Cerita

Apakah Sylvano Masih Mamayo?

Dia telah kembali. Sang predator ganas yang mencetak 37 gol di edisi perdana Liga 1 dan memecahkan rekor gol Peri Sandria dalam semusim, kembali ke Indonesia usai bertualang sejenak di Thailand dan Malaysia. Dialah Sylvano Comvalius, yang membuat Iwan Sukmawan tak henti-hentinya berteriak “mamayo” tiap gol tercipta.

Arema FC menjadi klub baru Comvalius di musim 2019. Ekspektasi besar dalam sekejap hinggap ke pundak pemain yang perawakannya mirip Alexandre Lacazette itu. Sebagai mantan top skor Liga 1, ia diharapkan mampu mempertajam taring Singo Edan yang baru saja menjuarai Piala Presiden 2019.

Tapi masalahnya, dalam setahun terakhir jumlah golnya merosot drastis, bahkan bisa dibilang menguap. 37 bola yang ia jaringkan di liga domestik selama tahun 2017, tak sedikitpun terulang ketika ayah satu anak ini merantau ke Thailand dan Malaysia.

Jadi, apakah Sylvano masih mamayo? Atau masihkah ia super seperti selebrasi Superman-nya dulu?

Baca juga: Perihal Ketajaman Sylvano Comvalius: Tiga Alasan

Masa-masa awal Comvalius bermain di Arema FC akan sangat menentukan. Sebagai mantan top skor, tuntutan untuk mencetak gol dari suporter maupun tim akan sangat besar. Ini bakal berbeda dari apa yang dirasakan Comvalius di masa awal berkarier bareng Bali United, karena saat itu ia datang berstatus “bukan siapa-siapa”.

Terlebih di Arema FC ia akan menghadapi tantangan lain berupa perbandingan dengan para juru gedor asing Singo Edan sebelumnya. Apakah ia setajam Emalue Serge? Apakah bisa seganas Franco Hita? Atau apakah secerdik Cristian Gonzales?

Sejak berakhirnya era keemasan Cristian Gonzales, Arema FC kehilangan masa-masa indah bersama striker kelahiran luar negeri. Singo Edan kemudian mengakalinya dengan meroketkan Dedik Setiawan, kemudian menduetkannya dengan Rivaldi Bawuo musim lalu. Hasilnya memang tidak mengecewakan, tapi tetap saja sang singa butuh taring impor.

Baca juga: Bhayangkara FC dan Tonggak Awal Kemunculan Dedik Setiawan

Untungnya bagi Comvalius, ia sudah terbiasa dengan tantangan. Di masa kecilnya ia bahkan sudah bersusah payah mencari uang tambahan dengan menjadi pramuniaga toko sepatu dan pencuci mobil, agar punya dana yang cukup untuk pergi latihan.

Kemudian naik-turun performa di awal karier juga sempat dialaminya, tapi sanggup dilewati dengan manis. Jadi top skor di Liga Super Malta, bermain di Liga Europa 2010/2011, tampil di DFB-Pokal, dan mencatatkan rekor gol semusim di Liga Indonesia.

Secara mental, Comvalius sudah teruji. Tapi secara performa, perlu kembali diuji.

Situasinya mirip dengan para pemain asing lawas yang kembali ke Liga Indonesia di era Liga 1. Seperti Srdjan Lopicic dan Ilija Spasojevic di musim 2017, kemudian diikuti Zah Rahan, Makan Konate, Balsa Bozovic, Gustavo Lopez, dan lain-lainnya di musim 2018.

Ada yang kembali bersinar seperti Spaso dan Konate, tapi juga tak sedikit yang semakin meredup seperti Bozovic dan Gustavo Lopez.

Kontrak dua tahun merupakan jangka waktu yang panjang bagi Comvalius di Arema FC. Tapi mengingat klub-klub Indonesia bisa sewaktu-waktu kehilangan kesabaran, Comvalius harus waspada. Jika tak kunjung tokcer, pemutusan kontrak mengintai, sebaliknya jika gelontoran gol lancar maka pujian demi pujian akan dituai.

Jadi, ke kelompok mana ComvaLion akan bergabung? Ke Konate dan kawan-kawan atau ke Gustavo Lopez beserta rekan-rekannya?