Editorial

Jati Diri Bangsa Kita Bukan Liga Inggris, tapi Liga Tarkam

Tayangan Liga Inggris jadi kambing hitam diberhentikannya Helmy Yahya dari jabatan Direktur Utama TVRI. Dewan Pengawas menyebut Liga Inggris tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia.

Pernyataan Dewan Pengawas itu sontak langsung menuai banyak kecaman dari masyarakat. Sangat banyak yang tidak terima Liga Inggris dipersoalkan dan membawa istilah jati diri bangsa, karena toh kenyataannya dengan Liga Inggris justru masyarakat Indonesia bisa bersatu. Setidaknya selama 90 menit waktu normal.

Suatu hari saya pernah naik KRL, yang kebetulan, kebagian gerbong bagus. Ada layar iklan di tengah gerbongnya, dan ada suaranya. Tidak semua gerbong KRL punya fasilitas ini, cuma sebagian saja. Tapi seperti nasib layar iklan pada umumnya, benda ini nggak pernah digubris orang. Cuma didengerin biar nggak sepi aja.

Sampai akhirnya, ada satu tayangan yang membuat pandangan orang-orang mengarah ke benda kotak itu seketika. Tayangan yang sangat khas, dengan suara komentator dan teriakan suporter.

Apa lagi kalau bukan tayangan sepak bola. Cuplikan gol Liga Inggris tepatnya, yang menampilkan gol-gol Liverpool lawan Manchester City. Ini pertandingan yang dimenangkan The Reds 3-1, dan sehabis laga banyak fans Liverpool yang nge-tweet “This is our year!

BACA JUGA: Liverpool Mulai Sering Win Ugly

Tayangan itu cuma highlight, yang durasinya mungkin nggak sampai 3 menit. Tapi dari durasi yang singkat itu, bisa mengalihkan perhatian orang ke layar iklan. Sampai mas-mas dengan starter pack penumpang KRL berupa masker, headset, dan gawai yang dipegang dua tangan, menengok ke layar iklan. Entah dia memang suka bola atau penasaran doang.

Itu baru highlight. Bayangkan kalau TV di KRL menayangkan siaran langsung Liga Inggris. Bisa jadi tempat nobar baru ini gerbong KRL, sampai-sampai masinisnya ikut nonton.

Daya pikat sepak bola untuk menyita atensi banyak orang memang luar biasa kuat. Di tengah kantuk yang melanda waktu sahur, Piala Dunia bisa memecah keheningan. Di tengah sibuknya rutinitas harian, acara nobar bisa jadi hiburan. Bahkan di tengah panasnya situasi politik negara, Asian Games 2018 bisa jadi pendingin suasana.

Sementara itu Liga Inggris, yang diakui sebagai liga terbaik di dunia walau tanpa pemain terbaik dunia, adalah liga yang paling banyak ditonton saat ini. Tak perlu data statistik, lihat saja keadaan sekitar.

Hari gini, mana ada orang rela begadang nonton Barcelona vs Granada di dini hari, kecuali fans-nya Barca tentu saja. Hari gini, mana ada orang mau bayar belasan ribu rupiah plus mengorbankan kuota buat nonton Bologna vs Sassuolo?

Tapi kalau Liga Inggris, walaupun cuma Derbi London Utara yang klubnya di papan tengah semua, ramainya penonton Indonesia bukan main. Dari jauh-jauh hari jadwal dicari, dari beragam sumber statistik dikulik, dan dari media-media massa prediksi diamini.

Liga Inggris punya daya tarik yang tinggi untuk menyatukan massa. Suporter, media, penjaja makanan, barista, driver ojol, mereka mendadak bisa satu suara membahas topik yang sama sewaktu Liga Inggris main.

Kalau masih kurang, saya kasih contoh lagi. Ada mbak-mbak Open BO di twitter yang Selasa malam (21/1) menawarkan jasanya, dengan numpang di hestek #jadwalligainggris.

BACA JUGA: Miguel Almiron, Replika Santiago Munez di St. James’ Park

Indonesia mengakui jati diri bangsanya adalah Pancasila. Gubernur DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, pernah menegaskan hal ini di tahun 2017, dalam sambutan tertulis Hari Kesaktian Pancasila di Kabupaten Sleman.

“Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk,” ucap Sri Sultan, dikutip dari Media Indonesia.

Pancasila berisi lima sila yang (seharusnya) selalu dijunjung tinggi dan diamalkan dalam keseharian orang Indonesia. Liga Inggris, dalam hal ini bisa menceminkan sila ketiga. Tayangannya bisa mempersatukan sebagian rakyat Indonesia, ketika liga dalam negeri justru memecah belah.

Lantas, kenapa Dewan Pengawas bergeming kalau Liga Inggris bukan cerminan jati diri bangsa? Hmm… mungkin ada liga lain yang lebih mencerminkan jati diri bangsa Indonesia.

Tarkam, jati diri bangsa kita

Indonesia negara yang tak pernah sepi dari konflik. Rakyatnya mengkritisi kinerja pemerintah, tapi dia SIM-nya nembak. Sedangkan pemerintah meminta rakyatnya introspeksi, tapi dianya sendiri penuh kontroversi.

Sifat saling menyalahkan seakan tumbuh alami dalam diri orang-orang Indonesia. Di sepak bola antarkampung (tarkam), cerminan itu terlihat jelas. Sudah jamak terjadi di tarkam, tim yang menghalalkan segala cara untuk menang, tapi kalau dia sendiri yang dicurangi, merasa jadi korban paling tersakiti sedunia akhirat.

Intrik-intrik di tarkam juga terjadi di luar lapangan. Sudah jadi rahasia umum kalau di tarkam ada oknum-oknum pengelola yang memanfaatkan momen tertentu, demi meraup pundi-pundi uang sebanyak mungkin.

Bahkan itu belum termasuk pertikaian suporter, kalau ada yang tidak terima timnya kalah. Misalkan suporter tidak bentrok, pemain di lapangan yang berkonflik.

Sisi menariknya, seburuk apapun citra tarkam, penontonnya tetap banyak. Sekeliling lapangan dipenuhi lautan manusia, dan motor berdesakan di parkiran dengan aturan tak tertulis: jangan kunci stang.

Ya, begitulah suporter Indonesia. Sudah tahu akan dikecewakan, berpeluang dicurangi, bahkan disakiti, tapi tetap datang menyaksikan pertandingan. Kalau kata Editor JawaPos, Mohammad Ilham, suporter Indonesia itu masokis.

Jadi kalau penjelasannya begini, rasanya tak heran Dewan Pengawas menyebut Liga Primer Inggris tidak sesuai jati diri bangsa. Kecuali, jika nanti ada klub yang mogok main karena golnya dianulir VAR.