Hari Kamis 10 Januari 2019 beberapa waktu lalu adalah perayaan syukur bagi para pendukung, penggemar maupun pnecinta PSIM Yogyakarta. Layaknya sebuah Kenduri dan perayaan syukuran karena telah lahirnya seorang bayi, hajatan itu bernama peresmian Stadion Mandala Krida setelah sekian lama dirias agar menjadi lebih baik dan layak tentunya.
Bagaimanapun juga, diresmikannya Mandala Krida membuat optimisme, harapan dan impian dari segenap pendukung PSIM Jogja tumbuh kembali setelah untuk kesekian kalinya dipatahkan lagi dan lagi. Terbukti dari banyaknya harapan dan doa yang bersliweran di linimasa media sosial.
Entah disadari atau tidak, setelah Psim menjadi tim musafir, atau lebih tepatnya terpaksa berpindah dari Mandala krida, ada sesuatu yang hilang dan hampa.
Bukan tentang hilangnya semangat tempur, semangat juang atau hilangnya semangat main secara nggetih, tapi PSIM seperti kehilangan tuahnya atau jika diumpamakan dalam budaya Jawa, PSIM seperi kehilangan kesaktiannya atau “ilang sektine”.
Saya sendiri ketika menyaksikan PSIM bermain di Stadion Sultan Agung merasa bahwa mereka bermain tidak seperti di rumah sendiri. Walaupun PSIM menyandang nama home tapi tetap saja, ada aura yang kurang. Ada nyawa yang hilang, padahal secara kualitas Stadion Sultan Agung lebih baik kondisinya daripada Mandala Krida pada waktu itu. Baik dari segi rumput, tribun, semuanya lebih baik dari kondisi Mandala Krida ketika terpaksa ditinggalkan.
Baca juga: Ironi Daerah Istimewa Yogyakarta di Liga 1
Bermain kandang di Stadion Sultan Agung saja PSIM kehilangan ruhnya dan kehilangan kesaktiannya apalagi bermain kandang di stadion lainnya. Sungguh PSIM bermain tanpa nyawa seperti wayang yang kehilangan senjatanya.
Saya jadi merasa deja vu, apa yang dialami PSIM ini sama seperti apa yang dialami Arsenal ketika pindah dari Highbury Stadium menuju Ashburton Grove yang kini menjadi Emirates Stadium. Beberapa pemain dan suporter merasakan ada yang berbeda dengan Arsenal kala itu ketika pindah ke rumah baru. Ada yang kurang, ada yang hilang.
Padahal sejatinya Emirates stadium didesain sangat baik dari segi arsitektur dan desain bahkan hingga mempertimbangkan agar suara suporter lebih menggema dan membuat bulu kuduk merinding. Singkatnya Emirates dibuat sesempurna mungkin.
Namun bagaimanapun sebuah aura dan tuah suatu tempat apalagi stadion tidak bisa ditransfer atau di copy paste. Hal tersebut benar-benar saya rasakan ketika mengunjungi Mandala Krida pada tahun 2013, bahwa sebuah aura dan tuah sebuah stadion memang tidak bisa ditransfer.
Baca juga: Wajah Yogyakarta dalam Sepak Bola
Kala itu Mandala Krida kondisinya sangat memprihatinkan, dan terkesan tidak layak untuk tim besar bersejarah sekelas PSIM. Namun dalam kondisi yang memprihatinkan itu saya bisa merasakan aura, nyawa, dan teriakan suporter dalam sunyi dan senyapnya Mandala Krida. Seolah guratan-guratan retak tembok, berkaratnya pagar tribun, memudarnya cat Mandala Krida, memberikan cerita dan sejarahnya.
Diresmikannya Mandala Krida seolah menjadi kado untuk perjuangan yang tidak mudah dari PSIM setelah mengarungi musim lalu, di mana PSIM memulai dari dasar klasemen dengan poin -9 dan berhasil menyelesaikan musim dengan “orgasme” bahagia dan air mata penuh kepuasan.
Setelah tersungkur dan penuh pesimisme ketika musim dimulai, seolah alam semesta seraya mengatakan “aku berikan kembali rumahmu yang dulu sebagai hadiah dari perjuangan dan jerih payahmu hingga titik penghabisan”.
Tak salah jika kita berharap musim baru PSIM kali ini dan seterusnya menjadi lebih baik dan berkembang berbarengan dengan Mandala Krida yang telah diperbarui, walaupun itu hanya sebuah harapan.
Singkat kata Mandala Krida yang baru telah membawa antusias dan harapan yang sudah lama tertidur pulas. Karenanya Mandala Krida adalah sebaik-baiknya rumah untuk Laskar Mataram.
*Penulis bisa dijumpai di akun Twitter @ahmadsyaifudd1n