Masa-masa jelang pemungutan suara, tidak jarang sepak bola dijadikan panggung oleh mereka yang coba rebut kuasa. Seolah penuh perhatian, berbekal janji manis yang dimiliki, mereka menari-nari. Tujuannya pasti, meraup suara para pencinta sepak bola sebagai modal memenangkan pertarungan.
Tidak jarang cara ini terbukti berhasil. Beberapa kepala daerah berhasil berkuasa dengan janji manis pada para pencinta sepak bola. Sebagai contoh di Jawa Barat, dengan janji sebuah stadion megah, beberapa tahun lalu sang kepala daerah meraup banyak suara. Cara yang sama coba diduplikasi di DKI Jakarta. Saat kampanyenya, calon gubernur menjanjikan stadion bertaraf internasional akan segera hadir di ibu kota.
Janji yang dilontarkan tentu saja mendapat sambutan publik sepak bola Jakarta yang telah lama merindukan stadion yang dapat menjadi rumah nyaman bagi Macan Kemayoran. Mereka tentu lelah mendukung klub Ibu Kota namun lebih sering main jauh dari rumahnya.
Meski belum ada data pasti, sedikitnya suara dari sepak bola mengantarkan mereka menuju kursi nyaman yang dinginkan. Dan janji yang sebelumnya dilemparkan seakan menjadi kontrak politik yang terus ditagih untuk direalisasikan.
Di beberapa daerah lain, banyak tokoh politik yang begitu menaruh perhatian lebih pada sepak bola jelang pemilihan. Sayangnya tidak sedikit kasus ketika mereka gagal mendapat hati dan gagal berkuasa, perhatian itu hilang entah ke mana. Seolah sepak bola dengan basis masa luar biasa besar hanya menjadi objek yang dimanfaatkan sebagai alat.
Baca juga: Klub Sepak Bola dan Partai Sepak Bola
Meski juga tidak dapat dipungkiri sangat banyak tokoh politk yang benar-benar cinta akan sepak bola dan tulus memberi banyak untuk yang dicintanya. Namun stigma buruk yang terlanjur berkembang juga berimbas pada mereka.
Sebenarnya bukan hanya di masa sekarang sepak bola menjadi panggung politik. Bahkan sepak bola telah menjadi panggung sejak masa perjuangan kemerdekaan. Yang membedakan, jika sekarang sepak bola lebih sering menjadi panggung politik praktis menuju kekuasaan, kala itu sepak bola menjadi panggung politik kebangsaan penyebar semangat persatuan, perjuangan, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Kisah mesra politisi dengan sepak bola yang paling tersohor adalah kedekatan MH Thamrin dan Otto Iskandar Dinata dengan klub kecintaannya. Persija dan Persib pernah menjadi jalan bagi keduanya meneruskan semangat Kongres Pemuda atau yang kelak dikenal dengan semangat Sumpah Pemuda.
Ada juga kata-kata Tan yang Malaka begitu melekat yang menganggap sepak bola adalah alat perjuangan. Selain itu banyak kisah tersebar tentang tokoh-tokoh bangsa lain seperti Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, hingga Dr. Soetomo yang juga gila bola.
Bagi Dr. Soetomo yang juga merupakan tokoh sentral Boedi Oetomo, beranggapan bahwa sepak bola bukan hanya melatih fisik tapi juga mental. Dengan etos revolusioner dan etos nasionalisme dalam sebak bola, beliau menjadikan sepak bola sebagai jembatan penghubung yang mempermudah penyebaran semangat nasionalisme dan pengobar semangat perlawanan.
Kisah tak kalah horoik hadir ketika Ir. Soekarno melakukan tendangan pertama pertandingan VIJ, atau yang kini dikenal dengan Persija, menghadapi PSIM Yogyakarta.
Ini adalah partai puncak kompetisi PSSI yang digelar di lapangan Laan Travelli, Batavia. Kehadiaran Ir. Soekarno pada pertandingan yang berlangsung 16 Mei 1932 sangat sulit dilepaskan dari kesan politis.
Saat itu, sepak bola sukses menjadi panggung Bapak Bangsa mengirim pesan politik perlawanan. Beberapa pekan sebelum kehadirannya di Laan Travelli, Soekarno baru saja bebas dari penjara Sukamiskin dan dilarang kembali berpolitik.
Tentu saja kesempatan tampil di hadapan orang banyak dan diabadikan harian Pandji Poestaka seolah menjadi penegas kembalinya tokoh sentral perjuangan kemerdekaan.
Pertarungan tokoh politik di lapangan hijau yang sesungguhnya
Di pertandingan yang sama yang dibuka tendangan pertama Ir. Soekarno, tercatat kisah lain kedekatan politisi dengan sepak bola. Pada jeda pertandingan, para politisi benar-benar saling berhadapan di lapangan hijau.
Dari hasil penambangan data teman-teman Abidin-Side, komunitas pemerhati sejarah sepak bola khususnya di Jakarta, terungkap kisah pertandingan Djago Kolot. Pertandingan yang digelar saat jeda VIJ menghadapi PSIM Yogyakarta mempertemukan para politisi di pertandingan sesungguhnya.
Pertandingan Djago Kolot membagi dua tim, Elftal A dan Elftal B. Elftal A diisi oleh MH. Thamrin sebagai penyerang beserta kawan-kawan. Sedangkan Otto Iskandar Dinata yang berposisi sebagi pemain bertahan memperkuat Elftal B.
Bukan hanya kedua tokoh politik tersebut. Masih ada tokoh lain yang terlibat di pertandingan ini. Pada Elftal A, Thamrin dibantu H. Dachlan Abdoellah yang berposisi pemain bertahan. H. Dachlan Abdoellah adalah seorang pejuang kemerdekaan dan diplomat Indonesia yang kemudian pernah diutus sebagai Duta Besar Republik Indonesia Serikat (RIS) untuk Irak, Syria, dan Trans-Jordania.
Kemudian Elftal B terdapat nama Mr. K. Atmadja yang kelak menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI. Ada juga nama Parada Harahap yang merupakan pemred surat kabar Sinar Merdeka. Serta Saeroen yang mendirikan koran harian Pemandangan.
Selain Djago Kolot, ada pertandingan lain yang mempertemukan para politisi dalam sebuah pertarungan yang sesungguhnya. Masih berdasar hasil penambangan data Abidin-Side ditemukan dokumentasi pertandingan Jagoan Pejambon (lokasi gedung Volksraad) di koran harian Pemandangan.
Pertandingan bertajuk Tim Gemuk melawan Tim Kurus berlangsung saat turun minum VIJ melawan PSIB, 4 Desember 1933. Tim Gemuk diperkuat MH. Thamrim dan kawan-kawan, sedangkan Tim Kurus diisi Otto Iskandar Dinata dan kolega.
* Formasi Djago Kolot
Elftal A
Abdoelrachman
H. Dachlan Abdoellah, Dr. Kajadoe
A. Yi Soeardi, Mokoginta, I. Brata
Moehyidin, Mr. Hadi, M. H. Thamrin, L. Djajadiningrat, Soewardi
Alftal B
Soetardjo
O. Iskandar Dinata, I. Wiriaatmaja
Parada Harahap, Moeh. Jatim, Soedomo
Dr. Soeratmo, Dr. Boentaran, Mr. K. Atmadja, Oto Soebroto, Saeroen