Suara Pembaca

Membandingkan Tiga Tim Asuhan Robert Rene Alberts

Paruh pertama Shopee Liga 1 2019 benar-benar menjadi awal yang buruk bagi Persib Bandung. Dari sebelas laga awal yang mereka jalani, Maung Bandung hanya berhasil membukukan 13 poin, hasil dari tiga kali kemenangan, empat hasil seri, serta menderita lima kekalahan.

Padahal, tim ini diharapkan dapat berbicara banyak di liga domestik musim ini, mengingat mereka tengah ditangani oleh pelatih sarat pengalaman dari Belanda, Robert Rene Alberts.

Pelatih yang selalu tampil dengan topi khasnya tersebut memang bukan pelatih sembarangan. Di tahun 2010, ia berhasil membawa Arema FC meraih gelar juara liga yang saat itu masih bernama Liga Super Indonesia. Padahal sebelum ia masuk tim, Singo Edan saat itu dilanda krisis keuangan yang membuat mereka dikaitkan untuk merger dengan beberapa tim.

Selain prestasi tersebut, coach Robert juga berhasil menempatkan PSM Makassar sebagai kesebelasan tangguh yang selalu berada di papan atas liga dalam dua musim terakhir, termasuk posisi dua di GOJEK Liga 1 2018.

Akan tetapi di Persib Bandung, coach Robert seakan menemukan dinding besar. Posisi 11 dalam 12 laga awal Maung Bandung seperti tidak menunjukkan kualitas tim yang ditangani oleh sang meneer. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan, kenapa Maung Bandung di tangan meneer tidak bisa seperti Singo Edan maupun Juku Eja saat ditangani oleh orang yang sama?

Baca juga: Transisi Buruk Persib, Virus yang Menular

Jika dilihat dari formasi yang diterapkan coach Robert di ketiga tim, tak ada perbedaan yang mencolok sebenarnya. Ia selalu memainkan formasi 4-4-2 yang dapat dinamis berubah menjadi 4-2-3-1. Akan tetapi, terdapat perbedaan pemahaman pemain terhadap strategi meneer di tiga tim tersebut. 

Pertama, mari lihat posisi dua jangkar lini tengah ketiga tim. Ketika coach Robert menangani Arema, ia berhasil menduetkan gelandang yang saat itu masih muda, Ahmad Bustomi, dengan pemain asing asal Uruguay, Esteban Guillen.

Di PSM, meneer melakukan hal serupa dengan menduetkan pemain dari negaranya, Marc Klok, dengan pemain lokal serba bisa, Rizki Pellu. Sementara di Persib Bandung, pelatih asal Belanda ini menyerahkan peran sentral lini tengah secara bergantian pada Hariono dengan Rene Mihelic, atau Hariono dengan Kim Jeffrey Kurniawan.

Sudah melihat perbedaannya?

Jika belum, mari kita perjelas. Di Arema dan PSM saat ditangani coach Robert, dua jangkar mereka memiliki kualitas setara dalam hal bertahan maupun menyerang. Rizki Pellu dan Ahmad Bustomi bisa dibilang pemain dengan tipe yang sama. Sosok pemain tengah yang keras ketika bertahan, tapi memiliki kemampuan umpan yang bisa sangat memanjakan lini depan tim.

Baca juga: Sebuah Tafsir untuk Dedik Setiawan, Sang Pembelah Ruang

Begitu pula dengan pemain asing. Kedua pemain yang dipercaya sebagai pengatur tempo saat itu, bermain dengan cantik dan pintar. Mereka tahu kapan harus umpan langsung ke depan, kapan harus melebar, kapan harus kembali ke belakang, atau bahkan kapan harus melakukan shoot. Sebab sejatinya, mereka juga diberkahi dengan kualitas tendangan bebas ciamik.

Bandingkan dengan Persib Bandung saat ini. Kombinasi Hariono-Rene Mihelic atau Hariono-Kim Jeffrey Kurniawan bukan kombinasi pas yang diinginkan coach Robert.

Mihelic adalah seorang gelandang serang, sehingga ketika didapuk sebagai pengatur tempo, posisi yang ia ambil tentu akan berada di depan Hariono. Ini membuat tiap serangan balik dari lawan akan langsung berhadapan dengan Hariono, yang tak mungkin bisa menutup semua area tengah yang ditinggalkan Mihelic dengan baik.

Sementara Kim, mungkin ia bisa berperan sebagai gelandang jangkar dengan baik, tapi ketika memainkan Kim bersama dengan Hariono, maka tak ada yang bisa mengatur tempo lini tengah, karena kedua pemain memang hanya berperan sebagai jagal lini tengah, tapi ia tak bisa membangun permainan.

Apabila kedua tim bermain bersamaan, maka aliran bola dari tengah menuju depan pun kerap dilakukan dari posisi Bojan Malisic tanpa melalui lini tengah. Tentu hal ini memudahkan lini pertahanan lawan mematahkan serangan Persib.

Selain itu, mungkin banyak yang menganggap kebengalan striker Ezechiel N’Douassel sebagai faktor penurunan performa juga. Emosi yang meluap-luap dari juru gedor berpostur tinggi besar ini dianggap bisa memecah konsentrasi kawan. Namun hal tersebut tak sepenuhnya benar. Noh Alam Shah ketika berada di Arema FC pun tak kalah Bengal dari Eze, tetapi striker asal Singapura ini tetap bisa mencetak banyak gol untuk kemenangan tim.

Apabila ditelusuri lebih lanjut, suplai bola terhadap lini depan bisa menjadi salah satu biang kerok kegagalan Persib Bandung saat ini. Febri Haryadi dan Ghozali Siregar mungkin bisa menusuk dengan baik, merepotkan pertahanan lawan. Namun kualitas umpan silang mereka sangat mengecewakan, membuat N’Douassel jarang mendapatkan bola bagus.

Kualitas kedua sayap Persib pun masih kalah dengan dua fullback Supardi Nasir dan Ardi Idrus yang menyokong dari belakang. Hal tersebut tentu kerugian tersendiri bagi sang juara Liga Indonesia 2014.

Baca juga: Mengejar Lawan Seperti Ardi Idrus

Sedangkan ketika melihat Arema serta PSM saat ditangani meneer, mereka memiliki pemain sayap dengan kualitas umpan mumpuni. Singo Edan ditopang kompatriot Noh Alam Shah dari Singapura, M. Ridhuan, serta gelandang lokal berbakat, M. Fachruddin. Sementara Zulham Zamrun dan M. Rahmat menjadi andalan bagi Juku Eja. Keberadaan pemain sayap dengan kualitas umpan menjanjikan, tentu akan memudahkan pemain depan mencetak gol.

Pastinya coach Robert tak dapat serta-merta disalahkan atas masalah tersebut, karena Robert sendiri datang ke Persib hanya seminggu menjelang liga dimulai. Pemain yang ia dapatkan pun bukan pemain pilihan sang meneer langsung, melainkan warisan Milijan Radovic sebagai pelatih sebelumnya. 

Dengan liga yang menyisakan beberapa laga sebelum bursa transfer dibuka kembali, tentu Maung Bandung harus sedikit bersabar dengan sang meneer. Apabila ia dapat menyusun skuat sesuai dengan kemampuan yang ia inginkan, tentu coach Robert dapat meracik strategi lebih baik dari saat ini. Arema FC serta PSM Makassar sudah merasakan tangan dingin dari coach Robert. 

Sekarang pertanyaannya, seberapa lama Maung Bandung dapat bersabar dengan sang meneer?

 

*Penulis merupakan seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang gemar menganalisis sepak bola Indonesia. Bisa dihubungi di ID LINE: achmzulfikar