir di Banyuwangi, Jawa Timur, 47 tahun silam. Ia mengawali karier di tim sepak bola Universitas Muhammadiyah Jember. Adalah sosok pelatih senior Ruddy Keltjes yang pertama kali menemukan bakat mantan pemain kelahiran 24 April 1973 ini.
Kala itu Hendro Kartiko bersama PS UNMUH Jember mewakili Jawa Timur untuk turnamen Pekan Olahraga Mahasiswa yang diadakan di Medan, Sumatra Utara pada 1993. Selepas turnamen itu, bakatnya tercium oleh pelatih senior, Ruddy Keltjes.
Ruddy yang kala itu aktif sebagai pencari bakat-bakat muda untuk mengikuti seleksi Mitra Surabaya tak sungkan melatih langsung penjaga gawang yang kerap mengenakan celana panjang itu.
Singkat cerita Hendro Kartiko lantas bergabung dengan Mitra Surabaya dan menjadi penjaga gawang ketiga di tim tersebut. Di musim 1995/1996, Hendro mulai mendapat menit bermain dan berhasil membawa Mitra Surabaya tembus ke babak semi-final Liga Indonesia.
Tahun 1996, Hendro mampu mempersembahkan emas untuk Jawa Timur di Pekan Olahraga Nasional. Menariknya di tahun yang sama, Hendro terpilih masuk ke dalam skuad timnas Indonesia di Piala Asia 1996 di Uni Emirat Arab. Melakoni debut di turnamen yang sama, Hendro memasuki lapangan di menit ke-66 menggantikan Kurnia Sandy yang mengalami cedera.
Sayang, sempat ada bau tak sedap di tengah kisah Hendro Kartiko yang harum mewangi bersama timnas Indonesia. Ya, kiprahnya harus sedikit ternoda saat ia dicemooh suporter sendiri terkait peristiwa sepak bola gajah di Piala Tiger 1998.
Tampil apik sepanjang babak grup, timnas Indonesia dinilai tak serius kala bersua Thailand demi menghindari Vietnam di babak semi-final. Alhasil Indonesia kalah 3-2 dari Gajah Putih lewat gol bunuh diri aneh Mursyid Effendi di akhir pertandingan.
Gol tersebut dinilai sebagai gol yang aneh karena Effendi secara sadar menendang bola ke gawang sendiri yang saat itu dikawal Hendro. Hasilnya Indonesia memang terhindar dari Vietnam di semi-final namun tetap kalah 2-1 dari Singapura yang membuat langkah Garuda terhenti.
Sesampainya di tanah air, cemoohan menghujani mantan pemain Persid Jember ini. Sempat merasa terguncang mentalnya, Hendro perlahan mulai bangkit sedikit demi sedikit. Peristiwa sepak bola gajah antara Indonesia dan Thailand di Piala Tiger 1998 membawa kenangan pahit tersendiri bagi Hendro Kartiko.
Beruntung ia bisa bangkit kembali, kepindahannya dari Mitra Surabaya ke Persebaya Surabaya pun menajdi salah satu tonggak kisah Hendro Kartiko yang kembali harum mewangi. Setelah menjadi pelapis Kurnia Sandy, ia kemudian menjadi andalan Merah Putih untuk dua Piala Asia berikutnya di tahun 2000 dan 2004 yang masing-masing diselenggarakan di Lebanon dan China.
Menariknya, Hendro Kartiko sempat dijuluki sebagai Fabian Barthez-nya Indonesia. Julukan itu didapat Hendro di Piala Asia 2000 tepatnya saat bertemu Kuwait di pertandingan pertama. Penampilan heroiknya yang mampu nirbobol sepanjang laga membuatnya dinobatkan sebagai pemain terbaik di pertandingan tersebut.
Di masa itu pula, nama penjaga gawang Prancis, Fabian Barthez sedang tenar-tenarnya. Karena Hendro dan Barthez memiliki kesamaan fisik, yakni sama-sama plontos, maka muncullah julukan Fabian Barthez dari Indonesia kepada Hendro Kartiko.
Di level klub, Hendro malang melintang di klub-klub lokal Indonesia. Menjadi juara Liga Indonesia bersama PSM Makassar di tahum 1999/2000 dan Persebaya di tahun 2004, Hendro juga sempat memperkuat PSPS Pekanbaru, Arema Malang, Persija Jakarta, Sriwijaya FC, sebelum memutuskan gantung sarung tangan bersama Mitra Kukar di tahun 2012.
Hendro Kartiko sanggup membuktikan diri bahwa dari level rendah pun, ia tetap bisa terbang ke level tertinggi. Putra Banyuwangi yang dulunya hanyalah penjaga gawang kampus itu berkat kejelian Ruddy Keltjes menjelma sebagai salah satu legenda dan penjaga gawang terbaik yang kisahnya harum mewangi bersama Ibu Pertiwi.