Suara Pembaca

Mengenang Romansa Kejayaan Barcelona di Wembley (Bagian 2)

Ini adalah final yang berkesan bagi pelatih Pep Guardiola. Edisi final Wembley (lama) 1992, Guardiola tampil sebagai pemain Barcelona. Final edisi 2011, ia kembali ke Wembley, tetapi sebagai pelatih Barcelona.

Ia punya peluang untuk menyamai rekor mentornya, Johan Cruyff, yang menjuarai Liga Champions Eropa sebagai pemain dan pelatih.

Di antara riuh suporter yang memadati Stadion Wembley, Guardiola seakan-akan sedang mencium aroma kejayaan yang pernah (dan akan) ia hirup dari rerumputan Stadion Wembley.

28 Mei 2011, Barcelona dan MU kembali bertemu di final Liga Champions Eropa. Dalam perjalanan menuju final, Barcelona mengandaskan Arsenal di babak 16 besar, menang telak dengan agregat 6-1 melawan Shaktar Donetsk di perempat-final, dan memenangi El Clasico di semi-final.

Sementara MU, perjalanan mereka ke final tidak begitu sulit. Di atas kertas, hanya Chelsea yang menjadi lawan terberat mereka.

The Red Devils menang tipis atas Marseille di babak 16 besar, mengalahkan Chelsea dua leg sekaligus, dan pesta gol melawan Schalke dengan agregat mencolok 6-1.

BACA JUGA: Rotasi Penyerang, Kunci Treble Winners Manchester United 1998/1999

Duel final kali ini tentunya menyedot perhatian para penikmat bola. Kenangan akan kejayaan Barcelona di Stadion Olimpico masih segar di kepala. Kala itu mereka berhasil menundukan MU dengan skor meyakinkan, 2-0.

Barcelona tentunya ingin mengulang kejayaan tersebut, sementara MU yang mengusung pembalasan dendam tidak ingin dipecundangi untuk kedua kalinya. Mereka cukup beruntung karena bermain di “tanah sendiri”.

Di pinggir lapangan, tampak Sir Alex Ferguson terlihat begitu elegan, khas orang Inggris dengan setelan jas dan bunga berbentuk mawar di dadanya. Mulutnya sibuk mengunyah permen karet.

Di sisi tribun lain, para cules tanpa segan membentang poster besar juga membentuk mozaik biru merah. Sejak pluit dibunyikan, Barcelona mulai unjuk gigi.

Di area tengah, trio Xavi-Busquets-Iniesta bergerak bebas dalam menghadapi Michael Carrick dan Ryan Giggs. Lionel Messi yang cenderung bergerak bebas menggempur dari segala sisi terlalu licin untuk dikawal dua raksasa MU, Vidic dan Ferdinand.

Alves dan Abidal rajin membantu serangan di sisi sayap. Sementara di lini belakang, Pique dan Mascherano gagah membentengi Victor Valdes di bawah mistar dalam menghadapi pergerakan liar Wayne Rooney dan Javier ‘Chicharito’ Hernandez.

BACA JUGA: Chicharito, Jaminan Mutu Pendulang Gol dan Sukses Komersial