Kolom

Kerusuhan di Laga Arema FC vs Persib Bandung: Niretika Siaran Langsung Sepak Bola oleh Indosiar

Alih-alih menuju sepak bola yang profesional dan bermartabat, kompetisi sepak bola di Indonesia justru diwarnai serangkaian aksi kekerasan yang menodai semangat fairplay. Pertandingan antara Arema FC melawan Persib Bandung (15/4) di Stadion Kanjuruhan Malang, justru menyajikan kekerasan yang melibatkan suporter sepak bola.

Pertandingan yang disiarkan langsung oleh Indosiar ini secara gegabah menyajikan kekerasan yang terjadi di pengujung laga ke layar kaca. Audiens penonton televisi pun terpapar serangkaian kekerasan yang disajikan melalui siaran langsung di Indosiar.

Kedua anak saya menonton pertandingan ini melalui layar televisi. Mereka berumur 11 tahun dan 6 tahun. Saya menemani mereka menonton sebagai tanggung jawab literasi media seorang ayah kepada anak-anaknya. Selain menonton pertandingan sepak bola di televisi, keduanya sering saya ajak  menonton pertandingan sepak bola, baik datang langsung ke lapangan/stadion, maupun dengan menonton di layar televisi.

Sepak bola yang mengajarkan sportivitas dan kerja sama tim menjadikan alasan saya mengajak mereka menonton pertandingan sepak bola. Kebetulan pula mereka suka bermain sepak bola bersama kawan-kawannya, sebagaimana pula dengan kebanyakan anak kecil di Indonesia.

Rumah kami tidak jauh dari Lapangan Potorono, Banguntapan, Bantul. Lapangan ini sering digunakan oleh UAD FC, sebuah klub Liga 3 untuk menjalani pertandingan. Kami bertiga sering menonton pertandingan di Lapangan Potorono. Terakhir kami menonton penyisihan grup Piala Walikota 2018 di lapangan ini. Stadion Sultan Agung juga hanya berjarak tempuh sekira 10 menit dari rumah kami.

Di stadion ini, mereka saya ajak nonton beberapa pertandingan. Terakhir kami menonton PS TIRA vs Persebaya (13/4). Kepada mereka, saya ajarkan tanggung jawab sebagai penonton yaitu membeli tiket pertandingan untuk masing-masing dari kami. Meskipun sebenarnya petugas menyatakan kepada saya masih kecil jadi tidak perlu tiket, namun saya tetap membeli tiket. Demikian pula dengan di Stadion Maguwoharjo dan Stadion Mandala Krida. Meski tidak ada pertandingan, mereka kadang saya ajak melakukan groundhoping di stadion-stadion ini. Jadi keduanya bukan sekadar suporter layar kaca, walau masih berusia sangat muda.

Namun kemudian, saat kami bertiga menonton pertandingan Arema FC melawan Persib Bandung, anak saya yang kecil menyeletuk, “Aku jadi takut pa nonton bola. Itu pada berantem.” Saya benar-benar kaget. Literasi sepak bola untuk anak saya tiba-tiba menghadapi ujian.

Mengikuti pemikiran Louis Althusser, celetukan anak saya adalah cara bagaimana ideologi bekerja melalui pemanggilan (interpellation). Anak saya yang bertahun-tahun saya ajari mencintai sepak bola meski kusut, meminjam frasa jurnalis Jawa Pos, Fim Mifta, tiba-tiba takut dengan pertandingan sepak bola.

Tentu efek kuat televisi kepada anak menjadi alasan interpelasi ini terjadi. Interpelasi ini saya yakin bukan hanya terjadi pada anak saya. Bisa jadi seorang bapak atau ibu akan menasehati anaknya dengan kalimat, “Nak jangan nonton sepak bola lagi. Rusuh seperti yang tayang di Indosiar itu.”

Indosiar bagaimanapun juga harus bertanggung jawab terhadap hal ini.  Siaran langsung sepak bola mereka yang niretika menjadi sumbu persoalan. Pedoman Perilaku Penyiaran –  Standar Program Siaran (PPP-SPS) yang diterbitkan Komisi Penyiaran Indonesia dengan jelas menyatakan dalam pasal Pasal 23 menyatakan bahwa program siaran yang memuat adegan kekerasan dilarang (1) menampilkan secara detail peristiwa kekerasan, seperti: tawuran, pengeroyokan, penyiksaan, perang, penusukan, penyembelihan, mutilasi, terorisme, pengerusakan barang-barang secara kasar atau ganas, pembacokan, penembakan, dan/atau bunuh diri;  (2) menampilkan manusia atau bagian tubuh yang berdarah-darah, terpotong-potong dan/atau kondisi yang mengenaskan akibat dari peristiwa kekerasan; (3) menampilkan peristiwa dan tindakan sadis terhadap manusia.

Bukannya membatasi kekerasan yang ditayangkan, siaran langsung di Indosiar justru menampilkan adegan kekerasan bahkan dengan teknik zoom in untuk mendapatkan detail kekerasan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan. Tindakan ceroboh dari kru siaran langsung, baik di lapangan maupun di studio, yang mengabaikan PPP-SPS ini, tentu tidak bisa ditoleransi.

Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran telah mengamanatkan dalam pasal 48 (ayat 4 poin 4) bahwa pedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi siaran yang sekurang-kurangnya berkaitan dengan pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme. Amanat yang harus dipegang oleh stasiun televisi.

Jika ditelusuri, kecerobohan siaran langsung pertandingan sepak bola Indonesia yang tayang di Indosiar telah terjadi sebelum penayangan adegan kekerasan. Kecerobohan itu adanya tersiarnya suara suporter di tribun Stadion Kanjuruhan yang menyanyikan lagu berisi hinaan dan makian. Pasal 24 (1) PPP-SPS menyebutkan bahwa program siaran dilarang menampilkan ungkapan kasar dan makian, baik secara verbal maupun non-verbal, yang mempunyai kecenderungan menghina atau merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/ mesum/cabul/vulgar, dan/atau menghina agama dan Tuhan.

Sayangnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) belum memberikan perhatian yang cukup terhadap adegan  kekerasan yang terjadi dalam siaran langsung pertandingan sepak bola. Meski demikian kita, sebagai publik, tidak boleh berpangku tangan. Ingat, frekuensi adalah milik publik karena jumlahnya yang terbatas.

Pada hakikatnya, stasiun televisi meminjam frekuensi dari publik melalui KPI. Dalam posisi kita sebagai publik penonton televisi dan sepak bola, mari berpartisipasi untuk penyiaran yang lebih sehat dan sepak bola yang lebih profesional dengan melaporkan kekerasan yang terjadi di ranah sepak bola yang ditayangkan di layar kaca ke KPI, siapapun yang terlibat dalam siaran bermuatan kekerasan tersebut.

Fajar Junaedi adalah kolumnis tamu Football Tribe Indonesia. Beliau adalah Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Bisa ditemui di akun Twitter-nya, @fajarjun