Cerita

Sejarah, Kekerasan, dan Sepak Bola

Sejarah manusia adalah sejarah peperangan. Sering kali gesekan kecil sudah mampu membuat konflik berkepanjangan. Perang saudara hingga pertumpahan darah bagai hal biasa.

Bahkan agama, hal paling suci dan pada hakikatnya pembawa damai, bagi sebagian orang dapat dijadikan alasan untuk saling menyakiti. Seolah-olah tidak ada kesempatan untuk dunia ini benar-benar dalam keadaan damai walau sekejap saja.

Hal serupa nampak terjadi di sepak bola. Seolah kekerasan, pertikaian, bentrokan, hingga jatuhnya korban jiwa sulit dijauhkan dari sepak bola. Dalam catatan sejarahnya, setidaknya di sepak bola Indonesia, dari tahun ke tahun selalu saja terdapat noda merah.

Menurut catatan Litbang Save Our Soccer (SOS), terhitung sejak tahun 1994 hingga akhir tahun 2018 sedikitnya 76 orang kehilangan nyawa di sepak bola. Di dunia yang mungkin mereka cinta. Dari jumlah tersebut sebagian besar diakibatkan beragam tindak kekerasan.

Baca juga: Para Suporter yang Meregang Nyawa Akibat Rivalitas Persib dan Persija

Mengutip bola.kompas.com, 22 orang tewas akibat pengeroyokan, 14 orang akibat tusukan benda tajam, 11 orang akibat pukulan benda keras, 6 orang akibat terinjak-injak, masing-masing 2 orang akibat jatuh dari tribun dan gas air mata, masing-masing 1 orang akibat petasan dan penembakan, sedangkan 17 orang terjatuh dari kendaraan. Jumlah korban sedemikian banyak masih belum termasuk korban luka dan lainnya.

Dari tahun ke tahun harapan keadaan sepak bola akan lebih baik selalu dilambungkan. Setiap jatuhnya korban, diharapkan akan jadi korban yang terakhir. Akar-akar masalah yang ada coba diurai. Kampanye damai terus didengungkan. Tindakan tegas yang diharap memberi efek jera juga telah dilakukan. Namun senasib dengan dunia ini, nampak belum ada kesempatan untuk benar-benar damai di sepak bola.

Musim ini saja Shopee Liga 1 2019 telah dibuka dengan pertikaian. Entah apa sebabnya, suporter PSS Sleman dan suporter Arema saling lempar. Korban berjatuhan, bahkan pemain muda PSS Sleman harus terluka dan harus beristirahat sejenak dari sepak bola. Belum lagi korban luka lain yang tak sedikit.

Musim lalu bisa dibilang salah satu musim kelam. Seorang pencinta sepak bola asal Jakarta meregang nyawa di Kota Kembang. Tujuan awal kedatangannya hanya ingin menyaksikan klub kebanggaan berlaga. Namun apa daya, rivalitas panas merenggut nyawanya.

Baca juga: Forum Komunikasi Suporter Indonesia Tanggapi Insiden Haringga Sirila

Caranya pun begitu keji. Pemuda yang datang seorang diri, dikeroyok beramai-ramai. Dipukul, ditendang, diinjak-injak, bahkan diperlakukan dengan cara yang tidak pantas disebutkan.

Masih di musim yang sama, bentrok lain terjadi di Yogyakarta. Suporter Persija Jakarta dan Persebaya Surabaya saling berhadapan di Stadion Sultan Agung, Bantul, hingga memaksa pertandingan sepak bola yang sesungguhnya harus tertunda.

Musim sebelumnya, Banu Rusman, suporter Persita Tangerang, meregang nyawa usai dihabisi gerombolan suporter PSMS Medan.

Musim sebelumnya lagi, bentrok besar terjadi di Jakarta. Suporter  yang sedang bersuara menuntut keadilan, dihajar pihak keamanan. Ini lebih mirip seperti perang. Polisi berseragam lengkap saling buru dengan suporter yang memberontak usai menerima serangan.

Pun dengan tahun-tahun sebelumnya. Ada saja bentrok yang terjadi. Selalu saja ada korban yang berjatuhan.

Baca juga: 5 Rivalitas Suporter Liga Indonesia yang Berhasil Didamaikan

Perang dalam sepak bola

Sebenar-benarnya perang dalam sepak bola terjadi di Stadion Sidolig pada 17 Desember 1950. Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) saling tembak dengan pasukan Koninklijke Leger (KL), Belanda. Lima orang tewas dan puluhan orang terluka dalam insiden ini.

Mengitip Persib Undercover, hari itu, Minggu 17 Desember 1950 pukul 16.00, berlangsung pertandingan Sidolig dan Jong Ambon. Lima menit setelah sepak mula, sekelompok tentara Indonesia dari Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) ingin masuk menonton pertandingan tanpa membayar karcis dan ditolak beberapa tentara Belanda yang kebetulan ditugasi menjadi penagih karcis.

Baca juga: Suporter Bertingkah, Klub yang Tanggung Akibatnya

Baku hantam terjadi hingga seorang tentara APRI pingsan dan memilih putar arah. Tapi siapa sangka pasukan APRI putar arah untuk mengambil senjata. Setelahnya mereka kembali dan tanpa ampun melepaskan tembakan membabi-buta ke arah lapangan yang terdapat pasukan Belanda tak bersenjata. Akibatnya tiga orang prajurit Belanda, satu pasukan APRI dan satu pemain Jong Ambon tewas serta puluhan lainnya tergeletakt terkena tembakan.

Sama seperti dunia yang kelak diharapkan akan damai, sepak bola pun demikian. Alangkah indah dunia tanpa perang, alangkah indah sepak bola tanpa konfik dan korban nyawa.