Suara Pembaca

Oase Itu Bernama Piala Afrika

Pertengahan tahun ini Afrika menjadi perhatian publik internasional, utamanya penggemar sepak bola. Benua Hitam, julukan Afrika, menggelar pesta sepak bola bernama African Cup of Nations atau lazim disebut Piala Afrika.

Turnamen sepak bola ini menjadi perhelatan yang ke-32, setelah pertama kali diadakan pada 1957. Turnamen diikuti negara benua Afrika yang lolos kualifikasi. Mesir menjadi tuan rumah berdasarkan keputusan CAF (konfederasi sepak bola Afrika), sesudah Nigeria gagal menunjukkan kesiapannya sebagai tuan rumah.

Lambannya infrastruktur dan konflik dalam negeri, pemicu Nigeria gagal menjadi tuan rumah. Pada 8 Januari 2019 lalu, CAF memutuskan Mesir menjadi tuan rumah pengganti.

Piala Afrika 2019 menjadi perhatian penggemar si kulit bundar, karena untuk pertama kalinya berlangsung pertengahan tahun. Ini jadi inovasi CAF, karena sebelumnya turnamen dua tahunan ini memilih awal tahun sebagai perhelatan.

Saat Piala Afrika diadakan awal tahun, hampir semua klub Eropa meradang. Ini karena semua pemain inti bahkan bintang di sejumlah klub Eropa berasal dari Afrika.

Baca juga: Gladys Lengwe, Berawal dari Iseng hingga Menjadi Wasit Perempuan Terbaik

Piala Afrika 2017 contohnya. Borussia Dortmund satu di antara klub Eropa yang geram, karena Pierre-Emerick Aubameyang absen. Pemain yang kini memperkuat Arsenal tersebut, kala itu harus membela timnas Gabon yang menjadi tuan rumah.

Keputusan memindahkan Piala Afrika dari awal tahun ke pertengahan tahun tidak lepas dari Ahmad Ahmad. Presiden CAF ini mengganti bulan penyelanggaraan Piala Afrika dalam forum di Rabat, Maroko. Pertemuan pada 20 Juli 2017 lalu juga menyepakati penambahan kontestan dari 16 tim (4 grup) menjadi 24 tim (6 grup).

Mesir selaku tuan rumah menyiapkan 6 stadion internasional. Ismaila Stadium menjadi venue terkecil dengan 18 ribu kursi, sementara Cairo International Stadium yang berkapasitas 74 ribu kursi menjadi arena untuk pembukaan dan final.

Layaknya pesta sepak bola lainnya, Piala Afrika 2019 juga punya maskot. Tut, nama maskot Piala Afrika 2019. Tut terinspirasi dari Tutankhamun, patung kuno berbentuk anak raja dari abad 18.

Tut berbentuk anak kecil yang memakai mahkota khas Mesir, berbaju jersey kandang timnas Mesir. Tut berdiri dan kaki kirinya menginjak bola. Maskot Tut berhias peta benua Afrika dan logo Piala Afrika.

Untuk bola resmi, Piala Afrika 2019 menggandeng Umbro sebagai mitra. Apparel asal Inggris ini meluncurkan Neo Pro sebagai bola resmi turnamen.

Baca juga: Di Afrika Selatan, Man of The Match Dapat Hadiah Paket Data 5GB

Mesir selaku tuan rumah mengawali pertandingan melawan Zimbabwe pada Jumat (21/6) pukul 10 malam waktu Mesir, atau Sabtu (22/6) pukul 03.00 WIB. Pembukaan Piala Afrika di Cairo International Stadium berisi atraksi sekaligus penampilan sejumlah artis.

Hakim, pelantun lagu tradisional Mesir, tampil di acara pembukaan. Hakim membawakan lagu berbahasa Arab. Untuk lagu versi Inggris, Femi Kuti, penyanyi asal Nigeria, tampil melengkapi penampilan hakim. Kuti adalah penyanyi yang tampil di pembukaan Piala Dunia 2010 Afrika Selatan.

Ada juga Dobet Gnahore, penyanyi dari Pantai Gading, yang melantunkan lagu berbahasa Prancis. Piala Afrika 2019 sendiri punya lagu resmi berjudul Metgamaeen (Gathered, dalam bahasa Inggris).

Peluang dan tantangan tuan rumah

Mesir selaku tuan rumah berpeluang juara di negeri sendiri. Alasan ini berdasarkan sejarah negeri Pharaoh yang menyabet 7 gelar Piala Afrika (terbanyak dalam sejarah turnamen). Mesir telah 4 kali menjadi tuan rumah, dengan 3 kali di antaranya menjadi juara. Ini terjadi di Piala Afrika 1959, 1986, dan 2006.

Alasan berikutnya Mesir bisa juara karena Mohamed Salah. Bintang Liverpool ini bagai magnet terkuat di Piala Afrika 2019 dan timnas Mesir. Berdasarkan performanya selama dua musim bersama The Reds, dan keberhasilan juara Liga Champions, Salah menjadi pemain kunci di timnas Mesir.

Negeri Pharaoh tidak hanya Salah. Mesir juga punya Mohamed Elneny, gelandang Arsenal yang juga mengantar The Gunners jadi finalis Liga Europa. Sementara sektor belakang Mesir dimotori Ahmad Elmohamady yang mengantar Aston Villa promosi ke Liga Primer Inggris.

Baca juga: Sebuah ‘Kado Natal’ dari Mohamed Salah

Meski Piala Afrika 2019 berkilau, Mesir selaku tuan rumah menghadapi sejumlah polemik jelang turnamen. Awal Juni ini, Ahmad Ahmad selaku Presiden CAF sempat berurusan dengan kepolisian, saat berada di Paris. Pria asal Malagasi ini diperiksa karena dugaan skandal korupsi pertandingan Liga Champions Afrika antara Esperance klub Tunisia melawan Wydad Casablanca klub Maroko.  

Mesir selaku tuan rumah juga menghadapi ancaman sepinya penonton. Penggemar sepak bola di Mesir atau negara peserta turnamen mengeluhkan mahalnya tiket masuk. Tiket termurah Piala Afrika senilai USD 12 atau sekitar Rp 170 ribu. Sementara untuk kategori VIP bisa menembus USD 600 atau sekitar Rp 8,5 juta.

Mengutip AFP, Walid Al Adawi jurnalis olahraga asal Mesir sempat berkata, “Harga tiket yang mahal, tidak mengurangi antusias suporter. Meski demikian, harga tiket yang mahal tidak terjangkau bagi penggemar bola kebanyakan”.

Sementara Mohamed Fadil mantan pemain timnas Mesir yang menjabat Direktur Penyelenggaraan, menampik anggapan Al Adawi. Mantan striker timnas Mesir ini mengatakan, “Sebuah pengalaman menyelenggarakan Piala Afrika 2019 patut dimulai dengan pengorbanan”.

Meski harga tiket mahal, pemerintah Mesir berkomitmen menjadikan Piala Afrika 2019 sebagai turnamen semua rakyat. Ashraf Sobhi, Menteri Olahraga Mesir, berjanji pertandingan Piala Afrika 2019 tayang di televisi teresterial. Ini upaya pemerintah Mesir membantu masyarakat yang tidak mampu membeli tiket di stadion.

Bertolak belakang dengan pernyataan Sobhi, Ahmed Abdel seorang penggemar timnas Mesir, justru menyebut tidak semua pertandingan tayang di televisi teresterial.

Abdel mengatakan, “Sungguh tidak masuk akal, Mesir yang berstatus tuan rumah menyiarkan pertandingan melalui satelit berbayar. Pemerintah mestinya tahu, sepak bola Mesir lebih penting dari politik, sekaligus lebih menghibur dari tayangan apapun”.

Baca juga: Siaran Langsung Timnas Sepak Bola dan Urgensi Televisi Publik

Selain polemik tiket dan siaran televisi, panitia Piala Afrika 2019 juga mengantisipasi keamanan, menyusul kematian Mohammed Morsi, Presiden Mesir 2012. Pria berusia 67 tahun pemimpin pertama Mesir era demokratisasi 2012 lalu.

Setahun menjabat, Morsi terguling dalam kudeta militer dibantu aksi jalanan. Setelah lengser, pria yang pernah bekerja di NASA ini menjalani tahanan rumah dan masuk penjara.

Pada Senin (17/6) lalu, Morsi meninggal dunia saat menjalani persidangan. Kalangan politikus dunia menyebut kematian Morsi bermuatan konspirasi dan bisa mengacaukan stabilitas dalam negeri Mesir.

Piala Afrika laksana oase di lahan tandus, yang memberi kesegaran pesinggahnya dari terik matahari dan dahaga. Mesir selaku tuan rumah ingin Piala Afrika 2019, menciptakan rekonsiliasi nasional bagi elite politik yang bertikai. Bagi rakyat benua Afrika, Africa Cup of Nations tak ubahnya turnamen yang mengubah mimpi jadi kenyataan.

Menjadi pesepak bola, tampil di Piala Afrika, menembus liga Eropa, adalah impian jutaan anak di benua Afrika. Langkah ini tidak sebatas retorika, karena Nelson Mandela, mendiang Presiden Afrika Selatan, pernah mengatakannya.

“Pemenang adalah pemimpi yang tidak pernah menyerah”.  

*Penulis adalah mantan jurnalis radio yang berkarier selama 15 tahun. Penulis sekarang menjadi praktisi ilmu komunikasi di lembaga pengembangan profesi. Bisa ditemui di akun Twitter @DediAndrian7