Suara Pembaca

Menyusuri Jejak Evolusi Kiper (Bagian Pertama)

Menjadi seorang kiper barang kali adalah posisi dalam sepak bola yang paling tidak diinginkan oleh pemain di masa kecilnya. Bagaimana tidak? Ketika orang-orang bermain sepak bola karena senang menendang bola dan mencetak gol, tapi seorang kiper justru harus rela minim sentuhan kaki dengan dan lebih banyak memegang bola.

Kurang lebih kalau seseorang senang bermain bola dengan tangan, mungkin ada baiknya jadi pemain bola basket atau bola voli, bukan?

Asmir Begovic pernah menyatakan perasaannya sebagai kiper, kepada Bleacher Report.

“Menjadi kiper itu berbeda. Semua orang mengatakan kami gila atau semacamnya, tetapi ini lebih kepada kami bekerja di bawah tekanan yang berbeda dan berpikir tentang pertandingan secara berbeda.”

Dari sekian banyak posisi dan peran dalam sepak bola, barang kali kiper adalah posisi yang paling stagnan perubahan taktiknya. Baru di tiga dekade terakhir saja terjadi perubahan yang agak signifikan.

Peran utama seorang kiper pun tidak akan pernah berubah, menepis dan menangkap bola sepakan lawan. Bandingkan dengan bagaimana penyerang dalam skema false nine, tidak menjalankan tugas utama untuk mencetak gol, melainkan cenderung untuk menarik bek.

Definisi tradisional kiper tidak akan pernah berubah, dan kemampuan tangan kiper adalah kemampuan utama yang wajib dimiliki penjaga gawang.

BACA JUGA: Ferry Rotinsulu, Sang Momok Algojo Penalti

Schmeichel sangat dihormati karena kemampuannya

Peraturan baru dan evolusi awal

Tahun 1992, muncul sebuah aturan baru dalam sepak bola yang membuat perubahan besar, yakni aturan Backpass. Sebelum munculnya aturan ini, kiper dapat dengan bebas menerima operan rekan setim dengan menangkap bola.

Munculnya aturan ini membatasi itu. Kiper dilarang menyentuh bola dengan tangan jika menerima operan kaki dan lemparan ke dalam dari rekan setim.

Terdengar sederhana, tapi efek pendeknya menyebabkan kekacauan bagi banyak kiper, dan efek panjangnya menciptakan evolusi kiper.

Aturan backpass ditengarai muncul akibat Piala Dunia 1990 yang dijuarai Denmark, dinilai membosankan. Rata-rata gol per laga hanya 2,2 gol (sebagai perbandingan, Piala Dunia 1994 rata-rata 2,71 gol/laga dan Piala Dunia 2018 rata-rata 2,67 gol/laga).

Sebagian tim memilih membuang-buang waktu setelah menang dengan melakukan backpass ke kiper, ditangkap, dioper ke bek, backpass lagi, dan seterusnya. Di bawah ini adalah video timnas Denmark yang memainkan backpass di Piala Eropa 1992.

Para kiper yang sangat tidak nyaman dengan bola dipaksa untuk beradaptasi. Tahun pertama di Liga Primer Inggris terjadi kekacauan kiper yang tidak biasa. Para kiper sangat panik ketika bola dioper oleh rekan setim.

Ada yang tidak sengaja menyentuh bola (berujung tendangan bebas di dalam kotak penalti), ada juga yang dengan nekatnya coba mengontrol bola tapi berujung blunder, atau bek yang ragu-ragu mengoper ke kiper sampai bolanya dicuri penyerang.

Kebanyakan kiper pilih membuang bola ke pinggir lapangan jika terpaksa menerima bola operan rekan setim. Sebagian kalangan menyebut kalau ini salah satu titik awal melemahnya Liverpool.

BACA JUGA: Liverpool Mendekati Sempurna, tapi…

The Reds salah satu klub tersukses Liga Primer Inggris dengan 18 gelar, terakhir kali juara liga domestik di musim 1989/1990, dengan mengandalkan taktik buang waktu seperti Denmark 1992. Semenjak berlakunya aturan ini Liverpool belum sanggup mengulang prestasi yang sama.

Efek jangka panjang lahirnya aturan ini adalah munculnya kiper-kiper dengan kemampuan kaki yang lebih baik. Kiper-kiper dilatih untuk lebih nyaman dengan kaki, minimal mampu menguasai bola operan dan menendang jauh ke depan.

Salah satu yang paling cepat beradaptasi adalah kiper Manchester United, Peter Schmeichel, yang direkrut tahun 1991 dan menjadi kiper terbaik Eropa pada 1992 dan 1993. Ia menjadi kiper legendaris MU dan bagian dari masa kejayaan The Red Devils di Eropa tahun 1998.

Bertahun-tahun setelahnya, perubahan peran kiper kembali stagnan. Kiper-kiper mulai mampu dan terbiasa menahan dan menendang bola jauh. Namun, baru seperti itu saja.

Johan Cruyff

Peran Pep dan Cruyff

Tahun 2008, Pep Guardiola diangkat menjadi manajer Barcelona. Setelahnya, semua jejaknya adalah sejarah besar bagi sepak bola modern. Pep adalah mantan anak asuh Johan Cruyff, dan mengakui bahwa Cruyff adalah sosok yang unik.

“Tanpanya (Cruyff), saya tidak akan berada di sini (posisinya sekarang), seorang manajer Manchester City dan sebelumnya Bayern dan Barcelona,” kenang Pep.

Pep barang kali tergila-gila dengan filosofi sepak bola Cruyff, terutama ide melibatkan semua pemain dalam permainan, atau mungkin lebih tepatnya dalam build-up play serangan.

Ketika pertama dilatih Pep, kiper Barcelona saat itu, Victor Valdes, menganggap Pep mungkin sedikit gila. Instruksinya jelas. Ketika mendapat bola, oper saja ke bek tengah. Ini merupakan bentuk sederhana dari melibatkan kiper dalam build-up play.

Bertahun-tahun setelahnya, Valdes semakin nyaman dengan bola dan semakin nekat. Dalam dua pertandingan El Clasico tahun 2011 ia melakukan blunder dari penguasaan bolanya itu, tapi itu tidak membuatnya berhenti belajar, sebab jelas itu instruksi Pep.

Valdes merupakan salah satu aktor awal terbentuknya evolusi kiper, meskipun namanya tidak terus bersinar sampai akhir kariernya. Sebab, kiper asuhan Pep selanjutnya mencatatkan prestasi yang amat gemilang.

BACA JUGA: Victor Valdes, Dipuja di Spanyol tapi Terabaikan di Inggris

Peran baru kiper ini disebut sebagai sweeper-keeper. Karakter utamanya adalah kepercayaan diri untuk tidak selalu menggunakan tangan dan memiliki ketenangan di kaki. Kiper ini biasanya bagus akurasi umpannya dan mampu mendistribusikan bola dengan baik.

Ada perdebatan mengenai siapa sweeper-keeper pertama dalam sepak bola. Ada yang menyebut Lev Yashin, seorang kiper legendaris Uni Sovyet periode 1960-an adalah yang pertama. Ia dikenal dengan kemampuannya meninggalkan area penalti dan membantu timnya melakukan build-up, yang memungkinkan rekan-rekan setimnya dapat maju dengan intensitas dan arah yang jauh lebih banyak. Nama lain yang disebut adalah Leigh Richmond Roose pada akhir abad 18.

Akan tetapi, generasi terkini lebih mengenal predikat ini melekat ke kiper Bayern Muenchen, Manuel Neuer. Penampilan Neuer pada laga Jerman vs Aljazair pada Piala Dunia 2014 menggambarkan sedemikian tinggi kenyamanan kakinya pada bola.

Neuer mengejutkan jutaan penonton dengan kemampuan kakinya bekerja. Pada laga itu ia melakukan 59 sentuhan (21 di antaranya di luar kotak penalti) dan mengoper bola 32 kali. Lebih banyak dari pencetak gol, Andre Schuerrle, yang saat itu mengoper bola 21 kali.

Neuer dikenal seperti bek tambahan bagi timnya, karena kemampuannya menguasai bola dan tekelnya. Pada masa-masa itu tidak banyak ditemui kiper dengan kemampuan ini, jadi mungkin Neuer-lah yang mendorong kiper-kiper muda untuk melakukannya sebaik bahkan lebih baik dari dirinya.

Tahun 2014, Neuer meraih peringkat tiga di Ballon d’Or, di bawah Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Lima tahun kemudian kiper-kiper bertipe ini sudah banyak beredar di bursa transfer, dan menjadi incaran klub-klub besar.

(Bersambung ke bagian dua)

*Penulis adalah mahasiswa di Bandung yang langit sorenya mendung dan mencintai Chelsea. Bisa disapa di akun twitter @mhafidzff