Berbicara penampilan Arema FC di tahun 2019 ini memang tidak ada habisnya. Tim berjuluk Singo Edan yang secara materi pemain, baik pemain lama maupun penggawa anyar, ini tidak memiliki kedalaman skuat yang baik dan sempat diragukan mampu bersaing dalam perebutan gelar juara. Tapi secara mengejutkan, berhasil memenangi turnamen pra-musim bergengsi, Piala Presiden 2019
Pencapaian itu membuat skuat asuhan Milomir Seslija menjadi kembali diperhitungkan di papan atas Shopee Liga 1 2019.
Meskipun saat liga baru dimulai mereka mengalami dua kekalahan tandang beruntun, tim kebanggaan warga Malang ini secara perlahan mampu menunjukkan kualitas permainan mereka. Empat kemenangan dan tiga kekalahan dari tujuh laga memang bukan hasil yang memuaskan bagi Singo Edan, tetapi konsistensi permainan yang mulai ditunjukkan membuat tim kebanggaan Aremania ini bisa sedikit bernapas lega.
Tiga kemenangan beruntun menjadi bukti peningkatan performa Hamka Hamzah dkk. Lalu apa rahasia di balik meningkatnya performa Arema FC selama ini?
Jika berbicara tentang yang ada di dalam lapangan, tentu hal paling menonjol dari permainan Arema FC adalah ketajaman lini depan. 13 gol dari tujuh laga dengan rataan 1,85 gol dicetak tiap pertandingan, menjadi bukti lini depan mereka patut ditakuti di Shopee Liga 1 2019.
Singo Edan hanya kalah dari PS TIRA-Persikabo dengan rataan 2,11 gol per laga dan Madura United dengan 22 gol tiap pertandingan. Sebuah statistik yang kian menahbiskan lini depan mereka sebagai salah satu yang terbaik.
Dengan adanya duet striker lokal Dedik Setiawan dengan mantan top skor GOJEK Traveloka Liga 1 2017, Sylvano Comvalius, ditambah distribusi bola yang matang dari playmaker asing Makan Konate, membuat semua tim harus waspada ketika bertemu dengan Arema.
Banyak pengamat maupun pelatih yang mungkin berpikir bahwa nyawa Arema FC ada di Konate. Jika dapat mematikan pergerakan pemain yang menjuarai Liga Indonesia 2019 ini, mereka berpikir permainan Arema bisa diredam. Itulah yang kerap menjadi serangan balik bagi mereka saat menghadapi Arema FC.
Kenapa? Karena Arema FC tidak selalu bergantung pada Konate. Memang suplai bola selalu dimulai dari pemain asal Mali itu, tapi pemain lain pun dapat membangun serangan sama baiknya dengan Konate. Sebut saja Dendi Santoso. Winger yang sepanjang kariernya belum pernah meninggalkan Singo Edan ini juga sering menjadi penyuplai bola ketika pergerakan Makan Konate diredam lawan.
Bisa dibilang Dendi Santoso adalah shadow playmaker bagi Arema FC. Pergerakannya tidak se-eksplosif Dedik Setyawan maupun Sylvano Comvalius, tapi umpan akurat, pergerakan tanpa bola, dan kombinasi dengan fullback Alfin Tuasalamony di sisi kanan dapat menjadi kejutan dari serangan armada Milo Seslija. Satu gol dan satu asis telah dipersembahkan putra daerah Malang tersebut.
Selain Makan Konate dan Dendi Santoso, masih banyak pemain yang bisa membangun serangan. Fullback John Alfarizie dan Alfin Tuasalamony, pergerakan tak terduga dari Hanif Sjahbandi, hingga overlap dari kapten Hamka Hamzah, kerap menjadi pembeda di lapangan.
Tambahkan sosok Ricky Kayame dan Rivaldi Bawuo di bangku cadangan mereka. Komposisi ini membuat Singo Edan dapat mencetak gol dari berbagai sisi. Kiri, kanan, tengah, luar kotak penalti, hingga tendangan bebas bisa menjadi senjata bagi mereka. Bisa dibilang lini depan Arema FC adalah salah satu yang paling komplet di Liga 1 2019.
Lini belakang tak berdaya
Namun berbanding terbalik dengan lini depan yang digdaya, lini belakang justru tak berdaya. Sebelas gol bersarang ke gawang bukan angka yang bagus untuk tim Singo Edan. Transisi dari menyerang ke bertahan menjadi sorotan di balik buruknya performa lini belakang ini. Lebih dari setengah gol yang tercipta ke gawang Singo Edan selalu lahir dari serangan balik cepat.
Duo fullback Alfarizie dan Alfin yang gemar membantu serangan tidak diikuti dengan transisi ke bertahan yang baik. Duet gelandang Hanif Sjahbandi dan Hendro Siswanto yang kerap dimainkan pun tidak bisa menambal sisi yang ditinggalkan fullback dengan baik. Tusukan sayap cepat selalu membuat pertahanan yang digalang Hamka Hamzah menjadi kedodoran.
Mental penjaga gawang Singo Edan juga sering menjadi sorotan. Inkonsistensi dari dua penjaga gawang muda, Kurniawan Kartika Ajie dan Utam Rusdiana masih menjadi masalah. Memang semenjak ditinggal kiper terbaik mereka, Kurnia Meiga Hermansyah yang cedera pada tahun 2017, sektor ini masih menjadi masalah mendasar dari kubu Arema.
Akan tetapi dua hal tersebut justru bukan masalah utama. Masalah utama dari pertahanan Arema FC adalah kedalaman skuat mereka.
Baca juga: Apakah Sylvano Masih Mamayo?
Ya, berbeda dari lini depan yang memiliki banyak opsi mumpuni, lini belakang Singo Edan justru penuh lubang. Duo Hamka Hamzah dan Arthur Cunha hanya memiliki pelapis Ikhfanul Alam. Alfin Tuassalamony dan Ahmad Alfarizie di sektor bek sayap juga hanya memiliki Ricky Ohorella dan Agil Munawar sebagai pelapis mereka.
Dalam sebuah kompetisi yang berjalan panjang, jumlah pemain pelapis tersebut tentu tidak bisa dibilang mumpuni. Apalagi semua pelapis adalah pemain muda yang belum bisa menunjukkan konsistensi permainan.
Ikhfanul Alam contohnya. Mantan pemain Bhayangkara FC yang bermain menggantikan Arthur Cunha kala menjamu Persipura Jayapura tersebut harus mengakhiri laga dengan sebuah kartu merah. Otomatis di pertandingan selanjutnya dua pemain bertahan Arema FC tidak memiliki pelapis di bangku cadangan. Kondisi-kondisi yang menyebabkan Arema FC kehilangan amunisi di lini belakang inilah yang harus diantisipasi.
Sebenarnya Arema FC juga masih memiliki simpanan pemain asing, Pavel Smolyachenko. Pemain berposisi gelandang bertahan ini dapat ditarik menjadi bek tengah apabila keadaan darurat. Akan tetapi nampaknya coach Milomir Seslija masih belum berani mempercayakan posisi itu pada Pavel, mengingat performa buruknya di awal Piala Presiden 2019 lalu.
Oleh karena itulah tim pelatih Arema FC harus bekerja keras mengatasi masalah ini. Gradasi yang cukup nyata dari lini depan ke lini belakang tentu dapat dimanfaatkan lawan yang mengandalkan serangan balik cepat.
Sebuah tim yang kuat tentu harus memiliki kualitas sepadan di semua lini. Apabila masalah ini tidak segera diatasi, bersaing di papan atas tentu menjadi lebih susah bagi sang jawara Piala Presiden 2019.
*Penulis merupakan seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang gemar menganalisis sepak bola Indonesia. Bisa dihubungi di ID LINE: achmzulfikar.