Football Tribe kembali hadir dengan wawancara ekskusif bertajuk Tribe Talk. Kali ini kami berkesempatan berbincang dengan penyerang Avispa Fukuoka asal Korea Selatan, Yang Dong-hyen, yang akan berbicara tentang perbedaan dua liga terbaik di Asia, J.League dan K-League.
Seperti apa keseruannya? Berikut Tribe Talk Edisi Yang Dong-hyen selengkapnya!
Tak sulit bagi beberapa pemain Negeri Gingseng berlaga di J1. Musim ini Gamba Osaka mengandalkan trio Hwang Ui-jo, Kim Young-gwon, dan Oh Jae-suk, kemudian ada Na Sang-ho dan Jang Hyun-soo di FC Tokyo. Selain keduanya beberapa klub liga kasta tertinggi di Jepang itu juga memakai jasa pemain asing Korea Selatan.
Namun anomali unik terjadi kala Yang Dong-hyen memutuskan untuk bermain di J2 yang menjadi kawah candradimuka bagi banyak pemain muda Jepang untuk mematangkan permainannya. Padahal musim 2017 lalu eks pemain Pohang Steelers ini merupakan pencetak gol terbanyak kedua di K-League.
Penyerang yang kini berusia 34 tahun itu pertama kali menjejakkan kaki di Negeri Matahari Terbit usai musim 2017 berlalu. Cerezo Osaka menjadi pelabuhan pertama Yang di luar negeri, terlebih di karier profesionalnya. Yang sebenarnya sempat bermain untuk FC Metz (Prancis) dan Real Valladoid (Spanyol) usai lulus dari SMA Dongbuk dan masuk dalam program KFA Youth Project.
Namun sayang debut Yang di Jepang tak berjalan cukup baik, ia hanya bermain sebanyak 1.446 menit dan mencetak dua gol saja bersama Cerezo. Hanya semusim di Osaka, Yang kemudian menambatkan hatinya ke Fukuoka dan bergabung bersama kontestan J2, Avispa Fukuoka.
Uniknya, Yang sama sekali tak punya kesempatan beradaptasi di Avispa, ia tak bergabung bersama kawan-kawan barunya dalam pra-musim karena transfernya baru dirampungkan saat musim baru berjalan. Namun ia mampu mencetak dua gol di dua laga yang dilakukoni Takayuki Morimoto dan kawan-kawan secara beruntun.
“Saya sudah tidak muda lagi, dan jelas ada perbedaan di antara liga Jepang dan liga Korea Selatan,” ujar pemain yang bersinar bersama Taegeuk Warriors di Piala Dunia U-17 2003 silam, ketika ditanya tentang kehidupannya di Jepang dan perbedaan di antara kedua liga tersebut.
“Di Korea kita lebih mengandalkan gaya bermain power and speed, di mana pressing dilakukan dengan memainkan umpan-umpan lambung dan banyak peluang tercipta dari lini kedua. Kemampuan fisik berperan penting sepanjang pertandingan.”
“Sementara di Jepang para pemain lebih sering melakukan umpan-umpan pendek. Kiper dan pemain bertahan ikut berperan dalam membangun serangan. Tempo permainan lebih cepat dan jarak antar-pemain lebih rapat, karena pressing serta transisi permainan (dari menyerang ke bertahan atau sebaliknya) cepat terjadi.”
Jatuh cinta pada Avispa Fukuoka
Meski menjalani debut yang kurang mengenakkan di Jepang, Yang menolak menyerah dan kembali ke kampung halaman. “Cerezo mungkin bukan tempat yang tepat bagi saya untuk menunjukkan kemampuan saya. Peran yang diberikan berbeda dengan peran saya sewaktu di (Pohang) Steelers dulu.”
“Sebenarnya Avispa bukan pilihan pertama saya karena sebenarnya saya mempersiapkan diri untuk musim selanjutnya di Cerezo.Saya memilih Avispa karena saya ingin lebih banyak bermain dan visi tim ini cocok dengan saya.”
Dari lima laga yang dijalani bersama klub yang bermarkas di Level5 Stadium, Yang sudah mencetak tiga gol dan hampir selalu bermain penuh, kecuali di laga melawan Tochigi, ia hanya bermain selama 89 menit saja sebelum digantikan menjelang peluit akhir laga. Kepada Football Tribe ia mencoba membeberkan rahasia kesuksesannya di Avispa sejauh ini.
“Saat berlatih sebenarnya tidak ada yang spesial, semua terlihat sama saja. Tetapi lebih mudah ketika pelatih selalu ingin saya mencetak gol di lapangan dan rekan-rekan setim membantu saja melakukannya. Saya sebenarnya punya target mencetak lebih dari 15 gol musim ini.”
Yang juga tak lupa berterima kasih pada para penggemar yang sudah mendukungnya baik di dalam maupun luar lapangan. Karena penampilan briliannya bersama Steelers, hingga kini sosoknya masih dirindukan banyak penggemar dari Korea Selatan.
“Para penggemar di sini (Jepang) sangat suportif. Saya mengapresiasi mereka yang selalu mendukung kami terlepas dari hasil yang kadang di luar ekspektasi. Namun saya akan selalu berusaha memenuhi ekspektasi mereka.”
Bicara soal masa depan nampaknya pemain yang juga pernah membela panji Ulsan Hyundai ini belum mau bicara soal pensiun.
“Saya berencana tinggal di sini (Jepang) lebih lama lagi. Sistem sepak bola mereka berkembang lebih baik dan banyak pemain yang datang bermain di sini. Saya belum berencana pensiun, jika bisa saya ingin mempersiapkan diri saat kembali ke Korea Selatan nanti masih dapat bermain dengan baik.”
Nampaknya motivasi Yang sendiri diinspirasi dari kisah Kazuyoshi “King Kazu” Miura yang masih eksis bermain meski usianya sudah dibilang senja. Uniknya keduanya bertemu pada Minggu (7/4) lalu saat Avispa Fukuoka bermain imbang 1-1 melawan Yokohama FC.
Terlebih di saat Yang membawa Avispa unggul di menit ke-57 lewat sepakan penalti, Yokohama FC yang menjadi tuan rumah kemudian membalas lewat proses yang sama di menit le-79 melalui kaki Ibba Laajab, pemain yang menggantikan King Kazu lima menit sebelum gol Yang Dong-hyen tercipta.
“Gantung sepatu tidak ditentukan dari usia. Banyak klub, terutama di Korea, sedang melakukan investasi pemain muda demi keuntungan di masa depan dari pada mencari para veteran. Namun saya adalah tipe pemain senior yang tetap percaya diri untuk melakukan yang terbaik di lapangan.”
“Kau tak hanya bisa bermain dengan sekadar semangat mudamu saja, namun keahlian yang membuatnya menjadi lebih baik.” katanya menutup wawancara dengan sebuah optimisme.
Wawancara bersama Yang Dong-hyen dilakukan oleh koresponden Football Tribe Korea, Jeong-Ho seo dan disunting oleh Mihyun Chung.