Shopee Liga 1 2019 memang bukan iklim yang cocok untuk perkembangan pelatih. Total dari 18 pelatih di awal musim, sudah sembilan pelatih yang tercatat harus angkat koper dari timnya. Itu berarti hanya setengah dari pelatih yang mampu bertahan menukangi timnya dari awal musim hingga saat ini.
Padahal liga sendiri belum memasuki paruh musim. Masih ada beberapa pekan sebelum putaran kedua berlangsung. Jika melihat tren pemecatan pelatih yang sedang berlangsung, tentu tak tertutup kemungkinan adanya nama lain yang harus lengser.
Padahal dari sembilan nama pelatih yang harus lengser di awal, tak sedikit yang sebenarnya mampu menampilkan permainan yang baik bagi timnya. Ambil contoh Alfredo Vera. Pelatih asal Brasil ini terpaksa dilengserkan setelah timnya mengoleksi 17 poin hasil dari empat kemenangan dan lima hasil imbang.
Sebuah prestasi yang tak buruk mestinya, mengingat tim Bhayangkara FC yang tiap musim selalu menjadi tim kuda hitam, banyak kehilangan poin ketika melawan tim besar seperti Arema FC atau PSM Makassar. Tapi tetap ia tak lepas dari bayang-bayang pelengseran.
Pun sama halnya dengan Djadjang Nurdjaman. Nakhoda Persebaya Surabaya ini juga sebenarnya tak tampil buruk. 18 poin bagi Persebaya setelah musim sebelumnya berhasil mengangkat prestasi Bajul Ijo yang masih tim promosi harusnya sesuatu yang luar biasa bagi Bonek Mania. Namun ia justru bernasib sama dengan pelatih-pelatih lain seperti Alfredo Vera.
Baca juga: Lempar Boneka: Upaya Bonek Melawan Stigma
Jika melihat dari perkembangan liga di tiga tahun terakhir, mungkin nama Jacksen F. Thiago bersama Barito Putera adalah satu-satunya nama yang pantas mengalami pelengseran. Pelatih berpengalaman ini pertama kali menangani Laskar Antasari dua musim silam di GOJEK Traveloka Liga 1 2017. Saat itu ia diserahi proyek jangka panjang untuk menjadikan tim Barito Putera juara liga di tahun ketiganya.
Tahun ini, di tahun ketiganya bersama Barito, ia gagal mengangkat performa timnya. Maka wajar jika manajemen terpaksa memberhentikannya.
Namun untuk pelatih lain? Daripada langkah yang tepat, kebanyakan justru lebih layak disebut terburu-buru.
Ada pelatih yang baru beberapa pekan menukangi tim, ia dihentikan karena tidak menunjukkan performa yang bagus. Sebut saja Persija Jakarta. Sepeninggal pelatih Stefano Cugurra untuk menukangi Bali United, tim Macan Kemayoran sempat ditukangi oleh Ivan Kolev. Namun karena permainan yang tak kunjung membaik, ia terpaksa digantikan pelatih asal Spanyol, Julio Banuelos.
Julio yang baru beberapa pekan menukangi Persija Jakarta pun saat ini sudah mendapatkan desakan dari suporter setelah tak kunjung kembali ke performa terbaiknya.
Tuntutan dari suporter inilah yang terkadang membuat pelik situasi pelatih. Terkadang manajemen lebih mengikuti desakan suporter daripada membiarkan tim pelatih terus beradaptasi dengan pemain. Padahal apabila berganti pelatih lagi, para pemain juga harus kembali beradaptasi dengan pola permainan yang baru, yang tentu membutuhkan waktu lagi untuk beradaptasi.
Hal inilah yang terkadang luput dari pemahaman banyak suporter dan manajemen. Banyak yang tak mampu menikmati proses adaptasi, dan segera mendesak pelatih untuk berbuat sesuatu, entah itu dari atas tribun atau dari balik meja manajemen.
Padahal apabila dibandingkan dengan tim top Eropa seperti Liverpool, mereka membutuhkan empat tahun lamanya untuk menuai prestasi bersama Juergen Klopp. Di awal kepemimpinannya ia hanya mampu membawa The Reds bercokol di posisi tengah. Bukan sesuatu yang membanggakan untuk tim papan atas sekaliber Liverpool.
Akan tetapi saat itu jarang (atau bahkan tidak ada) suporter Liverpool yang mendesak pelatih keluar, karena mereka semua paham, bahwa untuk meraih sebuah prestasi dibutuhkan proses. Sesuatu yang sekali lagi saya tegaskan tak dimiliki oleh banyak orang di Indonesia.
Beberapa dari kita mungkin beranggapan bahwa terlalu jauh untuk kita membandingkan diri dengan tim Eropa. Tapi justru karena itulah kita sulit untuk mencapai kemajuan yang berarti.
Kita terlalu takut untuk membandingkan diri dengan mereka yang jauh lebih maju, tanpa menyadari bahwa banyak hal yang bisa dipelajari dari sebuah perbandingan. Seperti kasus pemecatan pelatih ini saja, membandingkan tim Liverpool dengan tim di Indonesia sedikit banyak akan membukakan mata kita terhadap pentingnya menghargai proses.
Kembali ke topik, menghargai sebuah proses tentu tidak mudah. Harus menanti beberapa tahun untuk menuai hasil ketika tim rival berhasil mengangkat piala, tentu bukan sesuatu yang mudah untuk pendukung suatu tim.
Apalagi ketika proses tersebut ternyata berujung mengecewakan, seperti yang telah dialami Barito Putera bersama Jacksen F. Thiago. Namun hal tersebut tentu lebih layak dilakukan daripada mengambil pelatih dalam jangka pendek hanya untuk memecatnya lagi apabila performa tim turun sesaat.
Tak mudah memang, namun dari situlah kita belajar. Kita semua akan belajar, bahwa di satu pertandingan kita tak hanya harus siap menang, tapi juga harus siap kalah. Banyak suporter yang tak memiliki kesiapan untuk melihat timnya gagal menang. Tentu, karena semua orang jelas menginginkan kebanggaanya selalu menang. Namun reaksi ketika gagal meraih kemenangan itu lah yang mestinya dibenahi.
Lihatlah ketika tim besar sekaliber Persib Bandung atau Arema FC ketika bermain di kandang. Apabila mereka meraih kemenangan, seluruh stadion akan bersorak untuk mereka. Namun apabila gagal meraih kemenangan, maka banyak hal mengerikan yang bisa terjadi.
Baca juga: Gerak Cepat Maung Bandung Berburu Pemain
Teriakan pemain out, pelatih out, atau manajemen out, boikot untuk laga kandang selanjutnya, penyalaan flare, bahkan hingga aksi memasuki lapangan oleh suporter masih sering dilakukan.
Kejadian seperti itulah yang kerap kali ditakutkan oleh pihak manajemen. Ketimbang meraih gelar juara atau bersaing di papan atas, manajemen lebih takut terhadap kelakuan suporter yang tak dapat menerima hasil lain selain kekalahan.
Maka dari itu wajar apabila satu hasil seri terkadang membuat manajemen mengultimatum pelatih terhadap ancaman pemecatan. Lebih baik menjadikan pelatih kambing hitam dan memecatnya daripada mendapat amukan dari suporter yang dapat membuat manajemen lebih merugi.
Fenomena ini tentu tidak bagus untuk iklim sepak bola kita. Tidak banyak pelatih yang dapat menunjukkan hasil secara cepat. Apabila setiap sedikit kegagalan langsung mendapat ultimatum, itu akan membuat proses perkembangan pelatih dan juga seisi tim menjadi lebih sulit, dan hal tersebut dapat mengakibatkan turunnya standar kepelatihan di Indonesia.
Tentu ini bukan sesuatu yang kita semua inginkan, bukan?
*Penulis merupakan seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang gemar menganalisis sepak bola Indonesia. Bisa dihubungi di ID LINE: achmzulfikar