Nostalgia Cerita

I Putu Gede, Legenda Bali yang “Bukan” dari Pulau Dewata

Bukan, ia bukan I Putu Gede Juni Antara. Nama lengkapnya adalah I Putu Gede Swi Santoso. Fisiknya tangguh, bangun tubuhnya kokoh, membuatnya jadi andalan tak tergantikan di sektor ruang mesin tim. Tenaganya yang berlipat dan kepemimpinannya yang kuat, menjadikan namanya sebagai sosok kapten yang disegani.

Tak perlu pintar untuk sekilas berpikir bahwa I Putu Gede adalah pria berdarah Bali. Namun hal yang unik dari eks kapten Arema Malang ini adalah bagaimana ia lahir dan besar di Surabaya, Jawa Timur, serta tak sekali pun di sepanjang kariernya, mantan gelandang bertahan Timnas Indonesia ini membela panji klub-klub asal Pulau Dewata.

Lahir 1 Desember 1973, di Surabaya, I Putu Gede dilahirkan oleh kedua orangtua dari Bali yang merantau ke timur Jawa. Kelak, tanah kelahirannya itu pula membuat karakternya lebih seperti orang Jawa dibanding orang Bali. Tegas dan tanpa kompromi, ia menegaskan statusnya kala itu sebagai salah satu gelandang bertahan terbaik di Indonesia.

Sepanjang kariernya, ia memang lekat dengan tim asal Jawa Timur. Sejumlah tim dari provinsi itu diperkuat olehnya seperti Deltras Sidoarjo, Persekabpas, Persebaya, dan tentu saja Arema. Meski begitu, Putu Gede juga sempat mencicipi karier bersama tim luar Jawa Timur seperti Persita dan Persija. Namun di Jawa Timur-lah, namanya harum mewangi.

Di Deltras, ia menjadi kapten tim dalam skuat yang kala itu bisa dibilang bertabur bintang. Deltras pada tahun 2003 memang diperkuat banyak bintang, salah satunya Budi Sudarsono dan pemain asing top, Adolfo Souza. Namun, sinar paling terang sang gelandang tangguh berpendar di Bumi Arema.

Dibesut tangan dingin pelatih ikonik, Benny Dollo, dan diperkuat deretan pemain kaliber Timnas Indonesia, Singo Edan merajai sepak bola Indonesia. Di tahun 2005 dan 2006, dipimpin I Putu Gede, Arema sukses dua kali beruntun menjuarai Copa Dji Sam Soe (kini Piala Indonesia) usai mengalahkan Persija (di tahun 2005) dan Persipura (di tahun 2006).

Kemenangan atas Persija mungkin yang paling berkesan, karena laga sengit kala itu berkesudahan 4-3. Firman Utina memang mencuri atensi dengan hattrick, namun Putu Gede-lah yang memimpin keseimbangan tim Singo Edan kala berhadapan dengan deretan bintang-bintang Persija kala itu seperti Ismed Sofyan, Hamka Hamzah, Lorenzo Cabanas, Francis Wewengkang, hingga sang penyerang legendaris, Kurniawan Dwi Yulianto.

I Putu Gede gantung sepatu pada tahun 2012 lalu, dengan catatan 19 caps bersama Timnas Indonesia dan tergabung dalam skuat Piala Tiger 2002 serta Kualifikasi Piala Asia 2004. Usai gantung sepatu, karier kepelatihan pun ia lanjutkan dan nuansa Jawa Timur masih terasa di karier manajerialnya. Tercatat, ia pernah membesut Persipro, PSBK Blitas, Persibo hingga kini berlabuh di klub tetangga Surabaya, Putra Sinar Giri (PSG) di Gresik.

Namanya tak populer, perannya pun kerap tak menonjol jika kita tak menonton dengan cermat, namun semasa bermain, I Putu Gede adalah salah satu gelandang bertahan terbaik dengan visi bermain jempolan yang pernah dimiliki Indonesia.