Cerita

Piala Dunia Tanpa Pemain Terbaik Dunia

Apa jadinya Piala Dunia 2018 jika tanpa Cristiano Ronaldo sang pemenang gelar FIFA (Men’s) Best Player di 2017 atau Lionel Messi yang sudah mengoleksi 5 gelar Ballon D’Or sama seperti Ronaldo?

Meski nyatanya kehadiran mereka belum mampu membawa gelar bagi negaranya masing-masing, tapi pernahkah anda berpikir bagaimana jadinya Piala Dunia tanpa pemain terbaik dunia?

Itu dapat dibayangkan di Piala Dunia Wanita 2019 Juni-Juli mendatang. Penyerang Olympique Lyonnais asal Norwegia, Ada Hegerberg, tak akan ikut dalam gelaran empat tahunan tersebut.

Norwegia memang menjadi salah satu peserta Piala Dunia Wanita 2019 dan mereka telah merilis 23 pemain untuk ajang tersebut Kamis (2/5) lalu. Tapi tak ada nama Ada di dalamnya, karena alasan tersendiri bagi pemain yang sempat dilecehkan di malam penghargaan Ballon D’Or 2018 ini untuk menolak ikut berjuang bersama kompatriotnya.

Baca juga: Yang Terbaik Dan Terburuk Di Gelaran Ballon d’Or 2018

Alasan penyerang yang di awal Juli nanti akan berusia 24 tahun ini tak ikut ke skuat Gresshoppene, adalah karena kurangnya respek dan perhatian yang diberikan federasi sepak bola Norwegia kepada pesepak bola perempuan.

Dilansir dari BBC, pelatih timnasita Norwegia, Martin Sjogren, pasrah jika timnya harus ditinggalkan Ada yang sejauh ini sudah mengoleksi 66 pertandingan dan mencetak 38 gol. Ada terakhir kali mengenakan seragam timnasita Norwegia di Piala Eropa Wanita 2017 lalu,.

“Kami mencoba menyelesaikan masalah ini, kami sudah bertemu tetapi dia tetap tidak mau bermain. Sebagai pelatih saya akan fokus pada tim sementara meski Ada tidak ada dalam tim kami tetap menghormati keputusannya” ujarnya.

Ada memiliki alasan yang kuat selama federasi masih memiliki sedikit respek pada para pesepak bola, terlepas dari perbedaan jender mereka. Ketika dunia kulit bundar tengah bersama-sama melawan kampanye anti-rasisme selama beberapa tahun, kita kerap lupa bahwa kampanye anti-seksisme juga perlu digalakan.

“Sepak bola adalah olah raga favorit anak-anak perempuan di Norwegia, tetapi di waktu yang sama mereka tidak memiliki kesempatan yang sama dengan anak laki-laki untuk bermain sepak bola. Kita berhenti bicara soal pengembangan di segala aspek dan negara lain melewati kita,” ujarnya pada sebuah wawancara bersama The Guardian.

Ada sendiri memiliki pengalaman yang mungkin banyak dialami para pemain seangkatannya ketika muda dulu, yakni harus melewati karier dengan tidak begitu banyak klub atau tim wanita. Ia dan sang kakak, Andrine, yang sama-sama menolak bermain untuk timnasita Norwegia untuk saat harus berada satu tim dengan anak laki-laki setidaknya hingga usia 14 tahun sampai mendapat kontrak profesionalnya.

Baca juga: Women’s Euro 2017 dan Sepak Bola Wanita yang Gagal Meriah di Indonesia

Berjuang untuk kesetaraan

Aroma maskulinitas memang masih terasa di sepak bola. Meski demikian sepak bola wanita sedang berusaha mencapai status setara dengan usaha para pemain, pelatih, suporter, dan pegiat media dari level akar rumput hingga profesional.

Hal yang dirasakan Ada juga dirasakan beberapa negara yang hingga kini mengampanyekan gerakan Equal Play, Equal Pay.

Kita boleh mencap Ada sebagai seorang yang tidak nasionalis, namun setidaknya kita perlu menghargai keputusannya. Meski jalan berbeda ditempuh rekan setimnya di timnasita Norwegia, Maren Mjelde. Gelandang asal Chelsea itu menjadi salah satu pemain yang getol mengampanyekan kesetaraan dalam hal gaji antara pesepak bola pria dan wanita.

Usaha Mjelde sebenarnya berhasil, karena federasi sepak bola Norwegia sepakat menandatangani pakta perjanjian bahwa para pesepak bola pria dan perempuan akan mendapat upah yang sama dari federasi. Namun nampaknya usaha federasi sepak bola Norwegia mungkin belum diimplementasikan dengan baik, sehingga Ada enggan berseragam timnas setidaknya untuk beberapa saat ini.

Norwegia sendiri memang punya sejarah kelam, di mana sepak bola wanita dilarang dan tak dianggap sampai era 70-an. Satu dekade kemudian golden years dalam sejarah olah raga Norwegia dimulai, dan tebak siapa para penggeraknya? Tak lain dan tak bukan adalah para wanita Norwegia.

Pada tahun 1987 diadakan Piala Eropa Wanita untuk pertama kali, dan secara mengejutkan timnasita Norwegia berhasil menjadi juara. Gelar timnasita sepak bola tersebut seolah menyambung gelar juara timnasita bola tangan Norwegia di kejuaraan internasional 11 tahun sebelumnya.

Timnasita Norwegia kembali menaklukan Eropa pada 1993 dan menjadi juara Piala Dunia Wanita 1995 ketika duet Ann-Kristin Aarønes dan Helge Riise terpilih sebagai top skor dan pemain terbaik turnamen. Tahun yang gemilang karena tahun tersebut adalah tahun kelahiran Ada, calon legenda sepak bola Norwegia berikutnya.

Namun siapa sangka peraih gelar hat-trick Liga Champions Wanita yang telah mencatat 129 gol dalam 103 penampilannya bersama Olympique Lyonnais sejak 2014 ini juga tumbuh menjadi sosok yang gigih memperjuangkan kesetaraan, meski terlihat ekstrem.

Pasalnya aksi Equal Play, Equal Pay bagaikan wabah yang menyebar dari satu negara ke negara lainnya. Timnasita Denmark pernah menolak bertanding melawan Belanda karena para pemain dan staf tidak diberikan intesif jelang kualifikasi Piala Dunia Wanita beberapa waktu lalu. Delapan pemain timnasita Brasil sempat mogok bermain meski dipanggil ke kamp latihan dengan alasan serupa.

Rasanya hambar menonton Piala Dunia Wanita 2019 tanpa kehadiran Ada Hegerberg. Apa jadinya Piala Dunia tanpa pemain terbaik dunia? Toh tanpa mengecilkan pemain-pemain lain yang tampil cukup baik dalam beberapa musim terakhir seperti duo Chelsea, Maria Thorisdottir dan Maren Mjelde, serta penyerang Wolfsburg Caroline Graham Hansen, kehadiran Ada sebenarnya mampu menjadi harapan pelepas dahaga gelar bagi Gresshoppene.

Tapi di akhir kisah, rasanya patut menghormati keputusan Ada. Dia merasa tak bisa tinggal diam ketika sepak bola masih menyimpan trauma kecil bernama seksisme. Semoga saja Piala Dunia Wanita 2019 bisa memecahkan rekor tiket dan penonton gelaran yang empat tahun lalu dihelat di Kanada ini.

Doa kecil saya juga dititipkan bagi para stakeholder sepak bola Indonesia untuk terus memberikan kesempatan bagi para srikandi sepak bola Indonesia memiliki liga, hak dan kewajiban yang sama dengan para kompatriotnya.

Baca juga: Duopoli Nike dan Adidas Berlanjut di Piala Dunia Wanita 2019