Jejak langkah itu bergelut dan menerjang lereng Rinjani tanpa ampun, menuruni tapak sunyi, menuju lapangan sepak bola yang entah kondisinya miring, bergelombang, beradu dengan belukar atau malah memanfaatkan embung yang mengering ketika kemarau.
Sepak bola adalah komoditi utama ketika sore, ketika pulang dari kerja entah berkebun maupun kantoran di daerah Tanjung maupun Gangga.
Bukannya memilih menggunakan waktu istirahat untuk tidur, sebagian besar dari mereka malah memilih untuk main bola.
Mengisi dan memenuhi lapangan-lapangan seluruh penjuru Lombok Utara, Kayangan hingga Pamenang, tanpa terkecuali.
Pemuda desa menggunakan jersi kebanggaan mereka, lengkap dengan sepatu bola dan pul-pulnya yang menonjol seakan siap untuk menancap di tanah dingin khas pegunungan.
BACA JUGA: RB Leipzig, Klub Kecil dengan Mimpi Besar
Lapangan laksana rapat raksasa, para anak-anak menonton dengan riuh, ibu-ibu menyuapi anak-anaknya dan seakan menjadi medan magnet bagi para penjaja jajanan.
Kala laga usai, di musim penghujan, tuak manis adalah teman. Kala kemarau datang, sate tanjung menjadi kawan.
Bukankah itu merupakan sebuah gambaran suasana sore yang sewajarnya terjadi di tanah Ibu Pertiwi ini?
Lombok Utara adalah kabupaten termuda di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Lombok Barat.
Lahir pada tahun 2008, kabupaten ini terus memoles diri laiknya sebuah manusia yang baru lahir ke bumi. Melewati berbagai proses, mulai dari merangkak hingga kini menjadi berdiri dengan tegak.
Hal ini seirama pula dengan perkembangan sepak bola di Kabupaten Lombok Utara. Ketimbang daerah lain, Lombok Utara bisa dikatakan jauh tertinggal ketimbang “sang kakak”, Lombok Barat dengan Perslobar.
Ada pula nun jauh di seberang pulau, Pulau Bima, dengan Persebi yang digdaya dalam rayon Nusa Tenggara Barat.
BACA JUGA: Iker Casillas: Sebuah Nama, Sebuah Cerita