Tim nasional (timnas) sepak bola Indonesia U-16 sukses meraih juara di tingkat Asia Tenggara setelah mengalahkan Thailand di final AFF U-16, melalui adu penalti 4-3 usai bermain imbang 1-1 pada waktu normal. Kegembiraan membuncah di seluruh pelosok negeri di akhir pekan, tepat ketika kalender menampakkan tanggal 11 Agustus 2018.
Melalui layar televisi, penonton menyaksikan perjuangan para pemain muda Indonesia. Tidak kalah dengan fans yang datang ke Stadion Gelora Delta, Sidoarjo, penonton di depan layar kaca bersorak. Peringatan hari kemerdekaan yang menggelora di bulan Agustus menjadikan suasana kian beraura.
Sayangnya, di tengah kegembiraan, ada keluhan terhadap Indosiar, stasiun televisi yang menayangkan secara langsung pertandingan. Di media sosial, warganet mengeluhkan ukuran dan seringnya iklan pop-up ditampilkan Indosiar di tengah pertandingan yang sedang berlangsung.
Sehari setelah pertandingan kesebelasan sepak bola Indonesia U-16, tim nasional Indonesia yang terjun di Asian Games mengawali pertandingan menghadapi Cina Taipei atau Taiwan. Penonton yang menyaksikan melalui layar televisi kembali menyuarakan keluh kesahnya terhadap stasiun televisi yang menyiarkan secara langsung pertandingan. SCTV oleh penonton dianggap menampilkan iklan pop-up yang ukurannya terlalu besar, sehingga membuat gambar pertandingan jadi mengecil.
Indosiar dan SCTV adalah dua stasiun televisi terrestrial yang dimiliki oleh PT Elang Mahkota Teknologi (Grup Emtek). Sebagai institusi televisi swasta yang sifatnya komersial, wajar jika mereka mencari iklan sebanyak-banyaknya. Regulasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melalui Standar Program Siaran (SPS) tidak mengatur tentang ukuran iklan pop-up dan tidak pula mengatur jumlah iklan dalam satu program.
Yang diatur SPS dalam pasal 58 adalah porsi iklan dalam satu hari yang dibatasi paling banyak 20% (dua puluh per seratus) dari seluruh waktu siaran per hari. Mengkritik stasiun televisi swasta dalam persoalan iklan yang tayang saat siaran langsung pertandingan sepak bola Indonesia dengan menggunakan perangkat regulasi menjadi susah dilakukan karena tiada dalil hukum yang kuat.
Tayangkan di televisi publik
Alih-alih menghabiskan energi mencela stasiun televisi swasta, ada solusi untuk siaran langsung pertandingan sepak bola Indonesia yang bebas dari iklan, yaitu dengan menayangkan di lembaga penyiaran publik. Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran menyebutkan ada empat jenis lembaga penyiaran yaitu lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, dan lembaga penyiaran berlangganan.
Lembaga penyiaran publik didefinisikan dalam pasal 14 sebagai lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Lembaga penyiaran publik yang dimaksudkan adalah Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI), yang stasiun pusat penyiarannya berada di ibu kota Negara Republik Indonesia.
Poin penting yang perlu digarisbawahi adalah bahwa lembaga penyiaran publik “tidak komersial”. Dengan dalil ini, maka jika pertandingan sepak bola yang dillakoni tim nasional sepakbola kita disiarkan di TVRI akan bersih dari iklan yang mengganggu. Jika ditayangkan melalui stasiun televisi publik, publik memiliki hak untuk melakukan supervisi. Relasi yang tidak akan terjadi saat publik berhadapan dengan televisi swasta, karena dalam relasi ini publik diposisikan sebagai konsumen.
Masduki dan Darmanto dalam buku “Penyiaran Publik : Regulasi dan Implementasi” (2016) menyebutkan bahwa publik dalam tata kelola lembaga penyiaran publik adalah warga negara. Dalam relasi seperti ini, publik memiliki hak kepemilikan, akses dan supervisi sekaligus. Contoh terbaik dari tata kelola yang demikian adalah BBC di Inggris dan ARD di Jerman.
UNESCO menyatakan bahwa tata kelola televisi publik harus menganut beberapa prinsip, diantaranya menempatkan kualitas program sebagai rujukan, redaksi bebas dari intervensi kekuatan politik penguasa dan ekonomi pasar yang bersifat desktruktif, dan sumber pendanaan dari publik sehingga tidak terikat agenda politik dan ekonomi dari pihak tertentu.
Bayangkan jika siaran langsung pertandingan sepakbola tim nasional merah putih tayang di TVRI dengan tata kelola seperti ini. Tidak bakal ada iklan pop-up yang mengganggu kita.
Membandingkan TVRI dengan BBC pada saat ini tentu bagaikan bumi dan langit. TVRI terpuruk oleh krisis dan konflik internal pasca-peralihan status dari televisi pemerintah menjadi televisi publik, sedangkan BBC telah mapan sebagai lembaga penyiaran publik terkemuka. Meskipun demikian bukan berarti tidak ada masa depan bagi TVRI.
TVRI bisa menjadi lembaga penyiaran publik yang kuat jika ada komitmen kuat dari pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), internal TVRI, dan pemangku kebijakan lainnya untuk benar-benar secara serius menjadikan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik yang berkualitas layaknya BBC. Sumber daya manusia ditingkatkan kualitasnya dan peralatan siarannya disesuaikan dengan perkembangan teknologi.
Pada tanggal 10 Agustus 2018 diadakan launching buku berjudul “TVRI di Era Krisis : Jejak Kepentingan Ekonomi, Politik dan Indentitas” (2018). Buku yang ditulis oleh Darmanto, peneliti yang aktif di Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik ini menggambarkan kondisi TVRI dari masa ke masa, terutama krisis yang terus menimpanya.
Seorang peserta launching buku berkata, “Banyak pihak yang tidak suka TVRI maju sebagai lembaga penyiaran publik yang berkualitas, karena nanti stasiun televisi swasta bakal ditinggal penontonnya.” Pernyataan ini akan menjadi benar adanya jika pertandingan tim nasional sepak bola disiarkan di TVRI.
Penonton yang muak dengan iklan pop-up di televisi swasta akan berpindah ke TVRI. Tentu saja ada prasyaratnya, yaitu perbaiki kualitas siaran TVRI agar tidak kalah dengan televisi swasta. Tugas kita sebagai publik adalah ikut mendorong terwujudnya TVRI yang berkualitas.
*Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, juga penulis buku Merayakan Sepakbola 1 dan 2.